KETIKA beberapa hari lalu buku puisi “Arunika” muncul dalam daftar nomine 10 Besar Buku Sastra Pilihan Tempo, lalu masuk daftar nomine 3 Besar, dan akhirnya diputuskan sebagai buku terbaik untuk katagori puisi, barangkali publik sastra Indonesia mengira Alit S Rini, nama penulis buku itu, adalah penyair baru. Tentu saja karena nama perempuan penyair dari Bali itu jarang muncul dan dibicarakan dalam kancah nasional, baik melalui media maupun diskusi-diskusi sastra.
Padahal, dalam pergaulan sastra di Bali, nama Alit S Rini bisa disebut nama besar. Ia menulis puisi sejak tahun 1980-an. Puisi-puisinya, yang sebagian besar dimuat di Bali Post Minggu, selalu jadi pembicaraan sesama penulis puisi, karena ia menawarkan ungkapan-ungkapan yang berbeda, kadang mengejutkan, terutama tentang kegelisahan dirinya sebagai perempuan Bali.
Jadi, ketika muncul nomine 10 Besar Buku Sastra Pilihan Tempo, lalu masuk dalam nomine 3 Besra di IG tempodotco, sejumlah penyair dari Bali, yang bercakap-cakap di grup WA, sudah menduga-duga bahwa buku Arunia akan jadi pilihan. Dugaan itu tentu berdasar berbagai alasan, terutama bahwa puisi-puisi Alit S Rini secara konsisten, dan senantiasa kuat, berbicara tentang gambaran perjuangan dan pemikiran perempuan Bali.
“Membanggakan, membahagiakan sekaligus mengejutkan apresiasi dari Tempo ini bagi saya,” kata Alit S Rini melalui WA kepada tatkala.co., setelah ia tahu bahwa buku Arunika menjadi pilihan Tempo.
Karena berkompetisi dengan pegiat sastra, khususnya penulis puisi setanah air, nama-nama besar termasuk di dalamnya, menurut Alit, bukanlah perkara ringan baginya.
“Tetapi buku Arunika sudah menemukan takdirnya,” kata Alit S Rini.
Alit S Rini mengakui kemenangan ini menjadi penghiburan bagi dirinya yang berusaha terus menerus menyuarakan kesaksian dan reaksi terhadap praktik diskriminasi yang terjadi.
“Saya bereaksi terhadap diskriminasi atas nama apa pun, khususnya yang menimpa perempuan Bali. Tradisi, kasta, warna adalah suatu realitas. Yang tidak boleh ada adalah praktik-praktik diskriminasi. Itu yang saya suarakan dalam puisi-puisi saya,” ujar Alit S Rini.
Buku puisi “Arunika” | Foto tatkala.co
Alit S Rini bernama lengkap Ida Ayu Putu Alit Susrini. Ia tamatan Sastra Inggris, Universitas Udayana, dan menulis puisi sejak remaja.
Puisinya pertama kali masuk dalam rubrik Pos Remaja yang diasuh penyair Umbu Landu Paranggi sekitar tahun 1980-an. Lalu ia terus menulis puisi untuk berjuang masuk dalam rubrik Pos Budaya, peringkat tertinggi dalam proses penulisan puisi di Bali Post Minggu saat itu.
Karena puisi juga kemudian ia masuk dalam dunia jurnalistik, awalnya menjadi penerjemah di Bali Post, lalu menjadi redaktur empat rubrik, yakni rubrik budaya, agama, pendidikan dan opini. Ia sempat menjadi redaktur pelaksana, dan tetap menggawangi desk opini hingga ia pensiun akhir tahun 2015.
Buku kumpulan puisi tunggal pertamanya terbit tahun 2003 dengan judul “Karena Aku Perempuan Bali”. Lalu setelah pensiun dari Bali Post, ia secara lebih intens menulis puisi. Terbit di tahun 2017 buku puisi “Pernikahan Puisi” bersama suaminya, Nyoman Wirata, yang juga seorang penyair dan pelukis. Ia meraih penghargaan Bali Jani Nugraha dari Pemerintah Provinsi Bali tahun 2023.
Buku puisi “Arunika” terbit tahun 2023 sebagai lanjutan dari penghargaan Bali Jani Nugraha. Buku yang diterbitkan penerbit Pustaka Ekspresi ini berisi dua bagian, yakni bagian “Cerita dari Bilik Perempuan” yang berisi 20 puisi dan bagian “Arunika” berisi 18 puisi.
Alit S Rini memang bukan orang baru dalam dunia perpuisian di Indonesia. Sebagaimana banyak penyair lain di Bali, ia jarang mempublikasikan puisi-puisinya ke media nasional, dan seakan mendapat kepuasan tersendiri mempublikasikan puisi-puisi di Bali Post Minggu asuhan Umbu Landu Paranggi.
Dikutip dari Tempo, dalam pemilihan buku sastra, Tempo menerima lebih dari 120 judul buku prosa dan puisi, baik yang berbentuk cetak maupun soft file (PDF), dari para penerbit dan penulis.
Untuk buku puisi, pada nomine 3 Besar, “Arunika” karya Alit S Rini bersaing dengan buku puisi “Tiket Masuk Bioskop” karya Afrizal Malna dan “Kopi dan Kepo” karya Hasan Al Banna.
Sebagaimana ditulis Tempo, karya Alit S Rini berkaitan dengan dunia antropologis penulisnya. Buku ini mempertanyakan situasi di Bali, termasuk persoalan “warna” atau sistem hierarki dalam masyarakat Bali. Larik dalam puisi Alit mengalir, menukik, dan tak tersendat sama sekali, menyentuh hal personal, sastrawi, dan indah.
Ada tiga juri yang menilai Buku Sastra Pilihan Tempo 2023 itu. Mereka adalah Oka Rusmini, penulis dan jurnalis; Seno Gumira Ajidarma, penulis dan pengajar di Institut Kesenian Jakarta yang juga Ketua Akademi Jakarta; serta Faruk, pengajar S-3 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Oka Rusmini, salah satu juri, sebagaimana ditulis di Tempo menyebutkan “Arunika” karya Alit S Rini menjawab dengan “tsunami” kesaksian tentang problem perempuan Bali.
Buku puisi ini, tulis Oka Rusmini, memperlihatkan pengalaman kultural penulisnya menyaksikan fakta tentang persoalan perempuan Bali, terutama yang berhubungan dengan tradisi dan sistem kasta.
“Tantangan sebagai perempuan Bali membuat Alit mampu menggambarkan perjuangan dan pemikiran perempuan Bali secara mendalam dalam puisi-puisinya. Itu dia lakukan sambil menggeluti hamparan palung piteket atau aturan main dalam kosmologi adat dan agama di Bali yang sering mengabaikan perempuan dalam pengambilan keputusan penting, bahkan yang menyangkut kehidupan perempuan sendiri,” demikin tulis Ok Rusmini di Tempo.
Nyoman Wirata pada pengantar buku puisi “Arunika” menulis bahwa penulis puisi dalam buku memiliki angka 28, sebagai tahun pengabdiannya di Bali Post. Pekerjaannya di dunia jurnalis itu memberi banyak kesempatan mengenal, bersaksi dan bereaksi terhadap peristiwa sesuai tugasnya sebagai jurnalis.
“Jika kemudian peristiwa dibalut dengan imajinasi, metafor, serta melakukan kebebasan tafsir serta mengekslorasi, maka pilihan ruang ekspresinya adalah puisi,” demikian tulis Nyoman Wirata.
Seperti pernyataan Alit S Rini pada awal puisi “Labirin Hidup”:“Kepada siapa lagi kusampaikan kesaksian ini / Jika tertutup pintu puisi” [T]