LELAKI tua itu duduk di sofa bermotif bunga. Di sebelah kanannya baling-baling kipas kecang berputar mereda panas. Kelambu di belakangnya melambai-lambai diterpa angin dari alat penemuan insinyur dan ilmuwan asal Amerika Serikat itu—barangkali Dr. Wheeler tidak pernah membayangkan bahwa teknologi temuannya akan jatuh di sebuah rumah sederhana dan kini mengipasi seorang seniman tua yang sedang menceritakan kisah hidupnya.
Di luar sore mulai beranjak. Udara panas berkesiur bersama debu dan daunan gugur. Anjing itu masih saja menyalak, bersahut-sahutan dengan kicau burung dalam sangkar. Seniman yang mengaku sebagai generasi ketiga itu, membenarkan letak duduknya. Tatapannya was-was bak petarung dengan sisa-sisa kekuatan yang tergurat di tubuhnya. Dan ia memang juga seorang pendekar di masa mudanya.
“Itu foto guru silat saya,” ujarnya sembari menunjuk sebuah foto hitam-putih yang tercantel di dinding ruang tamunya. Dalam foto berbingkai sederhana itu, terpampang sosok kakek tua dengan wajah karismatik dan terlihat agak sedikit “ganas”. Di samping kanan kirinya, beberapa foto dengan ukuran lebih besar ditata begitu rupa. Tak rapi, memang, tapi juga tak berantakan amat. “Sudah lama saya meninggalkan silat,” sambungnya.
Itu bukan tanpa alasan. Ia meninggalkan silat sebab, selain sudah bekerja, juga ada kesenian lain yang sedang ia tekuni. Kesenian yang lahir dari tangan dingin leluhurnya. Kesenian yang kini ia warisi, jaga, dan lestarikan. Kesenian yang bernama Renganis. “Sejak kecil saya sudah dekat dengan kesenian Renganis,” tutur seniman tua itu. Dan ia kemudian bercerita bagaimana ia belajar kesenian tersebut, dulu.
Namanya Wayan Sukerena. Orang-orang biasa memanggilnya Pak Yan. Saat ini, ia merupakan seorang seniman Renganis Penglatan yang cukup otoritatif. Maksudnya, jika ingin tahu seluk-beluk Renganis, tanyakan saja kepadanya. Maka ia akan menjawabnya dengan antusias. Memang tak semua dapat terjawab, tapi setidaknya lebih baik daripada hanya meraba-raba di dunia layar yang muat dalam saku celana itu.
Pak Yan lahir tahun 1960, tiga tahun sebelum Gunung Agung meletus. Ia lahir dari keluarga petani yang kurang mampu. Wayan Sanggra, ayahnya, hanya seorang penyakap di Penglatan. Sedang sang ibu, Wayan Sanggri, meninggal pada tahun 1971. Meski demikian, Pak Yan tetap bersyukur sebab kakeknya merupakan orang yang memprakarsai dan menciptakan kesenian unik dan khas, kesenian suara dan sastra lisan, yang kini menjadi identitas Desa Penglatan: Renganis.
Kesenian Renganis diciptakan oleh dua orang bernama I Ketut Sridana (akrab dipanggil Pan Madra) dan I Ketut Widra—atau yang lebih dikenal dengan panggilan Pan Kaler. Kedua seniman-tani itu menggubah pupuh dangdang gendis—salah satu pupuh dalam tembang macapat—setelah mendengar cerita pengalaman seorang bernama Gusti Made Alit.
Alkisah, pada malam buta tahun 1930-an, saat Gusti Made Alit sedang menjaga hasil panen di sawah, suasana malam begitu menenangkan. Bersama suara katak yang bersahut-sahutan, nyaring jangkrik menggesek sayap, dan gemericik air mengalir, di tengah malam bersinar lampu sentir, Made Alit melantunkan pupuh dangdang gendis. Saat itu ia merasa senang dan tenang. Ia merasa mendapat sunia. Keesokan harinya, Made Alit menceritakan hal tersebut kepada kedua temannya, Pan Madra dan Pan Kaler.
Sejak saat itulah, Pan Madra dan Pan Kaler mengkreasikan pupuh dangdang gendis dengan suara-suara katak di musim hujan. Penambahan unsur suara katak di sela-sela lantunan kidung itu kemudian dikenal dengan istilah ongkekan.
Dalam kesenian Renganis, ada tiga ongkekan yang menjadi pakemnya, yaitu bebatelan, peangklungan, dan gegambangan. Ketiganya memiliki pakemnya masing-masing. Bebatelan lebih dekat kepada tabuh-tabuh yang keras, maskulin; sebaliknya, peangklungan mewakili sesuatu yang lembut, halus; dan gegambangan dilantunkan seperti irama gambang dalam karawitan.
***
“Ketut Widra itu kakek kandung saya. Sedangkan Ketut Sridana merupakan ipar dari kakek saya. Jadi, Sridana juga kakek saya,” ujar Wayan Sukerena. Lahir dari keluarga seniman-tani Renganis, Pak Yan telah mendengar dangdang gendis bahkan ketika masih dalam perut ibunya. Tapi semua orang di Bali sepertinya sadar, mereka terlahir sebagai seniman. Dalam tubuh mereka mengalir darah seniman-seniman ulung di masa lalu.
Meski demikian, Pak Yan mengaku baru serius belajar Renganis pada tahun 1980-an, saat usianya sekitar 22 tahun. Bersama lima orang lainnya, ia dinobatkan sebagai generasi ketiga penerus kesenian Renganis Penglatan. Di samping menekuni kesenian Renganis, di kisaran tahun tersebut, tepatnya tahun 1983, Pak Yan bekerja di sektor kehutanan. Hingga tiga tahun setelahnya, ia diangkat negara menjadi pegawai negeri kelas rendah.
Tahun 1930-an sampai 1980-an, kesenian di Bali memang sedang bergeliat, termasuk kesenian di Buleleng. Orang-orang seperti Gde Manik dan Ketut Merdana dalam khazanah kesenian Gong Kebyar di Buleleng, adalah seniman pilih tanding dalam rentang tahun itu. Dan pada tahun 1980-an, jika di Jagaraga, di Kedis, atau kebanyakan orang di Bali sedang gencar-gencarnya belajar kebyar, di Penglatan Renganis juga sedang populer-populernya.
Desa Penglatan, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, tahun itu bisa dibilang sebagai sebuah laboratorium untuk mengolah berbagai jenis seni suara dan sastra lisan. Memang, sejak tahun 1980-an, kelompok-kelompok pesantian yang menembangkan berbagai jenis seni suara dan sastra, seperti kekawin, kidung, dan geguritan, berkembang pesat di seluruh pelosok Bali. Namun, tampaknya, hanya para seniman di Desa Penglatan yang lebih berani memberi sentuhan nada-nada unik dalam tiap tembang-tembang yang mereka lantunkan.
Atas keberanian itulah kemudian tumbuh sebuah kesenian langka dan teramat khas. Namanya seni Renganis, sebuah seni yang memadukan berbagai unsur suara, seperti suara gamelan, geguritan, dan suara binatang, yang semua perpaduan itu dimainkan hanya dengan suara mulut. Bahkan, tak hanya sebatas sebagai hiburan, sebagaimana telah dijelaskan Pak Yan, kesenian yang murni menggunakan mulut itu juga dijadikan sebagai bagian dalam upacara-upacara penting dan sakral seperti Ngusaba Nini—sebuah upacara yang dilakukan untuk mendapat karunia dari Dewi Sri—atau piodalan di Pura Taman.
Seperti halnya kesenian Sanghyang, Renganis juga lahir dan tumbuh dari sebuah kultur masyarakat agraris yang punya kecintaan begitu kental terhadap alam dan lingkungan. Maka dari itu, Renganis sangat berhubungan dengan padi—tumbuhan yang tak semata mengusir lapar, tetapi juga memikat mitos. Tumbuhan yang sejak belasan ribu tahun lalu tumbuh di lahan-lahan subur Asia. Tumbuhan yang kini memasok perut lebih separuh warga bumi.
Pada tahun 70 sampai 80-an, di saat sawah dan padi di Penglatan masih luas dan melimpah, sebelum masifnya alih fungsi lahan dan semakin berkurangnya petani, saat Pak Yan mulai serius belajar, kesenian Renganis seperti telah mencapai puncak kejayaannya—walaupun pada tahun 1963, saat Gunung Agung meletus, kesenian ini tidak lagi dipentaskan karena lahan pertanian rusak dan padi menolak tumbuh. Pada tahun yang sama, upacara Ngusaba Nini juga tidak dilakukan.
“Bagaimana mau diselenggarakan, orang padinya tidak ada,” kata Sukerena sembari tertawa. Tetapi, di balik tawa itu, seperti ada sesuatu yang mengganjal tenggorokannya sehingga ia tercekat. Dan benar, sesaat setelah mengatakan hal tersebut, ia menangis. Terbata-bata ia berkata, “Kami hanya makan singkong.”
Setelah tahun-tahun yang penuh tragedi itu—dua tahun setelah Gunung Agung muntah, terjadi goro-goro kemanusiaan yang masuk dalam catatan kelam sejarah bangsa Indonesia, Gestok atau G30S—Renganis bangkit, eksis kembali meski berkali-kali “pingsan” dan nyaris “mati”.
Menanam dan panen padi dirayakan kembali. Ngusaba Nini diselenggarakan. Menyambut tamu penting, ulang tahun STT, orang-orang bayar kaul (naur sesangi), sampai upacara kematian, Renganis nyaris tak pernah ketinggalan. Pada kisaran tahun-tahun itu, kesenian ini sudah mendarah-daging, menjadi bagian hidup orang-orang Penglatan.
Tapi kisah Renganis tak selalu semanis gula. Saat Pak Yan ditunjuk menjadi Ketua Sekaa Renganis Penglatan, zaman sudah berubah. Tahun 1990-an dunia hiburan audio visual berkembang begitu pesat. Dalam tabung berbagai ukuran, film-film ketengan dari Hongkong, India, Tiongkok, disajikan. Sinetron-sinetron keluarga dan drama kolosal diproduksi besar-besaran. Tinju dan sepak bola menjadi tontonan yang mengasyikkan. Generasi baru lahir bersama budaya, kesenian, dan selera yang berbeda dari orang-orang 1930-an. Renganis dan beberapa kesenian tradisional lainnya nyaris ditinggalkan.
“Tahun 2000-an kami mencoba berinovasi tanpa merubah pakem,” tutur Pak Yan. Suaranya berat dengan tempo yang lambat. Tahun itu Renganis mengalami pergulatan kreasi, kolaborasi, dan modifikasi. Hal tersebut dilakukan untuk menarik minat masyarakat dan sebagai sebuah usaha melestarikan kesenian Renganis. “Saat itu kami mulai memasukkan unsur-unsur cerita dalam tiap lagu yang dimainkan,” sambungnya.
Cerita-cerita itu biasanya diambil dari kisah-kisah kerajaan atau kisah panji, seperti Raden Putra Kahuripan, Galuh Daha, dan Anglung Semara. Selain itu, jenis-jenis cecandetan-nya juga makin beragam sehingga lagu-lagu yang dimainkan menjadi makin manis sekaligus bernas.
Namun, meski demikian, seperti halnya seni tradisional lainnya, Renganis kini tetap berada di ambang kepunahan. Renganis menjelma kesenian yang tampak tumbuh secara tertatih. Sistem regenerasinya juga berjalan lambat. Jika pun masih ada anak muda yang mau belajar, jumlahnya sangat sedikit—dan itu pun biasanya masih berasal dari keluarga pendiri dan penciptanya, yang juga merupakan keluarga turunan dari Pan Madra dan Pan Kaler.
Namun, meski kondisinya demikian, Renganis Penglatan tetap menolak punah. Apalagi saat Pesta Kesenian Bali (PKB) memberikan Renganis kesempatan untuk menunjukkan diri. Dalam PKB tahun lalu, misalnya, Renganis ditampilkan bersama cerita Anglung Semara. Saat itu, kesenian Renganis seperti terpacak kembali dalam ingatan orang Penglatan. “Tahun itu banyak orang yang merasa memiliki Renganis,” kata Pak Yan.
***
Angin kipas berkesiur. Menerpa sosok seniman tua yang duduk di sofa bermotif bunga itu. Sarjana pertanian Universitas Dwijendra itu, masih saja bercerita tentang perjalanan hidupnya, Renganis, dan bagaimana kondisi kesenian tersebut, kini. Pada tahun 1986, setelah ia diangkat menjadi PNS, Pak Yan melanjutkan pendidikannya. “Saya lulusan SD waktu diangkat menjadi pegawai negeri,” katanya.
Tahun 1990 ia lulus SMA. Dan tahun 2012, dua puluh dua tahun setelahnya, Pak Yan mendaftar menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra. Saat itu umurnya sudah setengah abad. Di tengah menjadi mahasiswa, Pak Yan juga bekerja di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Penglatan.
Empat tahun setelah belajar pertanian di Undwi, Pak Yan diwisuda. Ia sah menyandang gelar sarjanan pertanian. Hingga tahun 2021, setelah bekerja selama 38 tahun, ia pensiun dari kehutanan. Di masa pensiunnya, selain mengurus Renganis—sampai sekarang, dari tahun 90-an, ia masih dipercaya untuk memimpin Sekaa Renganis Penglatan—Pak Yan juga diminta untuk mengisi siaran Sudang Lepet Jukut Undis (SLJU) di RRI Singaraja.
Di tengah zaman yang seolah tidak memberi tempat kesenian tradisional ini, bersama desa adat, Pak Yan berusaha untuk menjaga dan melestarikan Renganis. Sampai tahun ini, Renganis Penglatan sudah sampai pada generasi kelima. Generasi pertama dan kedua sudah tidak ada yang tersisa, semua sudah kembali ke-Asal. Untuk generasi ketiga, generasi Pak Yan, katanya masih ada beberapa.
Proses regenerasi Renganis tidak sama dengan kesenian lainnya. Jika di Gong Kebyar, misalnya, bisa dibentuk sekaa anak-anak, di Renganis, menurut Pak Yan, tidak bisa begitu. Menurutnya, antargenerasi dalam Renganis tidak bisa serta-merta diputus begitu saja. Meski ia termasuk generasi ketiga, tapi ia juga masuk dalam kelompok generasi keempat dan kelima.
Hal tersebut dilakukan supaya tidak ada pakem yang hilang atau dirubah. Dengan melakukan model semacam itu, Pak Yan percaya bahwa ongkekan, cecandetan Renganis saat ini masih sama dengan generasi terdahulu. “Dengan ada generasi sebelumnya yang masuk dalam generasi kini, secara langsung dapat menjadi patokan dan kontrol terhadap pakem Renganis,” tuturnya.
Kini, kata Pak Yan, di Penglatan masih ada sekitar 20-an orang yang menjadi seniman Renganis—yang tergabung dalam Sekaa Renganis Penglatan. Dua puluh orang inilah, yang pada tahun 2023 lalu, tampil di panggung Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-45. Mereka mementaskan Renganis bersama kisah Anglung Semara. “Tapi ya begitu, kami masih harus mencari dana tambahan sendiri,” katanya.
Pada PKB tahun itu, Sekaa Renganis Penglatan dapat gelontoran dana dari pemerintah sebesar 25 juta dipotong pajak. Tentu saja, dana itu tidak bisa mencukupi biaya produksi. “Kami latihan selama tiga bulan. Selama itu juga kami harus menyiapkan air, konsumsi, dan sarana lainnya. Belum lagi honor, transportasi, tata rias, busana, dll. Pada saat laporan pertanggungjawaban, setelah dihitung, kami menghabiskan sekitar 48 juta. Jadi berapa itu uang yang harus kami cari sendiri,” tuturnya.
Namun, demi Renganis bisa pentas, bersama anggota kelompok, Pak Yan menyebarkan proposal sederhana ke beberapa orang dan instansi. Ia juga meminta sumbangan—untuk tidak mengatakan mengemis sebagaimana ia ucapkan—kepada penduduk Penglatan. “Syukur, saat itu semua orang merasa seperti memiliki Renganis. Bahkan Undiksha menyiapkan kendaraannya untuk kami,” ujar Pak Yan.
Sebagai sebuah upaya untuk melestarikan, Desa Adat Penglatan membuat awik-awik—hukum adat—tentang Renganis. Dalam peraturan tersebut, Renganis sudah dijadikan sebagai kesenian khas, atau asli, yang lahir dari Desa Penglatan.
Anjing di pekarangan masih saja menggonggong. Tak jelas betul apa sebabnya. Pak Yan diam sejenak sebelum mengatakan bahwa ia dan kelompok Renganis saat ini belum membentuk generasi berikutnya—atau generasi keenam. Pak Yan mengaku, tak gampang mencari orang yang mau dan mampu meneruskan perjuangannya. Padahal, Renganis harus tetap dilestarikan, meskipun sawah dan petani di Penglatan sudah mulai berkurang. “Saya berharap, ada darah daging saya yang mau mewarisi kesenian ini,” katanya. Seniman pewaris kesenian renganis itu tampak serius saat mengutarakan hal tersebut. Mata tuanya sampai berkaca-kaca.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole