DI Bali, saat Pangrupukan, sehari menjelang Nyepi—ketika sandyakala, peralihan siang menuju malam, orang Bali melaksanakan prosesi mabuu-buu; menyalakan api dari daun kelapa kering yang diikat menjadi satu, membunyikan kentongan lalu mengelilingi pekarangan rumah bersama semua anggota keluarga—mengusir roh-roh jahat dan energi negatif di rumah, bersama doa dan harapan akan kedamaian hati, kebahagiaan, dan kesejahteraan keluarga serta dunia secara keseluruhan. Doa-doa yang tidak egois dan tidak bersifat individualistis.
Setelah itu, warga berbondong-bondong menyaksikan ogoh-ogoh, simbol Bhuta Kala, diarak keliling desa. Jalanan ramai; kini tak hanya orang Bali yang menonton, melainkan juga warga perantau yang tinggal di Bali.
Ogoh-ogoh punya kesan tersendiri bagi mereka, terutama bagi anak-anak dan remaja. Orang dewasa dan tua dengan antusias mengantar anak dan cucu mereka menyaksikan ogoh-ogoh. Berfoto, mengambil video—sebagai bentuk apresiasi terhadap keunikan dan kekayaan budaya di Bali.
Sejarah Ogoh-Ogoh
Ogoh-ogoh, patung raksasa yang menyeramkan dengan berbagai bentuk dan warna, merupakan elemen ikonik dalam perayaan Hari Raya Nyepi di Bali. Di balik kemeriahan pawai ogoh-ogoh, terdapat sejarah panjang dan makna simbolis yang tertanam dalam budaya Hindu Bali.
Sejarah ogoh-ogoh tidak dapat dipisahkan dari ritual Nyepi yang bertujuan untuk memaknai keheningan dengan melaksanakan Catur Brata Penyepian, empat pantangan yang tak boleh dilanggar; tidak menyalakan api/lampu, tidak bekerja, tidak melakukan kesenangan, dan tidak keluar rumah selama Nyepi berlangsung.
Kata “ogoh-ogoh” berasal dari bahasa Bali “ogah-ogah”, yang berarti sesuatu yang digoyang-goyangkan. Awal mula ogoh-ogoh dapat ditelusuri kembali ke tradisi leluhur Bali yang membuat boneka jerami untuk menakut-nakuti hama di sawah. Seiring waktu, tradisi ini berkembang menjadi “onggokan” atau tumpukan jerami yang dibakar pada malam sebelum Nyepi.
Dilansir dari laman desasangeh.badungkab.go.id, ada beberapa pandangan mengenai sejarah ogoh-ogoh. Setidaknya ada tiga versi terkait sejarah ogoh-ogoh di Bali.
Pertama, versi yang menyebutkan bahwa ogoh-ogoh telah dimulai dari zaman Dalem Balingkang. Saat itu, ogoh-ogoh digunakan dalam upacara pitra yadnya. Kedua, ada juga pandangan yang menyatakan bahwa ogoh-ogoh berawal dari tradisi Ngusaba Ngong-Nging di desa Selat, Karangasem.
Ketiga, ada pula pendapat bahwa ogoh-ogoh muncul dari adanya barong landung yang merupakan wujud dari Raja Jaya Pangus dan Putri Kang Cing Wei. Tradisi berupa pengarakan dua buah ogoh-ogoh yang berwujud laki-laki dan perempuan sebagai visualisasi barong landung diyakini merupakan cikal bakal lahirnya ogoh-ogoh dalam ritual Nyepi.
Terlepas dari itu, ogoh-ogoh baru meluas sebagai rangkaian Nyepi di Bali sejak tahun 1980-an. Sejak itu, masyarakat di beberapa tempat di Denpasar mulai membuat perwujudan onggokan yang disebut ogoh-ogoh. Budaya baru ini juga semakin meluas saat ogoh-ogoh diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali XII.
Makna Ogoh-Ogoh
Ogoh-ogoh melambangkan personifikasi Bhuta Kala, kekuatan negatif yang melambangkan hawa nafsu dan sifat-sifat jahat dalam diri manusia. Bentuknya yang menyeramkan dimaksudkan untuk menakut-nakuti dan mengusir kekuatan negatif tersebut. Pawai ogoh-ogoh pada malam Pengrupukan, sehari sebelum Nyepi, merupakan simbolisasi pertarungan antara kekuatan baik dan kekuatan jahat.
Diiringi dengan suara gamelan yang meriah, ogoh-ogoh diarak keliling desa untuk kemudian dibakar pada akhir pawai. Pembakaran ini melambangkan penyucian diri dari segala sifat negatif dan menyambut Tahun Baru Saka yang penuh harapan.
Meskipun tradisi ogoh-ogoh telah berkembang pesat dengan semakin kreatifnya bentuk dan desainnya, makna simbolisnya tetap relevan di zaman modern. Dalam dunia yang penuh dengan kompleksitas dan tantangan, ogoh-ogoh menjadi pengingat bagi manusia untuk selalu waspada terhadap hawa nafsu dan sifat-sifat jahat.
Pawai ogoh-ogoh juga menjadi wadah bagi masyarakat untuk mengekspresikan kreativitas dan melestarikan budaya Bali. Tradisi ini mampu menyatukan masyarakat dan memperkuat rasa kebersamaan dalam menyambut Tahun Baru Saka Di era digital ini, ogoh-ogoh telah menjadi ikon budaya Bali yang mendunia. Kepopulerannya menarik perhatian wisatawan dan menjadi salah satu daya tarik utama pariwisata Bali.
Bahkan, di Kota Denpasar, pawai ogoh-ogoh berlangsung hingga lewat tengah malam dan memasuki dini hari. Di media sosial, dapat kita lihat dan tonton antusiasme warga menyambut gelaran budaya satu tahun sekali ini. Diiringi suara gamelan yang menggema, para pengarak ogoh-ogoh bergerak dengan penuh energi, tak jarang mengeluarkan teriakan dan seruan yang membahana.
Histeria(?)
Namun, di balik teriakan dan seruan tersebut, muncul pertanyaan: Apakah perilaku ini merupakan ekspresi budaya yang semata-mata, ataukah dapat dikategorikan sebagai histeria dalam kajian psikologi?
Histeria adalah sebuah gangguan mental yang ditandai dengan luapan emosi yang intens dan tidak terkendali, often accompanied by physical symptoms like seizures, fainting, or paralysis.
Menilai teriakan pengarak ogoh-ogoh sebagai histeria memerlukan analisis mendalam, mempertimbangkan beberapa faktor:, antara lain: 1) Konteks budaya: pawai ogoh-ogoh merupakan ritual simbolis dalam budaya Bali. Teriakan dan seruan mungkin menjadi bagian dari ekspresi budaya dan tradisi, bukan semata-mata luapan emosi yang tidak terkendali.
2) Tingkat intensitas dan kontrol: jika teriakan dan seruan disertai dengan perilaku tak terkendali seperti kejang, pingsan, atau agresivitas, kemungkinan histeria lebih tinggi.; 3) Motivasi dan tujuan: apakah teriakan dan seruan merupakan luapan emosi spontan, atau bagian dari ritual dan pertunjukan yang terencana; 4) Kondisi psikologis pengarak: riwayat trauma atau gangguan mental pada pengarak dapat meningkatkan kemungkinan histeria.
Teriakan dan seruan pengarak ogoh-ogoh tidak selalu dapat dikategorikan sebagai histeria. Perlu dikaji konteks budaya, intensitas dan kontrol, motivasi dan tujuan, serta kondisi psikologis pengarak untuk menentukan apakah perilaku tersebut tergolong histeria.
Terlepas dari kategorisasi histeria, teriakan dan seruan pengarak ogoh-ogoh dapat dilihat sebagai ekspresi katarsis, yakni pelepasan emosi dan energi yang terpendam, sebagai bagian dari ritual penyucian diri dan menyambut Tahun Baru Saka.
Juga, sebagai simbolisasi kekuatan; teriakan dan seruan melambangkan perlawanan terhadap kekuatan negatif yang diwakili oleh ogoh-ogoh. Selain itu, penyatuan komunitas; pawai ogoh-ogoh menjadi momen kebersamaan dan rasa persatuan dalam menyambut Tahun Baru Saka.
Diperlukan penelitian dan kajian lebih lanjut untuk memahami secara mendalam makna dan dampak teriakan dan seruan pengarak ogoh-ogoh. Kajian interdisipliner yang melibatkan psikologi, antropologi, dan budaya dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang fenomena ini.[T]
Referensi:
- “Ogoh-ogoh di Bali: Sejarah, Makna, dan Kaitannya dengan Hari Raya Nyepi”: https://www.detik.com/bali/budaya/d-6609031/ogoh-ogoh-di-bali-sejarah-makna-dan-kaitannya-dengan-hari-raya-nyepi
- Histeria: https://en.wikipedia.org/wiki/Histeria
- Gangguan Konversi: https://id.scribd.com/doc/308053876/Gangguan-konversi
- Histeria: Gejala, Penyebab, dan Pengobatan:https://jamanetwork.com/journals/jama/fullarticle/219872