KISAH itu meluber dari bibirnya yang tebal dan menghitam. Kerutan di wajah, sepasang mata mengabu, dan putih rambut adalah bukti bahwa ia sudah hidup lebih dari setengah abad. Meski demikian, melihat tatapan, perangai fisik, sisa-sisa otot, jejak ketangguhannya di masa lalu masih dapat kita lihat—walaupun jalannya yang gontai tidak dapat disembunyikannya. “Wayan Parsa,” ia mengenalkan diri.
“Semua berawal dari tahun 1963,” katanya memulai cerita, “saat saya mulai bekerja di Buleleng, tepatnya di daerah Seririt.” Saat itu usianya masih 24 tahun. Lama di Seririt, ia mendengar ada lowongan pekerjaan di Perusahaan Air Milik Negara (PAM-Negara). Perusahaan itu membutuhkan teknisi, katanya lagi. Akhirnya, sekitar tahun 1976, ia diterima dan mulai bekerja sebagai karyawan PAM-Negara. Sebelumnya ia bekerja sebagai buruh bangunan.
Pada tahun 1970, Proyek Peningkatan Sarana Air Bersih Bali (PPSAB Bali) mengadakan penambahan kapasitas produksi di PAM-Negara dengan mengambil sumber air di Bangkiang Sidem sebesar 15 ltr/dt. Kemudian, secara bertahap, pihak PAM-Negara juga meningkatkan kapasitas produksi dari 40 ltr/dt menjadi 75 ltr/dt. Pantas saja ia diterima, sebab perusahaan memang sedang menaikkan kapasitas.
Angin berderu. Sore menjelang. Pak tua itu duduk dengan tenang. Dengan topi yang pudar warnanya, dan kaos polo bergaris tiga, ia berusaha kembali ke masa lalu yang jauh, yang mungkin sudah jarang dikunjunginya.
Setelah resmi menjadi pegawai PAM, ia ditugaskan di bagian distribusi. Tetapi, sebagaimana lazimnya pekerja di Indonesia, tugasnya tidak hanya melayani sambungan air ke rumah warga, namun juga melakukan perbaikan pipa yang rusak dan bocor. Saat itu, katanya, PAM-Negara hanya memiliki 30 karyawan dengan 1 orang sebagai direktur. Perusahaan air minum itu dulu berkantor di Jalan Gajah Mada, Singaraja.
Reservoar zaman Belanda yang masih kokoh / Foto: Dian
“Saat itu pimpinan saya Gusti Bagus Temaja dari Desa Patemon, Seririt. Sekarang kantornya jadi Disdukcapil,” katanya saat dijumpai, Kamis (4/1/2024) sore.
Pada zaman itu, sebagai seorang pegawai yang penuh dedikasi, Pak Tua Parsa bekerja dengan sepenuh hati. Ia selalu berusaha memenuhi kebutuhan air untuk pelanggan. Berbagai cara ia lakukan agar pelanggannya dapat menikmati air bersih. Dengan sepeda ontel miliknya, Parsa berkeliling Buleleng melakukan perbaikan. Tangannya tidak pernah kosong. Selalu ada pipa besi di pundaknya. Ia menerima upah per bulannya Rp. 200,-.
“Kalau sudah keluar kantor pasti ada yang harus diservis. Saya bawa sepeda sambil negen pipa besi. Itu ada tiga batang pernah saya bawa. Ukurannya 3 dim dan panjangnya 3-6 meter,” ujarnya penuh kebanggan saat menceritakan usahanya yang heroik.
Tentu saja, kondisi Buleleng saat itu tidak sama dengan sekarang. Dengan peralatan yang belum secanggih sekarang, perbaikan bisa saja mengalami banyak kendala dan memakan waktu yang lama. Namun, meski demikian, pekerjaan di lapangan tidak akan ia tinggalkan sebelum perbaikan benar-benar selesai. Ia juga mesti memastikan air dapat kembali mengalir lancar ke saluran warga.
“Berangkat dari kantor pagi hari, pulang besok paginya. Pokoknya sampai pekerjaan itu selesai baru bisa pulang. Istilahnya sing ngecor, sing mulih,” katanya sembari tertawa. Entah apa yang ia tertawakan.
Kondisi jalan di wilayah Buleleng yang menanjak terkadang menyulitkan Parsa. Tak jarang ia mesti menuntun sepeda dengan beban pipa besi di atasnya, kala ia tak kuat mengayuh. Setelah menemukan jalan yang agak rata, barulah ia kembali menaiki sepedanya dan kembali negen pipa besi.
“Kalau sudah sampai di Bale Agung saya dorong sepeda saya. Pipa besinya saya taruh di atas sepeda. Kalau sudah agak datar, naik lagi dan pipanya tegen lagi,” ujarnya.
Suatu hari, hujan deras melanda Buleleng. Bencana longsor di kawasan Bangkiangsidem, Sukasada, menimpa pipa transmisi. Pipa tersebut terbawa material longsor ke dalam jurang sekitar 100 meter. Parsa dan kawan-kawannya pun segera meluncur untuk melakukan perbaikan. Pipa besi yang terjerembab akibat longsor itu diangkat kembali beramai-ramai.
“Ambil lagi, karena masih bisa dipakai. Itu kan pipa besi. Tidak pecah, tidak rusak, tidak patah. Hanya terlepas,” imbuhnya.
