SETIAP lima tahun sekali dalam pemilu, termasuk pemilu yang terasa masih hangat ini, banyak politisi, termasuk capres dan cawapres mengaku diri pernah dekat dengan Gus Dur. Ada yang mengaku diri berteman baik, atau sangat berteman baik. Ada yang mengaku Gus Dur sebagai guru politiknya. Bahkan pernah ada yang mengaku menjadi tukang pijatnya.
Barangkali itu memang benar. Tak perlu dibuktikan. Yang perlu dibuktikan adalah setelah mereka terpilih, atau setelah tidak terpilih.
Jadi pertanyaannya, apakah mereka (yang mengaku-ngaku dekat Gus Dur) itu akan melakukan hal yang sama seperti Gus Dur, terutama menerapkan seperti kebijakan Gus Dur dulu yang sebagian besar enak didengar?
Atau, jika kalah, atau tidak terpilih, apakah mereka akan legowo dan bersikap dewasa, seperti Gus Dur dulu yang rela hanya pakai kolor keluar dari istana setelah didepak keluar dengan tidak sopan oleh lawan-lawan politik di sekelilingnya?
Gimick receh setiap lima tahun sekali itu sama sekali tidak mencerdaskan dalam suasana pemilu yang menentukan nasib bangsa, dan hanya membawa pada suasana pertarungan politik identitas. Kita bisa rasakan hal itu hanyalah sebuah trik jitu untuk mendapatkan simpati, terutama pada masyarakat muslim yang berlatar Nahdlatul Ulama atau umat muslim dan non mulim fans Gus Dur.
Orbituari Gus Dur, dan Mendungnya Diam-diam Demokrasi Kita Saat ini.
Langit demokrasi Indonesia memang pernah mendung berkepanjangan pada masa rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Kebebasan sipil nyaris tidak ada. Bahkan celakalah bagi siapa saja yang berbeda pendapat dan bersuara lantang saat itu. Sehingga demokrasi dirasakan seperti sebuah penjara yang nyata. Bagi masyarakat Tionghoa dan buruh misalnya, tak ada atensi sama sekali atas mereka mendapatkan haknya sebagai warga negara.
Setelah terpilihnya Gus Dur sebagai presiden yang ke-4 menggantikan BJ Habibie (1999-2001), seketika langit dan cuaca demokrasi di Indonesia mulai terlihat cerah. Kebebasan sipil mulai merebak ke setiap pelosok. Lebih-lebih etnis Tionghoa dapat merayakan hari rayanya di muka umum dan buruh mendapat haknya sebagaimana mestinya.
Walaupun Gus Dur menjabat hanya dua puluh dua bulan atau sekitar dua tahunan. Namun beberapa peninggalannya bagi bangsa ini cukup berarti, bahkan sampai sekarang. Gus Dur telah memutus rantai isu rasial yang ditanamkan oleh Orde Baru pada etnis Tionghoa. Seperti yang kita tahu di zaman itu, di mana kebencian sengaja ditanamkan sehingga terjadi penjarahan dan pemerkosaan pada orang-orang keturunan Tionghoa. Chaos.
Pada kisaran tahun 2000, Gus Dur yang bernama lengkap Abdurrahman Wahid itu membuka jalan terang. Ia mengeluarkan sebuah keputusan cukup berani. Mencabut Instruksi Presiden No. 4, 1967 tentang Diskriminatif terhadap Etnis Tionghoa. Di masa kepemimpinannya juga agama Khong Hu Cu dapat diakui sebagai agama resmi di Indonesia.
Tak hanya itu, ketegangan negara dengan masyarakat suku Papua mulai berkurang. Gus Dur mengizinkan mereka untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora tanpa harus diperangi. Bahkan Ia juga yang telah mengembalikan nama Papua untuk digunakan yang sebelumnya bernama Irian Jaya.
Hal itu dapat kita pahami, bahwa Gus Dur sangat menghormati masyarakat adat atau kesukuan, perjuangan dan harapan mereka dalam menjalankan hidup dengan damai di tanahnya sendiri. Hal itu memiliki efek yang baik tentu saja, di mana ketegangan antara Papua dengan militer Indonesia, pun mereda. Artinya korban jiwa akibat peperangan sesama anak bangsa berkurang.
Sedangkan bagi buruh, Gus Dur pula yang memberikan perhatian lebih pada mereka yang pekerja. Melalui kebijakannya yang pro pada buruh telah membuka harapan baru bagi dunia kerja di Indonesia, khususnya para buruh. Gus Dur telah mendorong aturan melalui Menteri Tenaga Kerja tentang peraturan PHK, pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian. Sehingga peraturan tersebut memperkuat gerakan buruh ketika berhadapan langsung dengan para despot.
Namun akhir-akhir ini. Masyarakat kita, atau mungkin kita sendiri, sama mudahnya tertipu pada hal-hal yang berbau selebrasi. Diperkuat oleh tokoh-tokoh penting di masyarakat, seperti kiai, tetua adat, kepala desa yang mengirim sinyal mendukung siapa. Suasana demokrasi kian dirasakan seperti pesta pertarungan suatu golongan.
Jika melihat kembali tahun 2019 ketika Jokowi-Ma’ruf Amin menang atas Prabowo-Sandi, sosok Ma’ruf Amin yang latar belakangnya sebagai tokoh NU, bisa kita rasakan memiliki pengaruh besar dalam mendulang suaranya saat pemilu. Tetapi, bagaimana ketika mereka sudah terpilih, apakah perjuangan Gus Dur mereka teruskan?
Justru sebaliknya, pemikiran-pemikiran Gus Dur tentang bernegara dan berdemokrasi dijauhi. Ada banyak kontradiktif atas apa yang disebut sebagai golongan Gus Dur yang hijau dan menyenangkan itu. Seperti satu tahun silam kita dihebohkan berita tentang penggusuran di Pulau Rempang. Atau, penggusuran tanah adat di Kalimantan beberapa tahun silam. Atau, penggusuran masyarakat adat Besipae di NTT yang mana masyarakat, para orang tua, tinggal di bawah pohon beserta dengan anak-anaknya (2020).
Kemudian, terjadi kebijakan-kebijakan yang telah merugikan para buruh dan kebijakan-kebijakan lainnya dalam Omnibuslaw misalnya. Belum lagi kebijakan Mahkamah Konstitusi yang terkesan terburu-buru dalam merevisi aturan terkait pemilu terasa masih hangat di kepala kita. Tentu ini menciderai nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya.
Indeks Demokrasi kita memang naik tiga kali beruntun sejak tahun 2022 (lihat data BPS). Tapi itu rasanya tak sebanding dengan apa yang kita rasakan saat ini. Selain pesta demokrasi kemarin yang sudah kacau bahkan sebelum hari pencoblosan, di jalanan orang-orang gencar menolak ketimpangan itu.
Tetapi tak ada yang menggubris. Padahal, dalam kekuasaan itu, ada Ma’ruf Amin yang tentu saja pernah mendengar bahwa Gus Dur adalah seseorang yang membumikan demokrasi di jalanan, di sudut kota, di mana-mana yang dianggap orang sulit mendapatkan kebebasan di masa Orde Baru.
Sama sekali tak ada “pengaruh” Gus Dur pada setiap kebijakan yang dilahirkan orang-orang pada lingkar pada demokrasi bangsa ini.
Pada akhirnya kita mesti mengakui, bahwa Gus Dur telah wafat dan belum ada reinkarnasi atas perjuangan dirinya saat ini. Dan kita mesti mengakui jika lima tahun sekali dalam pesta demokrasi, tak ada tokoh yang benar-benar mutlak netral di tengah masyarakat. Semua bisa menjadi pemain dan memberikan noda pada demokrasi yang sudah diperjuangkan oleh orang-orang terdahulu, termasuk oleh Gus Dur. [T]