SORE ITU, di halaman belakang Kedai Umah Pradja di Jalan Ratna Singaraja, Bali, orang-orang mulai berdatangan dan berkumpul. Mereka semua sengaja berbondong-bondong mendatangi kedai kopi tersebut demi untuk menghadiri diskusi kebudayaan yang bertajuk “Gamelan Bukan Musik” dalam program Suluh Tulis Prodi Pendidikan Seni dan Budaya Keagamaan Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja.
Diskusi yang digelar pada Kamis (18/1/2024) sore itu, menghadirkan seorang etnomusikolog asal Kalimantan Barat, Gigih Alfajar Novra Wulanda dan Kadek Anggara Rismandika, seniman sekaligus dosen STAHN Mpu Kuturan sebagai narasumber. Sedangkan Putu Ardiyasa, yang juga seorang dosen di STAHN Mpu Kuturan cum dalang, didaulat sebagai pemantik.
Sebagian besar peserta yang hadir memang telah mengenal satu sama lain, sehingga, sore itu terasa semakin hangat dengan obrolan dan tawa yang tercipta. Alhasil, suasana sore hari itu menjadi semacam acara keluarga para seniman. Ya, sebab sebagian besar yang hadir merupakan orang-orang yang memiliki ketertarikan dalam bidang seni dan budaya.
Di sisi sebelah timur—tepatnya di depan kursi dan meja peserta—beberapa panitia mulai menata tempat untuk dijadikan sebagai panggung utama dan seperangkat sound system yang akan digunakan.
Dengan iringan lagu Karmila—lagu yang dipopulerkan oleh Farid Hardja pada tahun 1977 itu—membuat aura tempo dulu kedai kecil itu semakin terasa. Ya, dengan ornamen gaya 90-an yang terpajang di dinding-dindingnya, Umah Pradja memang menawarkan citra kejadulan di zaman di mana banyak orang mulai meninggalkannya.
Acara dimulai dengan suara gambelan Jawa yang sudah dikreasikan oleh Gigih. Lalu, Ardi memulai diskusi sore itu dengan mengungkapkan keresahannya akan kebudayaan nutur di Bali yang sudah nyaris hilang di kehidupan generasi muda saat ini.Menurutnya, hal tersebut telah terjadi sampai pada ceruk-ceruk terkecil dalam struktur masyarakat.
“Oleh karena itu, kami membuat Program Suluh Tulis, dengan tujuan untuk menghidupkan kembali tradisi nutur di kalangan akademisi, khusus di STAHN Mpu Kuturan,” ujar Ardi, sebelum meminta Gigih untuk memberi penjelasan terkait tema diskusi.
Sebelum berceramah panjang mengenai argumen gamelan bukan musik, terlebih dahulu Gigih menyampaikan kesannya kembali berkunjung ke Bali setelah 13 tahun lamanya. Saat ia menginjakkan kaki di Denpasar, katanya, ia kesulitan mendengar bunyi-bunyi gambelan.
“Hanya sekali saya mendengar suara gambelan di Bali, ketika di Batubulan. Itu pun diputar rekaman digital,” sambungnya. Atas kesulitan mendengar suara gambelan tersebut, kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya. “Di mana letak gambelan sekarang? Apakah hanya di pura?”
Menurutnya, jika gambelan hanya digunakan untuk kegiatan keagamaan saja, maka semakin banyak orang yang kesulitan mendengarkan suara-gambelan, seperti dirinya. Tetapi, katanya lagi, jika gambelan dijadikan tontotan (kebutuhan pariwisata) bukankah gambelan akan mengalami desakralisasi?
Sebagai seorang etnomosikolog, Gigih mencoba menjelaskan perbedaan gambelan dengan musik. Menurutnya, musik merupakan gabungan dari bunyi yang memiliki ritme, melodi, timbre, dan tempo. Sedangkan gambelan lebih dari itu. “Gambelan itu beyond dari musik,” katanya percaya diri.
Gigih percaya bahwa gambelan telah melampui dan levelnya di atas musik. Sebab, menurutnya, jika berbicara gambelan, maka kita tidak bisa lepas dari yang namanya nilai, makna, dan filosofis. Bahkan, sambungnya, gamelan merupakan salah satu alat atau jalan manusia mendekatkan diri kepada Tuhan.
Sedangkan menurut Kadek Anggara, musik karawitan mempunyai pengetahuan dan tata kramanya sendiri. Hal tersebut berbeda dengan seni musik yang bisa dan bebas dimainkan kapan dan di mana saja. Sehingga, di dalam kebudayaan Bali, musik karawitan masih digunakan dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan ritual keagaman.
Meskipun, menurutnya apa yang terjadi dengan kebudayaan Bali, merupakan hasil buatan kolonial Belanda, atau yang biasa disebut dengan “Baliseering”.
Baliseering atau pembalian Bali, merupakan politik kebudayaan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda dalam upaya mengekalkan kekuasaanya di Pulau Bali. Meskipun, secara sempit, Baliseering menguntungkan Bali sendiri karena dalam program tersebut kebudayaan Bali dapat dikembangkan melalui pariwisata. Tetapi, apabila dipandang lebih jauh, Baliseering merupakan alat Belanda untuk memecah belah Bali dari Indonesia.
Pada sebuah seminar seri sastra, sosial, dan budaya FSB Unud, I Nyoman Wijaya, seorang sejarawan Program studi Sejarah, mengungkakan bahwa pembelaan mati-matian terhadap budaya Bali adalah sikap setengah hati para peneliti asing. Dengan kata lain, Baliseering memiliki maksud dan tujuan yang tersembunyi.
“Maksud yang tersembunyi itu adalah perolehan keuntungan dari budaya Bali melalui pariwisata. Sungguh pun demikian, apa yang dilakukan Belanda pada masa itu, sebenarnya dampak besarnya telah dirasakan pada masa sekarang. Industri pariwisata yang saat ini berkembang, merupakan buah hasil tanaman yang dahulu ditanam oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, mau tidak mau kita harus mengakuinya,” ujar Wijaya.
Dengan demikian, apa yang dikatakan Anggara tentang periwisata kebudayaan Bali adalah buatan merupakan benar adanya.
Setelah ketiga narasumber memaparkan materinya, acara kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi. Pada sesi diskusi ini, salah satu peserta mulai mengajukan pertanyaan, “Mungkinkah gambelan bisa ditampilkan di ruang-ruang modern?”
Penanya itu mengaku, meskipun ia orang Bali, pemahamannya tentang gambelan sangat kurang. Sehingga, menurutnya, jika gambelan hanya ditampilkan dalam momen-momen tertentu (ritual keagaman), maka kesenian Bali menjadi tidak populer.
Atas pertayaan tersebut, Gigih mencoba menjawab dengan memberikan gambaran tentang sistem gambelan Jawa. menurutnya, gambelan Jawa memilik makna sosial di dalamnya. Ketika seseorang mamainkan gambelan Jawa, maka yang muncul bukan hanya sekadar bunyi-bunyian saja. Melainkan ada sebuah rasa kesabaran, konsisten, dan keikhlasan.
Dengan demikian, ia menekankan bahwa kita harus bisa memahami posisi gambelan Bali antara untuk kegiatan spiritual atau edukasi. Sehingga, pertanyaan mengenai mungkinkah gambelan Bali di tampilkan di ruang-ruang modern, dapat terjawab. Sebab, musik tradisi selalu memiliki nilai dan makna di dalamnya.
Untuk menghindari desakralisasi tradisi Bali, perlu dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yang mendasar. Dimulai dengan diskusi kebudayaan, melakukan berbagai kajian-kajian yang relevan, sehingga upaya untuk memahami nilai dan makna tradisi dan budaya tersebut tidak mengalami desakralisasi. Dengan demikian, keterhubungan pengetahuan antara objek dan orang yang membutuhkan tidak terputus.
Sesi diskusi pada sore itu berlangsung sangat menarik. Sebab, hampir seluruh peserta yang hadir mengutarakan pendapat berdasarkan pengalaman dan pengetahuan mereka masing-masing. Salah satunya Jaswanto, editor sekaligus wartawan tatkala.co.
Ia menyampaikan pandangannya tentang lunturnya kebudayaan Jawa, tempatnya dilahirkan. Menurutnya, lunturnya kebudayaan Jawa dimulai ketika pasca perang Jawa (1825-1830), di mana identitas Islam dan Jawa sebagai penyatuan, secara perlahan mulai dipisahkan atau terpecah belah.
Kesarjanaan kolonial selalu mendudukkan Jawa dan Islam sebagai sesuatu yang bertentangan, saling menolak, dan berhadap-hadapan. Sehingga, pada era ini, mulai muncul istilah Islam Sinkretik, Islam campuran Hindu-Budha, Islam nggak jelas, dan sebutan merendahkan lainnya.
Pada 1832, sebagaimana tertulis dalam esai Jaswanto yang berjudul Mulat Sarira: Jawa-Isalam dan Arus Balik Kebudayaan, dua tahun setelah Perang Jawa, untuk merekonstruksi “kejawaan esensial” baru yang diperuntukkan bagi bangsawan (priyayi) istana Jawa yang telah tunduk, kolonial Belanda mendirikan “Institut Bahasa dan Budaya” (Het Instituut voor de Javansche Taal) di Surakarta (sebuah lembaga javanologi pertama yang belakangan menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Leiden dan Delft di Belanda).
“Seturut keterangan Nancy K. Florida, sebagaimana diimajikan para arsitek kolonial Javanologi Surakarta, sebagai sebuah prototipe “kejawaan yang jinak”, “sebuah kejawaan yang belum terintrusi oleh aspek revolusioner agama padang pasir”, yang terus-saja memberontak kepada Belanda,” tulis Jaswanto.
Selanjutnya, para penjajah, secara akademik memetakan dan “mendefinisikan ulang” kejawaan sebagai projek kanonisasi kebudayaan Jawa-baru yang terbebas dari unsur Islamnya, yakni dengan cara meneliti “kesalahan-kesalahan praktik ber-Islam”-nya orang Jawa (alih-alih meneliti keragaman budayanya), yang dengan cara itu mereka bisa memecah bangun integrasi ke-Islam-an orang Jawa, yakni hanya dengan menyebut subyek masyarakat jajahannya sebagai “bukan penganut Mohammedan” sejati atau menyebut dan melabeli sebagai “Muslim Sinkretik” saja.
Setelah memaparkan pandangannya mengenai kebudayan Jawa, ia kemudian melemparkan pertanyaan yang pada dasarnya ditujukan kepada semua peserta yang hadir. “Lantas, siapa yang paling otoritatif atau bertanggung jawab untuk kembali menyelaraskan kebudayaan antara yang sakral dan yang profan itu?” tanya Jaswanto. Dari pertanyaan itu, suasana diskusi menjadi semakin ramai.
Menanggapi pertanyan tersebut, Anggara mengatakan, “Yang harus bertanggung jawab adalah kita sendiri sebagai palaku seni di Bali. Karena kita sudah belajar mengenai kebudayaan, tradisi, dan yang melaksanakan tradisi itu [orang Bali] sendiri. Maka, yang bertanggung jawab untuk menyelaraskan kembali antara yang sakral dan yang profan adalah kita sebagai orang Bali.”
Menurutnya, kita tidak bisa berpangku tangan kepada pemerintah. Sebab, pemerintah hanya bertugas menyedikan fasilitas untuk pelaku seni dalam mengkaji kebudayan dan tradisi agar kembali sesuai pakem yang barangkali sudah ditinggalkan.
Namun, menurut Made Adnyana Ole, selaku budayawan senior, yang paling pantas bertanggung jawab justru adalah pemerintah. Sebab, hanya pemerintah dan anak turunannya—seperti kampus, misalnya—yang memiliki akses dan kebijakan-kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk mengkaji kesenian. Tentu, dengan melibatkan pelaku seni yang kompeten.
Pemred tatkala.co itu juga mengomentari pernyataan Gigih di awal, tentang kesulitannya mendengar bunyi-bunyi gamelan. “Hal tersebut adalah bohong. Sebab, berdasarkan data, gambelan itu jauh lebih banyak sekarang ketimbang tahun 1930,” katanya, yang langsung disambut tawa hadirin.
Dulu, katanya lagi, satu desa adat hanya memiliki satu perangkat alat gamelan saja. Akan tetapi, sekarang, satu banjar atau satu RT—bahkan satu tempeh—sudah memiliki alat gamelannya sendiri.
Pak Ole—panggilan akrabnya—juga mngomentari secara keseluruhan kegiatan diskusi pada sore hari itu. Menurutnya, terdapat kesalahan pada pemilihan tema diskusi. “Gambelan Bukan Musik” menurutnya akan menghadirkan perdebatan panjang yang melibatkan banyak pihak. “Bahasa yang lebih cocok adalah ‘gambelan bukan sekadar musik’,” jelasnya.
Terlepas dari perbedaan pandangan antarhadirin pada kegiatan tersebut, setidaknya program yang digagas Prodi Pendidikan Seni dan Budaya Keagamaan Hindu STAHN Mpu Kuturan itu dapat menambah wawasan atau ilmu pengetahuan mahasiswa dan mereka yang hadir atas seluk-beluk kesenian Bali dan lainnya.[T]
Reporter: Yudi Setiawan
Penulis: Yudi Setiawan
Editor: Jaswanto