PEREMPUAN muda itu membenarkan letak rambutnya yang panjang terurai. Sepertinya ia memiliki alasan tersendiri untuk tidak memotongnya. Di pendopo joglo tempat kediamannya di Sambangan, Sukasada, Buleleng, ia duduk menikmati pagi menjelang siang sambil mendengarkan kicau jalak bali dan perkutut peliharaan ayahnya—ia memanggilnya Ajik. Bagi beberapa orang, joglo tanpa perkutut rasanya memang janggal. “Ajik dari Badung,” katanya lirih.
Lahir dari keluarga menengah-atas, ia memiliki impian besar sejak kecil. Baginya, sosok ayah adalah panutan. Melihat ayahnya bekerja, bertemu banyak orang, dan tampil di depan umum, membuatnya terinspirasi untuk melakukan hal yang sama.
Dayu, atau Gek Shanti, begitu ia akrab dipanggil. Nama lengkapnya Ida Ayu Shanti Pinandita Erawan, sosok gadis masa kini yang aktif mengembangkan diri. Ia mengaku mulai menemukan apa yang ia inginkan sejak duduk di bangku SMP. Dari sanalah, Dayu mulai berani memijakkan kaki, dan melangkah, menggapai apa yang ia impikan. “Saya lahir sudah dikelilingi seniman,” ujarnya. Tapi itu wajar. Sebab ayahnya, dulu, pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di Buleleng.
Namun, meski lahir dengan menyandang gelar dan menjadi seorang anak dari ayah yang memiliki jabatan, tak membuat Dayu lantas menjadi sosok yang sombong dan congak. Justru, waktu di sekolah, ia tak luput dari perundungan. Dayu sekolah di SD Tri Amerta pada 2009 silam. Sebagai gadis Hindu yang sekolah di lingkungan Kristen, membuatnya belajar tentang keragaman. “Saya baru bisa trisandya itu waktu SMP,” katanya sambil menertawakan diri sendiri.
Tak hanya lingkungan sekolah saja yang membentuk rasa tolerannya, lingkungan keluarganya juga sangat berperan dalam hal itu. Dayu lahir dari keluarga multiagama. Katanya, keluarga ibunya banyak yang beragama Islam. Sedang keluarga ayahnya, selain Hindu, juga ada dari kalangan Cina dan Budha. Tumbuh dari lingkungan semacam itu membuatnya tidak terlalu fanatik terhadap kepercayaan, agama, maupun kasta. Gadis kelahiran Singaraja, 4 Februari 2003 itu percaya bahwa kita sedang menuju ke tempat yang sama: Tuhan yang Maha Esa.
Benar. Setiap agama memang mengajarkan cinta kepada pemeluknya, tetapi cinta itu sendiri tak punya agama—karena cinta adalah tujuan dari setiap agama. Kedudukan cinta itu di atas agama. Agama adalah jalan, cinta adalah tujuan yang hendak dicapai oleh jalan itu. Bagaimana bisa tujuan lebih rendah tingkatannya daripada jalan yang menuju kepada-Nya?
Pada tahun 2015, Dayu melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Singaraja. Dan tiga tahun setelahnya, ia sudah duduk di bangku SMAN 1 Singaraja. “Sekarang saya sudah semester enam di Fakultas Ekonomi, Undiksha—program studi S1 manajemen,” tuturnya sambil menggeser badannya, mencari letak duduk yang nyaman. “Tahun ini saya lolos S2 di Taiwan,” sambungnya.
Gadis yang memiliki hobi menari itu menunjukkan foto-foto masa kecilnya yang dipajang di beberapa sudut pendopo besar itu. Ia menatapnya lekat, seolah sedang membuka lembaran peta kenangan usang yang tertumpuk waktu. “Ini foto saya waktu kecil,” katanya. “Saat kecil saya takut menjadi dewasa,” sambungnya sembari tertawa.
Sebagai anak pertama dari empat bersaudara, Dayu menjadi sosok yang ambisius, pekerja keras, dan berusaha untuk mandiri. Saat memiliki keinginan atau impian, ia berusaha, dengan keras, untuk mewujudkannya. Beruntung, Dayu lahir dari keluarga yang selalu mendukung apa yang ia cita-citakan.
Hari ini Dayu adalah sosok perempuan muda Buleleng yang sedang, selain berjuang menamatkan kuliah, juga mengemban tanggung jawab berat sebagai pemimpin Paguyuban Semeton Jegeg Bagus Bali. Dan dalam hal ini, ia mengawalinya sejak SMP, saat menjadi Duta Anak Buleleng Komisi Kesehatan tahun 2017.
Lalu Puteri Remaja Indonesia Intelegensia 2018. Dan mengikuti seleksi Jegeg Bagus Buleleng tahun 2020. Saat itu ia menjadi juara satu, dan meraih posisi kedua di provinsi tahun 2021. “Sudah dua tahun saya menjadi Ketua Jegeg Bagus Bali. Tahun ini lengser, kemungkinan di bulan April,” kata Dayu.
