INI musim buah. Rambutan, durian, manggis, jeruk, dan buah lainnya, mudah saja kita jumpai di punggung-punggung desa di Bali. Buah-buah itu berserak di mana-mana, tak hanya di kebun, tapi juga di pekarangan, termasuk di samping rumah sederhana itu. Di sana ada tiga pohon rambutan—orang setempat menyebutnya buluan—dengan buah cukup lebat.
Rumah sederhana itu dikelilingi sawah dan kebun buah. Maka tak heran suasananya begitu nyaman. Di terasnya yang cukup luas, selain meja-kursi untuk menyambut para tamu, terdapat juga setengah barung Gong Kebyar. Di sana pula kadang anak-anak tetangga sekitar belajar berkesenian: menabuh dan menari. Itulah tempat tinggal seorang seniman bernama Nyoman Arya Suriawan bersama keluarga kecilnya.
Siang itu ia sedang duduk di kursi plastik yang warnanya sudah memudar. Di samping kiri dan di depan pintu rumahnya, beberapa gendang teronggok. Sedang di kolong meja tinggi, berjejer berapa gamelan berbilah. Di sampingnya, di pojok tembok pembatas teras, gong-gong bergelantungan, hitam dan dingin. Di dinding samping kanan-kiri-atas pintu berukiran khas Bali itu, berjajar foto-foto keluarganya. Ada foto lama, ada pula gambar masa kini. Semua terfigura rapi.
“Tadi pagi baru saja saya selesai mengajar tari lewat Zoom. Jauh soalnya, orang Toronto, Kanada,” seniman paruh baya itu membuka obrolan.
Ia mengaku sudah lama mengajar orang asing yang memiliki ketertarikan dan minat belajar kesenian Bali, khususnya tari. Muridnya datang dari mana-mana, Australia, Amerika, hingga Eropa. “Selama ini itu yang menghidupi keluarga kami,” sambungnya.
Arya lahir di sebuah desa miskin yang banyak menyimpan cerita menyedihkan. Ia lahir tahun 1964, setahun setelah Gunung Agung meletus dan setahun sebelum tragedi kemanusiaan 1965 itu pecah. Arya lahir di antara tahun yang penuh kesedihan dan kesengsaraan.
Nyoman Arya Suriawan | Foto: Hizkia
Satu tahun setelah Gunung Agung meletus pada 1963, derita kelaparan—yang terdengar lebih seram dari apa pun—membayangi benak orang-orang di kampungnya. Pertanian gagal panen. Beras mahal. Jagung dan ketela adalah pilihan satu-satunya—itu pun kalau ada.
“Saya lahir dari keluarga seniman yang miskin. Awal menikahi ibu, bapak belum punya rumah. Kami tinggal di rumah kakek, mertuanya bapak,” Arya bercerita dengan sendu.
Sebagai seorang yang lahir dari keluarga tak punya, agar bisa sekolah, Arya rela bekerja sebagai kondektur angkutan umum. Ia melakukan pekerjaan itu sejak duduk di bangku sekolah dasar sampai SMP. Arya kecil biasa berteriak memanggil penumpang jurusan Sawan-Singaraja. Bersama angkutan milik tetangga, ia mengantar orang-orang menonton film di beberapa bioskop di Singaraja—yang kini hanya tinggal cerita dan jadi nostalgia.
Pekerjaan itu berhenti setelah Arya masuk sekolah menengah di KOKAR Bali (Konservatori Karawitan Indonesia)—atau SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) Negeri Denpasar—pertengahan tahun 80-an. Di sinilah ia mulai serius belajar kesenian. Meski pada kisaran tahun 70-an, di rumahnya sendiri, sebenarnya ia sudah belajar menabuh gamelan dan menari—ia menyebutnya mengigel.
“Saya belajar menabuh gamelan dan menari itu dari kakek. Kami biasanya belajar di balai banjar samping pasar desa itu. Dan keluarga saya sangat mendukung itu, supaya ada yang meneruskan kata mereka,” ujarnya meyakinkan.
Tahun 1990 Nyoman Arya lulus dari seni tari ISI Denpasar. Tapi justru itu yang membuatnya gamang. Ia tidak yakin bisa hidup dari kesenian. Mengingat, banyak seniman di kampungnya jauh dari kata sejahtera. Itulah salah satu sebab kenapa banyak seniman di desanya memilih meninggalkan kampung halaman demi mengadu nasib di negeri yang jauh seperti Sulawesi, misalnya.