Pipa besi itu kemudian dipasang kembali dengan Giboult. Giboult merupakan kuncian sambungan pipa air yang berfungsi untuk menutup sambungan, agar tidak terjadi kebocoran pipa air. Pun sebagai penutup kebocoran yang telah terjadi pada pipa. Setelah memastikan seluruhnya aman, Parsa dan kawan-kawannya baru bisa bernapas lega.
Waktu melesat seperti air dalam pipa. Tiga tahun setelah kejadian yang membuat lutut orang biasa bergetar itu, tepatnya 1979, Parsa dimutasi. Pada tahun itu ia mulai bertugas sebagai penjaga reservoir atau bak penampungan air. Ada dua bak tua yang mesti ia jaga dan memastikan kondisi airnya tidak tercemar. Selain menjaga bak, ia juga masih tetap bekerja di bidang distribusi, namun tidak seintens sebelumnya.
“Saya ditugaskan di sini menggantikan Gede Mangku yang berasal dari Lingkungan Bakung, Kelurahan Sukasada. Ia meninggal dunia,” terangnya.
Pada tahun yang sama, berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 071.KPTS/CK/X/1979 tanggal 8 Oktober 1979, sebagaimana tertuang dalam “Sejarah PDAM Kabupaten Buleleng”, PAM Negara Singaraja diubah namanya menjadi Badan Pengelola Air Minum (BPAM) Kabupaten Dati II Buleleng.
Reservoar zaman Belanda yang masih kokoh / Foto: Dian
Parsa tidak lagi berkantor di Jalan Gajah Mada. Tahun 1982, kantornya pindah ke kawasan Mumbul, Singaraja. Saat pindahan, mereka telah memiliki mobil operasional: pickup Datsun. Satu-satunya mobil yang dimiliki perusahaan kala itu. Hingga kini, kantor perusahaan air minum yang sekarang bernama Perumda Tirta Hita Buleleng itu tetap berlokasi di kawasan Mumbul.
Merujuk pada sejarah yang tercecer di mana-mana, reservoir di Buleleng sudah ada sejak tahun 1902, kira-kira setahun setelah Ratu Belanda Wilhelmina menerima tanggung jawab politik etis demi kesejahteraan rakyat kolonial mereka. Orang Belanda menyebut reservoir itu dengan sebutan “waterleiding”.
Zaman itu, Belanda membangun tampungan air di lingkungan Bantang Banua, Kelurahan Sukasada, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Di sana ada sebuah bangunan yang atapnya terbuat dari beton paten yang kokoh. Pondasi hingga dinding bangunan dibuat dari tumpukan batu keras seperti besi. Dari atas, bangunan ini memiliki kedalaman sekitar 2,5 meter dengan kapasitas penampungan 180 kubik air.
Saat itu, aliran air yang tertampung di waterleiding berasal dari reservoir yang ada di Desa Padangbulia. Reservoir itu juga berangka tahun 1902. Air yang ditampung di reservoir kemudian dialirkan melalui pipa-pipa perunggu berlapis yang kala itu digunakan.
Alirannya sampai ke seluruh wilayah Kerajaan Buleleng (kini menjadi kawasan Puri Buleleng hingga Peken Buleleng dan sekitarnya). Tidak hanya itu, zaman itu aliran air juga dinikmati oleh para bangsawan atau orang-orang kaya. Sedangkan, masyarakat biasa mendapat dan meminum air di kayoan atau Pancoran Buleleng.
“Ada juga yang mengambil langsung ke reservoir. Dulu air sampai meluap-luap, nah luapan air itu—atau overflow—bisa diambil oleh warga. Zaman itu, kata tetua, pasang saluran air mesti bayar Rp. 150,-,” kata Agus Budiawan yang kini bertugas menjaga reservoir itu.
Pada tahun 1930-an, saat Jepang menguasai Nusantara, industri air minum di Buleleng cukup berkembang. Zaman itu reservoir disebut dengan “suido syo”, tidak lagi waterleiding. Dan seakan tak mau kalah dengan penjajah terdahulu, Jepang membangun satu reservoir yang letaknya berdampingan dengan waterleiding Belanda. Airnya berasal dari kawasan Pangkung Dalem, Desa Gitgit, Kecamatan Sukasada. Dua bangunan tua—yang sekarang di bawah asuhan Perumda Tirta Hita Buleleng—itulah yang dijaga Pak Tua Parsa sejak 1979 sampai 2007.
Jauh sebelum Parsa, ada beberapa penjaga reservoir yang bertugas. Pertama ada Ketut Sumerasta, ambtenaar yang bertugas pada masa kolonial Belanda. Sumerasta kemudian digantikan oleh Gusti Komang Karang. Setelah itu ia lantas digantikan oleh Gede Mangku.
Tugas Gede Mangku lalu dilanjutkan oleh Wayan Parsa karena Mangku, sebagaimana telah disampaikan di awal, meninggal dunia. Lama bertugas, tahun 2007 Parsa pensiun. Tugasnya sebagai penjaga reservoir dilanjutkan oleh anaknya, Agus Budiawan, sampai sekarang.
Hingga kini, dua reservoir tua yang mungkin dibangun dengan siksaan dan di bawah tekanan bedil itu, masih berdiri kokoh dan menampung air dari kawasan Pangkung Dalem, Gitgit, dan kawasan Bangkiangsidem. Air itu kemudian menyebar ke seluruh wilayah Sukasada hingga kawasan Kota Singaraja.[T]