Bangku Sekolah Menengah Atas telah menempanya menjadi sosok perempuan yang memiliki jiwa kepemimpinan. Rentang periode 2018 sampai 2020, Dayu menjadi Dewan Perwakilan Siswa SMA Negeri 1 Singaraja. Di sela-sela menjadi Dewan Perwakilan Siswa, tepatnya tahun 2018-2019, ia menjabat sebagai Ketua Green Generation Buleleng. Dan periode 2019-2020, Ketua Kader Kesehatan Remaja SMA Negeri 1 Singaraja selalu disematkan di belakang namanya.
Itu semua tidak terlepas dari dukungan keluarganya. Dan, sekali lagi, sosok ayah baginya adalah buku yang harus selalu ia buka dan baca, atau cermin yang harus ia tatap, atau kompas atau peta yang tak boleh luput dari saku celana saat ia memulai perjalanan. “Kata Ajik, saya harus tumbuh menjadi sosok yang kuat, survive. Tapi untuk bisa survive itu ternyata berat sekali,” Dayu mengingat-ingat pesan ayahnya—dan kini ia merasakan bahwa menjadi sosok yang kuat itu ternyata “mahal maharnya”.
***
Jalak bali dalam sangkar tabung itu masih saja ngoceh dan tak bisa diam, loncat sana-loncat sini, tak jelas antara ingin bebas atau tetap tinggal di sangkar emas. Sementara unggas berbulu putih dan bertopeng biru itu ngomel tak karuan, Dayu duduk di kursi tua di bawah atap joglo dengan tenang. Ini di Bali, tapi suasananya lebih mirip Jawa bagian tengah. Sepertinya ayahnya memang demen dengan barang-barang unik dan antik.
Dayu bercerita, yang membuatnya menjadi seperti hari ini adalah keinginannya yang kuat dalam hal apa pun. Saat masih kecil, ia mengaku tak pandai berdandan dan malu jika harus berinteraksi dengan banyak orang. Tapi setelah memiliki keinginan menjadi seorang “duta”, Dayu melawan itu semua. Ia menjadi sosok gadis yang senang berdandan, pandai berkomunikasi, dan menelan bulat-bulat rasa tidak percaya dirinya.
Sejak fokus menjadi Jegeg Buleleng, misalnya, Dayu seolah menjadi orang yang berbeda. Ia menjelma perempuan yang penuh gagasan, keingintahuan, dan pengetahuan akan banyak hal. “Waktu itu saya belajar seluk-beluk Buleleng, meski sampai sekarang masih banyak yang belum saya ketahui,” katanya.
Menjadi Jegeg Buleleng, sambungnya, bukan hanya sekadar gelar, lebih dari itu, ia menganggapnya sebagai representasi Buleleng. Oleh karenanya, Dayu menjadikan dirinya sebagai “abdi” Buleleng yang harus memberi lebih daripada dirinya sendiri. Ia merasa Buleleng sudah memberi banyak hal kepadanya, maka ia harus membalasnya—walaupun mungkin tak sebanding dengan yang ia terima.
Pada tahun 2020, saat Dayu menjadi Jegeg Buleleng, ia menyadari bahwa Buleleng sebenarnya memiliki banyak talenta yang berpotensi. Tapi, menurutnya, belum banyak wadah yang menampungnya. Hal ini menyebabkan kebingunan, mau ke mana bakat, keahlian, potensi diri itu akan dibawa. Sebab, tidak semua anak memiliki kesempatan seperti dirinya.
“Maka, bersama temen-temen di Jegeg Bagus Buleleng, saya membuat program BCTC—maaf, saya lupa kepanjangannya.” Dayu kembali menertawakan diri sendiri. “Tapi yang pasti itu lomba untuk anak-anak muda. Contohnya, seperti lomba tour guiding, short movie, menari—waktu itu lomba menari Wiranjaya. Ternyata, antusias anak-anak Buleleng sangat luar biasa,” terangnya.
Program yang dijelaskan Dayu di atas bertujuan untuk mewadahi—menjadi media penyalur—banyak potensi yang dimiliki setiap talenta di Buleleng. Sebagaimana telah ia terangkan di atas, bahwa banyak anak muda Buleleng yang masih kebingungan mencari wadah yang tepat untuk menyalurkan bakat yang mereka miliki. Menurut Dayu, menyediakan ruang dan kesempatan bagi mereka adalah keharusan. Tahun ini, atas dedikasinya, Dayu dipercaya sebagai Ketua Panitia Pemilihan Jegeg Bagus Buleleng 2024.
Selain wadah, Dayu juga menegaskan bahwa keterlibatan kaula muda dalam berbagai bidang juga sangat penting. Ia sampai mejelaskan bagaimana Kota Denpasar memperlakukan potensi pemuda-pemudinya dalam segala aspek, yang dapat mendukung pembangunan ke arah yang lebih maju. Dengan menggunakan tagline “Denpasar Kotaku Rumahku”, katanya, menyadarkan kaum muda Denpasar untuk ikut serta dalam memajukan Kota Denpasar.
