CANDI bentar tua menjulang dan di ujungnya bulan bundar sangat menawan. Itu di sebuah griya, di sebuah desa tempat kelahiran leluhurnya, sebuah keluarga Brahmana. Sebuah bangunan piasan di tengah merajan tua.
Tidur bergerombol di bawah kolongnya dengan kawan-kawan kecilnya serta saudara-saudaranya tanpa sekat pembatas. Juga, cerita horor dari para tetua, adalah masa kanak-kanak yang indah, gembira tanpa sekat.Itu dunia kecilnya yang baur terasa hilang ketika kembali ke kota.
Menjadi urban berarti mengambil jarak. Itu dipertanyakan oleh Alit S Rini saat pembatasan mulai dirasakan.
Dunia masa kecilnya lambat-laun adalah romantisme yang hilang. Sesuatu yang asing tiba-tida dan dirindukannya. Terutama pembauran dan bahasa ekspresif yang santun dan akrab.
Urbaninasi tak hanya mengubah seting namun juga perilaku, sistem pola asuh yang terasa lebih mengintervensi atas dasar kecemasan, bukan karena keselamatan karena kota yang hingar. Kesadaran tentang yang lian dibangun. Ruang ekspresi dan komunikasi dikontrol demikian rupa. Keluar berarti ancaman. Sesuatu tentang kemanusiaan mulai memasuki wilayah pertanyaan dalam hati,tanpa ada jawaban.
Dunia sekolah dengan kawan-kawan di sekolah dasar (SD) 6, di Jalan Melati Denpasar, tak lebih dari 500 meter letaknya dari rumah tinggal di Jalan Anggrek, memberikannya kembali keakraban berteman. Komukasi dengan bahasa Bali yang ekspresif terasa menyenangkan.
Begitu juga ketika bersekolah di SLUB 1 Saraswati hingga di SMA 1 Denpasar. Duabelas tahun bersekolah dan 4 tahun di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Inggris di Universitas Udayana baru menyadari apa sejatinya sebuah identitas.
Santiago, tokoh nelayan tua dalam The Old Man And The Sea, karya Hemingway dan lukisan Dewa Ruci, hadiah dari seorang teman dekat menjadi arah diskusi perjalanan tentang identitas hingga eksistesi. Itu kemudian menjadi materi skripsinya dengan judul “Filsafat Eksistensialisme Dalam Novel The Old Man In The Sea karya Hemingway” di tingkat doktoral.
Seorang dosen, usai ujian skripsi, bertanya, ”Anda Dayu?”
Ia gelisah dengan pertanyaan itu. Namun ia merasa beruntung ketika Umbu Landu Paranggi memberikan semacam status nyineb wangsa dengan nama pena Alit S Rini dalam puisi yang dimuat di koran Bali Post. Ketika itu ia baru belajar menulis puisi di tahun 1980-an dengan terbata-bata memasuki dunia kepenyairan.
“Ruang ekspresi re-kreatif dan kreatif saya temukan lewat puisi dan esei sastra atas jasa Umbu. Dia guru spiritual lewat jalan puisi,” kata Alit.
Alit S. Rini kemudian menjelahi dunia kerja sebagai jurnalis di koran Bali Post. Itu karena puisi. Semula sebagai penerjemah. Lalu memegang rubrik budaya,agama,adat dan pendidikan, rubrik opini sekaligus. Mulai merekrut teman di luar koran dan melanglang menemukan seniman, orang-orang dan tokoh agama, adat, budayawan serta masyarakat lainnya untuk memantapkan rubrik yang dipegang. Liputan di rubriknya sempat menjadi rujukan orang asing, sebagai informasi, penelitian, hingga disediakan mesin foto copy oleh kantor.
Dunia kepenyairan mulai menyadarkan, dia lalu menerbitkan buku kumpulan puisi pertama “Karena Aku Perempuan Bali” (Arti Fondation, 2003) yang isinya sekitar wilayah rubriknya dan pertanyaan krtitis terkait eksistensi perempuan di tengah budaya, adat dan agama. Itu buku puisi berisi kritik sosial, menurut Dharma Putra yang kini profesor di Universitas Udayana dalam kata pengantar yang ditulisnya.
Buku kumpulan puisi “Karena Aku Perempuan Bali” boleh disebut “terminal satu” keberangkatan dari menulis puisi di tahun 1980 hingga 2003. Dua puluh tahun kemudian buku kumpulan puisinya “Arunika” (Pustaka Ekspresi, 2023) sebagai terminal kedua. Buku “Arunika” ini mendapat penghargaan sebagai buku puisi terbaik versi Majalah Tempo 2023, yang baru bebarapa hari lalu diumumkan secara luas.
Apakah sejak dulu bercita-cita jadi penyair?
Sebuah pertanyaan yang mengagetkan baginya. Sebab baginya, menulis puisi cara lain untuk mengisi hidup. Memberi cara lain dalam memandang peristiwa dan menyadari kehidupan sosial adalah sebuah teks yang berubah, hidup dan harus terus dibaca ulang dan terus-menerus. Disebut penyair hanya dampak. Hanya penanda.
”Saya keluar dari identitas kelahiran dan identitas kepenyairan, ketika saya harus terlibat kegiatan adat, agama dan dalam pergaulan keluarga besar atau masyarakat umum di bebanjaran. Dengan begitu saya dapat begitu banyak bahan pemikiran untuk jadi puisi,“ ujar Alit. Selanjutnya, “Dulu di keluarga asal saya amat sinis dengan kata seniman!”
Ketika ditanya balik, tapi, Anda memiliki teman hidup juga penulis puisi?
“Ya itu sebuah pilihan sadar. Puisi mengantarkan saya mendapatkan rasa percaya diri. Bertemu pendamping hidup sekaligus teman diskusi dan saling menuntun ke arah kesadaran spiritual melalui jalan estetika bersama-sama. Menemukan kehidupan yang hangat dalam keluarga,” kata Alit.
Selanjutnya…
“Saya bisa memiliki sejumlah lukisan yang menjadi mimpi di masa remaja, terasa mewah dan rasanya tak terjangkau di masa lalu. Dulu tembok luas di rumah terasa luas ingin dihiasi satu atau dua lukisan sebaliknya sekarang rumah pun terasa sempit sebab temboknya dipenuhi dengan koleksi lukisan yang saya kumpulkan sejak 2003 lalu,” ujar Alit.
Dua lukisan sang pendamping hidup menjadi cover pada dua buku puisinya.
“Lukisan untuk cover buku pertama, sayangnya hilang. Menjadi seniman atau tidak toh saya sudah berada di dalamnya. Seperti ujar sang guru, Umbu, kepada saya, menjadi penyair atau tidak itu tak masalah namun harus bisa mengapresiasi karya seni. Itu pemikiran yang seharusnya jadi visi ke depan dalam pendidikan kita sebab estetika dasarnya adalah imajinasi,” kata Alit. [T]