Sementara itu, di sanubarinya yang lain, ia sangat ingin meneruskan apa yang telah dikerjakan dan diperjuangkan oleh leluhurnya. Arya muda mengalami konflik batin. “Saya memutuskan melamar menjadi pegawai bank. Dan saya diterima,” katanya.
***
Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng, Bali, selain sering disebut saat berbicara tentang perlawanan di masa kolonial, tanah subur yang bertengger di ketinggian 125 meter di atas permukaan laut itu, juga banyak melahirkan seniman tabuh dan tari yang namanya tak lekang oleh waktu. Di tanah inilah Nyoman Arya Suriawan dilahirkan dan dibesarkan.
Pada kisaran tahun 1910, di Jagaraga hidup seorang seniman tabuh dan tari bernama I Wayan Paraupan—atau yang lebih dikenal dengan nama Pan Wandres. Alkisah, bersama karibnya yang akrab dipanggil Pan Cening Liyana, sebagaimana dikisahkan Nyoman Arya, Pan Wandres menciptakan tari baru bernama Kebyar Legong.
Disebut Kebyar Legong karena terdapat unsur-unsur tari yang luwes-dinamis bak Legong yang diiringi Gong Kebyar. Pendapat lain, disebut Kebyar Legong karena pada koreografinya memasukkan secara kental penggalan Tari Legong Keraton yang notabene berkembang di Bali Selatan.
Tetapi, terlepas dari itu semua, yang pasti, Kebyar Legong di masa lalu selalu ditampilkan dalam tradisi gamelan mebarung di Bali Utara. Belakangan, tarian ini menjadi pemantik kegairahan berkesenian dan sumber inspirasi lahirnya Tari Terunajaya di Dangin Enjung dan Wiranjaya di Dauh Enjung.
Pada 1915—sebagaimana Colin McPhee menulis dalam catatannya yang monumental, “Music in Form and Instrumental, Oganization in Balinese Orchestral Music” (1986)—di Jagaraga sudah ada gong mebarung. Pria Kanada itu menulis:
“Regen Buleleng, Anak Agung Gde Gusti Djelantik, yang pada tahun 1937 bercerita pada saya, menuturkan bahwa penanggalan dalam catatan hariannya menunjukkan gamelan kebyar pertama kali diperdengarkan kepada khalayak umum pada Desember 1915, yaitu pada saat beberapa sekaa gamelan terbaik di Bali Utara mengikuti perlombaan gamelan di Jagaraga.”
Tahun 1920-an adalah tahun penting dalam sejarah kesenian Bali. Saat itu Bali sedang berada di tengah revolusi seni dengan kebyar sebagai penggerakknya—gamelan yang paling dominan di masa itu. Di Bali Utara, dalam buku I Wayan Senen yang berjudul Wayan Beratha Pembaharu Gamelan Kebyar Bali (2002), selain eksis di Desa Jagaraga, sebenarnya Gong Kebyar juga sudah eksis di beberapa desa lain, seperti Desa Bungkulan, Ringdikit, Sawan, Banyuatis, Nagasepa, Patemon, Menyali, Kalapaksa, Bebetin, Bubunan, Bantiran, dan Kedis.
Gong Kebyar—atau gong gede sebagaimana orang Jagaraga menyebutnya—menggelinding, menjalar seperti virus, begitu cepat sampai ke ceruk-ceruk jauh di Pulau Bali. Para maestro di utara dipanggil untuk mengajar di selatan. Atau orang-orang selatan sendiri yang rela menempuh perjalanan jauh ke utara demi belajar Gong Kebyar.
Pada 1919, setelah Sekaa Gong Bantiran yang terletak di perbatasan antara Buleleng dan Tabanan mementaskan Gong Kebyar dalam sebuah acara palebon (pembakaran jenazah) di Puri Subamia Tabanan, seorang maestro dari Kedis bernama I Wayan Sembah diminta untuk mengajarkan Gong Kebyar di beberapa desa di daerah Bali Selatan.
Tahun-tahun itu kesenian Bali sedang bergeliat. Kelompok gamelan tua, orkestra seremonial, dilebur dan ditempa kembali dengan gaya baru. Persaingan antardesa atau daerah mendorong para komponis muda untuk berkarya mengembangkan inovasi dan teknik yang mengesankan, tak terkecuali para seniman di Desa Jagaraga—desa yang oleh sebagian orang dianggap dan diyakini sebagai tempat lahir kesenian Gong Kebyar.
Pada tahun 1925, murid Pan Wandres, Gde Manik menunjukkan bakat dan jati dirinya sebagai seorang kreator tari. Berorientasi dari Tari Kebyar Legong karya sang guru yang sering ditarikannya, Manik menelurkan karya Tari Kebyar Legong versi lain—yang berdurasi lebih pendek namun tetap menunjukkan karakteristik tari yang dinamis. Pada tahun 1950-an, tari yang bernuansa gelora teruna nan heroik itu, belakangan diberi nama oleh Presiden Soekarno: Tari Terunajaya. Gde Manik menerimanya dengan bangga.
Saat itu, nama Gde Manik menjadi buah bibir. Ia menjadi bintang, dielu-elukan, dianggap, dan dijadikan sebagai guru. Namanya harum di pelosok-pelosok Bali. Seniman-seniman besar mendatanginya. Akademisi-akademisi menjadikan karyanya sebagai bahan penelitian. Banyak sanggar hidup dari karya-karyanya. Pariwisata semakin manis atas hadirnya Tari Terunajaya.
***
“Gde Manik itulah kakek saya,” ujar Nyoman Arya. Angin berkesiur. Banjar Dinas Kauh Teben, Desa Jagaraga, tiba-tiba senyap. Tengkoret yang sendari tadi berisik menggesek sayap, lenyap seketika. Hanya sesekali cericit burung dan gonggong anjing terdengar. Pohon rambutan di pekarangan terhuyung ke kanan-ke kiri mengikuti angin menerpa. Jerit bocah bermain di kolam sebelah, memecah hening yang entah kapan tercipta.
Gde Manik, Arya bercerita, maestro tari dan karawitan yang namanya abadi dalam kesenian Bali itu, punya satu adik kandung dan satu adik tiri. Adik kandungnya bernama Made Raka, sedangkan adik tirinya bernama Made Mega. Setelah menikah, Made Raka melahirkan anak keempat, perempuan, bernama Ketut Tadi. Ketut Tadi inilah ibu kandung Nyoman Arya Suriawan.
Sedangkan sang maestro, Gde Manik, menikah dengan salah satu cucu gurunya, Pan Wandres, yang bernama Nyoman Suwita. Selain itu, Gde Manik juga menikah dengan perempuan lain bernama Putu Karti. Dari Karti inilah, Manik dikaruniai seorang anak perempuan bernama Putu Resik—yang meninggal di panti jompo dalam keadaan miskin dan tak punya keturunan.
Gde Manik dari kecil sudah sengsara—jika boleh dikatakan demikian. Ia lahir dari keluarga seniman yang miskin. Tari Terunajaya diciptakan olehnya, lahir di Desa Jagaraga, tapi justru orang lain dan tempat lain yang menikmatinya. Banyak sanggar kaya karenanya. Banyak orang kaya karena mengajarkannya.
Tetapi tak satu pun dari mereka memikirkan nasib sang pencipta dan keluarganya. Orang-orang sibuk membahas karya-karyanya, tapi luput dari pembahasan mengenai sosok-pribadinya. Tak cukup namanya dipacak untuk sebuah gedung kesenian yang sunyi.
“Keluarga Gde Manik itu miskin. Tak punya tanah, tak punya barang mewah. Ia penyakap, menggarap tanah orang lain. Ia sering utang beras—bahkan selinting tembakau saja tak punya. Bayangkan, orang hebat seperti Gde Manik, tapi anaknya tinggal dan meninggal di panti jompo,” Arya berkata. Dari wajah dan nada suaranya, tampaknya ia memang tidak sedang mengada-ada.
Sejak kecil Arya sering ditimang-timang Gde Manik. Tak jarang Arya kecil tertidur di balai banjar dekat pasar desa itu saat Gde Manik sedang sibuk bergulat dengan gamelan. Selain pandai mencipta tari dan gending, Gde Manik sangat jago bermain gendang. Bagi Arya, dalam memainkan gendang, mungkin tak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa menandingi maestro pencipta Tari Terunajaya itu.
Menurut orang-orang tua di Jagaraga, saat menabuh gendang, Gde Manik tak sampai mengelurkan keringat. “Taksunya mungkin sudah melekat. Pukul sedikit udah bunyi. Dia pernah bilang, kalau sudah menabuh gamelan, capeknya hilang,” ujar Arya berusaha menggali masa lalu bersama orang yang ia panggil kakek itu.
Gde Manik ahil menciptakan gending, tari, sekaligus penabuh dan penari yang andal. Ia belajar semua itu dari Pan Wanres. Dulu, di Jagaraga, kata Arya, semua tarian ditarikan laki-laki. Zaman itu penari perempuan masih pingit, katanya. Namun, setelah zaman bergerak secepat penabuh memukul bilah gamelan Gong Kebyar, perempuan biasa menari di depan umum.
Tetapi tak sembarang perempuan bisa menjadi penari. Ia harus cantik, betul-betul cantik, putih, karena zaman itu belum ada tatarias. Di Jagaraga, orang yang bertugas memilih, menilai, dan menentukan layak-tidak-layak seseorang menjadi penari disebut bapa pantas.
“Kalau laki-laki caranya dipakaikan udeng. Kalau tidak cocok, ya pilih yang lain. Kalau dia (bapa pantas) bilang iya, berarti pantas. Kalau tidak ya tidak. Setelah itu baru diajari menari,” kata Arya.
Pada tahun 1985, Gde Manik meninggal di usia 88 tahun. Pada saat itu pula, Gong Kebyar di Jagaraga mulai meredup di kancah kesenian Bali. Satu nama yang disebut-sebut sebagai penerus Gde Manik adalah Made Kranca, cucu dari Pan Wandres, murid Gde Manik sendiri.
Tetapi, saat Kranca berusaha menjaga api kesenian di Jagaraga, selain Gong Kebyar di Bali Selatan yang sudah melejit melampaui—anggap saja begitu—kebyar Bali Utara, banyak seniman di Jagaraga yang merantau ke luar daerah. Pemerintah Orde Baru zaman itu memang senang mengirim orang-orang keluar dari daerahnya untuk tinggal dan menetap di daerah lain.
Jadilah Jagaraga kehilangan banyak seniman dan tenaga kerja produktif. Banyak lahan pertanian tak tergarap; gairah hidup, juga harapan, lenyap menjadi kisah pilu pada pelupuk mata-mata tua. Dengan begitu, Gong Kebyar Jagaraga seolah lenyap di jagat kesenian Bali bersama abu kremasi sang maestro yang akrab dipanggil Pan Resik itu.
“Tak banyak yang mau meneruskan perjuangan kakek. Katanya tak menguntungkan, sing ada pis. Pada tahun itu orang Jagaraga terpaksa lacur, mungkin sampai hari ini. Saat ini saja, misalnya, hanya Pak Kranca yang masih punya semangat. Kalau misalnya dia sudah tidak ada, siapa lagi yang meneruskan?” ujar Nyoman Arya. Ia bertanya, “Siapa lagi yang meneruskan?” Padahal ia sudah tahu jawabannya. Ya, siapa lagi kalau bukan dirinya sendiri.
***
Pada tahun 1998, Nyoman Arya menampilkan warrior dance di Rotary Pavilion dalam acara malam pembukaan serial musik jazz Upbeat Cadillac. Arya pentas di kawasan Cadillac sebagai bagian dari kelompok belajar Rortary International dari Distrik 3400 di Bali. Begitulan sebuah surat kabar lokal, Cadillac Evening News, memuat berita tentang Arya dan memasang fotonya saat sedang menari.
Arya belajar menari sejak usia dini—atau bisa jadi malah sejak dalam buaian. Pasalnya ia lahir dari rahim seorang seniman. Di dalam dirinya mengalir darah kesenian. Ia belajar di institusi seni. Meski setelah lulus pernah terbesit untuk bekerja di sektor keuangan.
Berita di koran Cadillac Evening News saat Nyoman Arya pentas di Cadillac tahun 1998 | Dok. Nyoman Arya | Foto repro: Jaswanto
“Ibu saya seniman, kakek saya seniman. Tapi dulu saya bercita-cita menjadi pegawai bank,” tuturnya sembari menertawakan diri sendiri. Mungkin sekarang ia merasa bahwa itu merupakan pikiran “bodoh” yang mengada-ada. Suatu kali Ia diminta kakeknya, Gde Manik, untuk menjaga Terunajaya supaya tidak hilang.
Arya tak jadi menjadi pegawai bank. Ia memilih melanjutkan perjuangan pendahulunya. Tetapi lain dengan Gde Manik atau Made Kranca, ia tak hanya belajar berkesenian, tapi juga belajar mencari penghidupan dari sana. Jadilah Arya mengajar di hotel-hotel, seperti di Banyuatis, Munduk, dan sekitarnya. Arya mengajar orang-orang dari Australia, Eropa, sampai Amerika. Ia juga mengajar di SMKN 1 Sukasada, menggarap beberapa tari untuk desa dan instansi-instansi lainnya. Seperti kakeknya, ia sudah terbang ke mana-mana.