Dan terlepas dari itu, ia tidak setuju dengan istilah “kesenjangan” yang kerap disinggung saat berbicara tentang Bali Utara dan Bali Selatan. Menurutnya tidak ada “kesenjangan”, tapi hanya “perbedaan”. Dayu lebih suka menyebut Bali Utara dan Bali Selatan itu berbeda—berbeda dalam banyak hal. Geografisnya, sosial-masyarakatnya, sampai potensi yang terkandung di dalamnya.
“Jadi, pembangunan di Bali Selatan dan Bali Utara juga harus dibedakan. Kalau di selatan sudah banyak tempat hiburan, mall, bioskop, dll, kita yang di utara harus punya hal lain, yang unik. Misalnya, kita bisa ‘jual’ alamnya, seperti air terjun yang melimpah—karena ini selling point kita,” ujarnya, seolah sedang presentasi di depan Kepala Dinas Pariwisata.
***
Perempuan muda runner up Jegeg Bali tahun 2021 itu berpandangan bahwa kaumnya bukan jenis manusia yang lebih lemah daripada laki-laki. Tentu saja dalam beberapa hal, perempuan bisa lebih kuat daripada lawan jenisnya. Dayu beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan adalah suatu keseimbangan (purusa dan pradana), setara. Jadi, alih-alih saling merasa siapa yang paling kuat, dll, lebih baik cukup menempati peran dan tanggung jawab masing-masing—atau saling-silang peran dan tanggung jawab tersebut.
Namun, dengan berbagai alasan dan justifikasi, dalam banyak hal, terkadang laki-laki menjadi gender yang lebih dominan ketimbang perempuan. Tidak bisa dimungkiri bahwa sejarah peradaban manusia didominasi oleh peradaban patriarki. Peradaban ini telah menggiring dan menjadikan perempuan tak ubahnya sebuah properti. Dan sebagai sebuah properti kebudayaan, perempuan “dituntut” agar tumbuh berkembang sesuai kehendak laki-laki.
Laki-laki dianggap memiliki otoritas mutlak dalam menentukan spesifikasi terhadap pembentukan fisik dan moral perempuan. Hal tersebut seolah-olah mengisyaratkan perempuan sebagai sosok yang tidak mampu membentuk kebudayaannya sendiri. Yang lebih mengerikan, peradaban menganggap bahwa kesadaran perempuan tidak lebih daripada kesadaran laki-laki.
“Kodrat perempuan itu hanya ada tiga, yaitu menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Udah, itu saja. Tidak ada kondrat perempuan harus di dapur, dll. Enggak. Urusan rumah tangga itu ya harusnya kerja sama antara laki-laki dan perempuan!” kata Dayu tegas.
Penderitaan perempuan begitu autentik. Sebuah penderitaan yang tidak bisa dipahami secara universal oleh peradaban yang bias gender. Itulah mengapa pendidikan menjadi sangat penting bagi perempuan untuk meminimalisir penderitaan itu.
Pendidikan bagi perempuan tidak saja dianggap sebagai media untuk mengubah nasib secara sosial dan ekonomi, lebih dari itu, pendidikan adalah kunci bagi perempuan menuju kemerdekaan eksistensial, sebuah kemerdekaan menuju pembebasan kultural di mana sikap dan pilihan-pilihan mereka menjadi sebuah pilihan “asli” bagi perempuan itu sendiri.
“Sekarang sudah banyak perempuan yang dilibatkan. Menteri banyak yang perempuan, di kursi dewan juga harus ada keterwakilan perempuan. Kalau misalnya perempuan tidak dilibatkan, rodanya tidak akan jalan—karena tidak seimbang!” ujarnya menggebu-gebu, seperti Eudoria Holmes (Helena Bonham Carter) dalam film misteri Britania Raya, Enola Holmes (2020).
Hari beranjak siang. Angin berkesiur dari kamboja di halaman. Dunia seperti berjalan lambat. Sedang pendopo itu tampak seperti bingkisan Jawa era lama. Banyak benda antik tergeletak dan teronggok di sana. Selain itu, foto-foto keluarga berbingkai seadanya tercantel di dinding kayu dan berdiri di meja-meja kecil dekat saka penyangga.
“Sudah saatnya saya memberikan sesuatu untuk Buleleng. Mungkin tidak banyak, tapi setidaknya ada langkah kecil yang saya mulai, seperti itu,” kata Dayu, gadis Buleleng yang mengidolakan sosok B. J. Habibie dan Susi Pudjiastuti itu. Dan itu, barangkali ucapan tulus dari perempuan yang lahir dan besar dari rahim bernama Buleleng, Bali Utara.[T]
Baca juga artikel terkait TOKOH atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana