PUPULAN Puisi Bali Modern “Renganis” Karya Komang Sujana diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi Tahun 2024 merupakan karya sastra Bali Anyar berupa antologi puisi dengan memadukan berbagai fenomena yang terjadi. Sedikitnya ada sekitar 67 puisi Bali baik yang pendek, panjang, sedang dihidangkan dalam berbagai rima, irama, bait yang mudah dinikmati bagi pecinta bahasa bali. Diantaranya terdapat juga beberapa puisi orbituari.
Namun akan ada sedikit kesulitan memang ketika kita mencoba memahami puisi Bali modern karya putra asal Desa Tajun ini manakala kita tidak fasih dengan ketikan bahasa Bali latin, terutama dengan perbedaan huruf “e” dalam kata “sekolah” dengan huruf “e” dalam kata “pendek” atau huruf “a” diakhir kata yang atau sebagai awalan yang dibaca “e”. Disamping itu pemilihan kata-kata bahasa Bali yang jarang digunakan dalam keseharian juga akan menjadi pertanyaan ketika membaca dan mencoba mengartikan kata per katanya. Sebaliknya akan terasa lebih terbantu jika membaca dalam konteks yang tersaji baik dalam bait maupun judul puisi.
Ada banyak hal menarik yang didapat ketika kita menikmati karya-karya ini. Pangripta menuangkan isi pikirannya “tanpa batas ruang dan waktu” dalam konteks bahasa Bali lumrah yangmudah dimengerti orang Bali kebanyakan. Selain itu, bentangan alam Bali Utara/Buleleng yang luas membangun inspirasi menulisnya termasuk letak topografi daerah asal penulis yang penuh atmosfir spiritual. Ini mendorongnya mencoba untuk menelisik mulai dari hal unik, yang klasik sampai yang terkesan klenik seperti dalam puisi Kidung Tajun, Kalangan Giri Mukti, Peninjoan, Desa Pitu Likur dan beberapa puisi lainnya.
Hal menarik lainnya adalah pemilihan judul buku antgologi ini yaitu “Renganis”. Renganis sebagai sebuah kesenian tradisional khas Buleleng asal desa Pangelatan merupakan salah satu karya sastra adi luhung yang sangat jarang sekarang ditemukan. Bahkan di daerah asalnya sendiri yang terkesan mulai kurang mendapat perhatian. Setidaknya ini yang memantik penulis memilih judul Cakepan ini agar mudah diterima masyarakat kebanyakan khususnya masyarakat pewaris kesenian ini.
Puisi Renganis, Renganis (2) Renganis (3) nampak hadir dalam benaknya dalam satu tarikan ide mengenalkan eksitensi Renganis dari masa lampau hingga tumbuh kebanggaan dan mendapat berkah spiritnya. Renganis atau Reng Manis atau Reng Nis atau Renga Nis, istilah yang dapat diterima sebagai unsur etimologinya. Reng Manis dapat berarti alunan suara yang merdu/indah. Reng Nis dapat berarti suara gaib (Niskala), dan Renga Nis dapat berarti peduli pada hal yang bersifat spiritual (Niskala). Hal ini ketika dicoba mencari jejak digitalnya dalam medsos mengantarkan pada sebuah unsur cord dalam nada yang harmonis tercipta dalam sebuah alunan ketika disuarakan dengan kidung bersama.
Reng yang tercipta bukan karena sangsih atau candet beda tangga nada, melainkan suara yang tercipta dari sumber suara wak, wakcika atau mulut yang menyanyikan berbeda-beda. Kemudian dibalut pantun bernada cerita mengantarkan perlahan raga si penembang condong ke kanan dan kekiri menikmati alunan tembang yang dibawakan dengan nikmatnya. Sungguh manis memang, rasa manis yang tercipta menuntun hadirnya hasrat spiritual, yang seakan dapat meruwat sang penikmat hingga menghadirkan keteduhan ke segala penjuru. Serasa “suka tan pawali duka” begitu sekiranya dirasakan.
Renganis (2) dan Renganis (3) beriksah akan hal ini. Sementara di puisi Renganis, selain dalam perkenalan, juga mencoba menuangkan kekhawatiran akan punahnya karya ini dimakan waktu (zaman) akibat tiada daya penyerta upaya untuk melestarikan terlebih mengembangkannya. Senada dengan tersebut, sambutan Renganis: Suara Sunia Saking Buleleng olih IBW Widiasa Keniten dalam karya ini memperkuat perlunya upaya berbagai pihak dalam menjaga kelestarian kesenian Renganis, utamanya yang memiliki kewenangan terkait.
Memperkuat rasa kebhatinan penulis juga menuangkan berbagai gundah gulana, apresiasi, rasa Syukur dalam karyanya seperti : Basa Lali, TPS, yang merupakan bentuk sindiran, Pelabuhan yang merupakan bentuk toleransi bhineka tunggal ika di Buleleng, Kidung Tajun yang merupakan potensi desa Tajun dari kondisi aktual, ritual hingga spiritual serta hari raya seperti Galungan dan Kuningan. Hal menarik yang juga sempat saya rasakan saat hadir dalam pertandingan Bola Voli Tajun CUP di Lapangan Giri Mukti desa Tajun adalah Kalangan Giri Mukti yang saya sebut secara spontan sebagai: The Batlle Ground of Tuak, Arak, and Suryak.
Akhirnya Buku Antologi Puisi Bali Modern berjudul Renganis Karya Komang Sujana ini sangat bagus untuk dimiliki. Disamping sebagai referensi sastra yang baik dalam pembelajaran bahasa Bali, juga dapat digunakan sebagai media perekat dan pemersatu rasa basa dan sastra dresta dalam perjalanan menuju dua desa di wilayah kaja kangin (Timur Laut) Buleleng yaitu Desa Tajun dan Mangening (Mencapai Tujuan melalui keheningan).
Selamat Menikmati.