“Sebenarnya sejak masih mahasiswa saya sudah mengajar para tamu dari luar negeri. Zaman itu, guru SD masih dibayar 25 ribu, saya sudah dapat bayaran 800 ribu. Kalau tidak begitu saya tidak bisa membeli rumah dan menyekolahkan adik-adik,” ujarnya.
Arya berpendapat, orang Bali Selatan bisa hidup dari kesenian karena di sana banyak ladang luas yang bisa diandalkan. Ladang-ladang itu berupa hotel, tempat-tempat pariwisata, dan tempat hiburan lainnya. Banyak seniman yang mengajar dan pentas di tempat-tempat tersebut. Sedangkan di desa, seniman berkesenian tidak melulu berorientasi ke persoalan ekonomi—meski mungkin tidak sedikit yang arah tujuannya ke sana.
Setelah lulus dari ISI Denpasar, Arya sempat mendapat tawaran bekerja di ISI Padang Panjang, Sumatera Barat. Tapi karena tak mau meninggalkan kampung halamannya, ia menolaknya. Jadilah Arya bekerja untuk Keluarga Cendana (Soeharto). Arya mengaku pernah menjadi jembatan penghubung untuk pembangunan banyak hotel di Bali.
“Waktu itu uang saya banyak, tapi untuk membeli satu motor saja tak mampu,” katanya. “Berbeda dengan fokus di kesenian. Walaupun sedikit, tapi mungkin lebih berkah. Kakek saya juga pernah berpesan, ‘Jaga Terunajaya jangan sampai hilang’,” sambungnya. Maka dari itu, pada tahun 1993, Arya memantapkan diri untuk fokus di bidang kesenian.
Hingga tahun 2019, di rumahnya yang sederhana ia mendirikan sanggar seni bernama Batannyuh. Di sinilah anak-anak Jagaraga belajar menabuh dan menari. Selain dirinya, istri dan anak-anaknya juga membantunya melatih anak-anak berkesenian.
Namun, seperti yang sudah disinggung di atas, setelah kematian Gde Manik, Gong Kebyar Jagaraga rebah dan mati suri bertahun-tahun. Hingga pada tahun 2015, atas permintaan Pemerintah Buleleng, Gong Kebyar Jagaraga kembali pentas di panggung besar. Tapi bukan yang legendaris, hanya Sekaa Gong Anak-Anak. Saat itu Arya dan Kranca yang menggarap dan menyiapkan semuanya. “Setelah itu selesai, Jagaraga tidur lagi,” kata Arya.
Tetapi tidak dengan tahun ini, bisa jadi pusat perhatian itu akan kembali tertuju pada Jagaraga. Orang-orang akan kembali mendengar dan melihat Terunajaya ditarikan oleh mereka yang lahir dari tangan dingin Gde Manik di panggung Pesta Kesenian Bali 2024. Orang-orang akan kembali merasakan kebyar Jagaraga yang selama ini tenggelam oleh kebyar-kebyar di wilayah lain—yang jauh lebih ngebyar tentu saja.
Nyoman Arya memiliki posisi penting dalam pementasan kali ini. Ia ditunjuk sebagai ketua, atau koordinator, untuk menyiapkan segala hal, dari pra sampai pasca nantinya. Menurutnya, ini sesuatu yang berat. “Tapi mau bagaimana lagi, tanggung jawab harus diselesaikan,” ujarnya sembari tertawa.
Untuk bisa tampil maksimal, Sekaa Gong Legendaris Jaya Kusuma Jagaraga sudah melakukan persiapan sejak bulan Agustus tahun lalu. Sebagai orang yang ditunjuk untuk memimpin sekaa, Arya mengaku telah melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk desa. “Agustus kami mulai mengumpulkan para penabuh. Lalu menyepakati jadwal latihan,” ujarnya.
Sejauh ini, selama proses produksi, Nyoman Arya masih mengeluarkan biaya sendiri. Dari keperluan perbaikan gamelan, sampai menyediakan air, kopi, dan kudapan. Itu semua ia lakukan, supaya Gong Kebyar Jagaraga kembali muncul ke permukaan, bukan hanya dianggap peninggalan masa silam yang terkubur bersama mendiang mestronya. “Kendang itu pun punya saya pribadi,” katanya.
Waktu melesat seperti alap-alap menangkap pipit. Nyoman Arya dan kedua anak laki-lakinya, sedang bersenang-senang di teras rumahnya. Sementara ia megamel dengan mulutnya, anak keduanya memainkan gendang, sedang anak ketiganya—yang masih duduk di bangku kelas 2 SD—menari Jauk dengan semangat yang tak terbendung.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole