KEMAJUAN teknologi memang tidak dapat dihindari. Di media sosial ramai orang mempersoalkan mengenai kecerdasan buatan (artificial intelligence). Saya yang kebetulan berkecimpung di dunia sastra, baik di kepenulisan (puisi dan esai) atau di komunitas sastra, turut mengikuti perkembangan topik tersebut. Topik yang cukup ramai adalah yang berhubungan dengan kepenulisan sastra yang dilakukan oleh mesin. Saya ingin mengulasnya secara ringan dalam esai pendek ini.
Martin Suryajaya lewat bukunya yang berjudul Penyair sebagai Mesin: Sebuah Eksperimen dalam Penulisan Jauh dan Sejarah Lain Puisi Indonesia (Gang Kabel, 2023), sempat menjadi perbincangan hangat di berbagai tempat, tapi saya hanya menyimak dari jauh. Kita tahu, Martin memang suka melakukan banyak eksperimen penulisan, ia adalah penulis muda yang cukup tekun.
Melihat fenomena “puisi mesin” itu, mungkin jadi menarik membicarakan kembali hasil diskusi saya dengan Bang Riri Satria mengenai topik-topik seputar teknologi seperti; AI, algoritma, ChatGPT, metaverse dan sastra. Kebetulan Bang Riri memang pakar teknologi digital, hal-hal mengenai komputer, mesin, internet, beliau ahlinya, sehingga menjadi menarik untuk berdialog dengan pemikirannya tentang fenomena digitalisasi yang sedang marak terjadi, terutama di bidang kesusastraan. Dalam tulisan ini saya juga mencoba untuk memberikan tanggapan-tanggapan pribadi merespon pemikiran Bang Riri Satria tentang topik-topik tersebut.
Beberapa dari kita mungkin khawatir kalau-kalau posisi kita dalam dunia pekerjaan akan segera digantikan oleh mesin atau robot. Di banyak negara sudah terjadi hal demikian, misalnya, di Jepang, sudah banyak restoran yang tidak dilayani lagi oleh manusia, tetapi robot. Kekhawatiran yang sama juga dirasakan di dunia sastra, meskipun tidak terlalu dianggap serius. Malah oleh beberapa penulis, teknologi berhasil dimanfaatkan dengan cukup baik untuk melakukan eksplorasi dan eksperimentasi, seperti yang telah dilakukan Martin Suryajaya dengan bukunya yang terbaru.
Martin mencoba melakukan apa yang disebutnya “penulisan jauh” (dalam konteks penulisan sastra menggunakan mesin) dan “pembacaan jauh” (dalam konteks kritik sastra) untuk melihat sastra Indonesia dari sisi yang lain, secara lebih luas, menyeluruh dan kompleks, menggunakan metode statistik juga kritis. Memang itu baru suatu percobaan, tetapi toh turut meramaikan jagat sastra kita dan memperkaya kritik sastra kita yang melulu melakukan “pembacaan dekat”, serta yang akhir-akhir ini mulai padam.
Saya kira, apa yang dilakukan Martin Suryajaya sejalan dengan pemikiran Bang Riri Satria tentang bagaimana memanfaatkan teknologi AI untuk membantu kita dalam meneliti karya sastra. Namun, melihat betapa ribetnya bekerja menggunakan teknologi seperti yang dilakukan Martin, membutuhkan banyak data dan banyak orang untuk mengolahnya, waktu yang jauh lebih lama, agaknya memunculkan pertanyaan; sebarapa akan berpengaruh dan bertahan model kritik sastra seperti itu? Ke depan kita akan melihatnya bersama-sama.
Kasus buku Martin adalah contoh yang menarik mengenai apa yang sering Bang Riri Satria jelaskan tentang AI dan cara kerja ChatGPT, artinya menemukan konteksnya pada eksperimen Martin itu. Tapi, tentu saja buku Penyair sebagai Mesin banyak mengalami perdebatan, dan hasil “puisi mesin” itu juga banyak dikritik, bahkan ditolak sebagai puisi oleh sebagian besar penyair, tetapi argumentasinya cukup diterima dan sangat kontekstual dengan zaman kita.
Penyair lain yang melakukan penulisan “radikal” terhadap puisi, yang juga menggunakan perangkat mesin adalah Afrizal Malna. Walaupun keduanya sama membuat puisinya dengan bantuan mesin, tetapi kasus “puisi gelap” Afrizal mengalami sentuhan intelektual penyairnya (subyektivitas), sehingga jauh berbeda hasilnya dengan “puisi mesin” hasil eksperimen Martin (meskipun ada sentuhan dalam mengedit, yang artinya ada unsur subyektivitas “terbatas” atau lebih tepat dibatasi). Jika Martin hendak menghilangkan aspek “emosi” di dalam puisi melalui penulisan oleh mesin, pada puisi-puisi Afrizal kita masih menemukan sedikit kadar “emosi” itu, terutama di sajak-sajaknya yang lama. Tetapi saya tidak akan banyak membicarakan kedua hal tersebut di sini.
Kembali ke Bang Riri, beliau selalu mengatakan pentingnya kita untuk meningkatkan HOTS agar kita bisa menghadapi tantangan teknologi ke depan. Saya kutipkan tulisan dari teks Orasi Budaya tahun 2023 lalu oleh Bang Riri, berikut:
Menurut teori Taksonomi Bloom, manusia itu dikarunai Tuhan sebanyak 6 tingkatan kemampuan berpikir, yaitu: remembering (mengingat atau menghafal), understanding (memahami), applying, (menggunakan dengan tepat) analysing, (menganalisis) evaluation (mengevaluasi), serta creating (mencipta). Tiga yang pertama disebut dengan istilah LOTS atau low order thinking skills, sedangkan tiga yang kedua disebut dengan HOTS atau high order thinking skills. Sejatinya manusia tentu harus memaksimalkan karunia Tuhan ini, namun perjalanan hidup orang per orang membuat ada yang bisa memaksimalkan, ada yang setengah maksimal, serta ada yang tidak maksimal. Nah, pemunculan teknologi kecerdasan buatan akan menjadi masalah buat mereka yang hanya berhenti pada LOTS dan tidak mampu memaksimalkan HOTS. Namun, bagi mereka yang sanggup memaksimalkan HOTS, harusnya tidak menjadi masalah, bahkan bisa menjadi alat bantu bekerja untuk produktivitas dan kinerja yang lebih tinggi lagi. Dengan demikian, saatnya mengasah kemampuan HOTS kita sejak dari anak-anak. Jangan lagi jejali anak-anak kita dengan hanya sekedar menghafal, melainkan sampai dengan mengembangkan kemampuan HOTS yang tentu saja disesuaikan dengan perkembangan mereka. (Orasi Budaya, 2034)
Masalah tersebut menjelaskan bahwa pendidikan masih menjadi tonggak utama untuk meningkatkan kemampuan SDM kita dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah. Tapi, di negeri tercinta kita ini, pendidikan masih menjadi wilayah yang belum tersentuh. Pendidikan kita masih banyak terbantu pendidikan tradisional, seperti pesantren, sanggar, dst., yang ada di kampung-kampung atau di sebagian “pinggiran” kota. Sedangkan pendidikan formal kita masih sibuk utak-utik kurikulum yang sifatnya lebih teknis daripada humanis.
Selain pendidikan, tentu saja kemelakan pada karya sastra oleh sebagian besar anak Gen Z kini tidak begitu terbaca jelas. Melihat perkembangan industri buku dan internet, agaknya kemungkinan buku-buku sastra bercampur baur dengan buku-buku yang non sastra semakin menguatkan dugaan bahwa anak-anak Gen Z ini mengalami istilahnya “amnesia budaya”, yaitu hilangnya memori tentang kekayaan budaya yang dimiliki bangsa ini, termasuk khazanah sastranya. Meski demikian, para sastrawan, penulis, komunitas sastra, dan beberapa penerbit buku sastra masih komit dan berusaha mengangkat sastra ke publik.
Bang Riri Satria selalu menekankan dan mendorong agar kita tetap berani menulis dan menjawab tantangan zaman yang semakin mekanis dan digital. Beliau juga pernah menulis dalam puisinya yang berjudul Perubahan (2019), bahwa perubahan dipahami oleh orang dengan berbeda-beda sesuai sudut pandang yang dipakainya. Namun, perubahan harus dijawab dengan perubahan yang diarahkan ke hal-hal yang lebih baik dan positif.
….
Namun tak mudah manusia menerima perubahan
Apalagi menciptakan perubahan
Mental manusia mengikuti kurva perubahan
Butuh waktu untuk penyadaran
Tetapi, perubahan tetap suatu keniscayaan
Karena dia membentuk peradaban
Perubahan bukan sekedar ingin berubah
Perubahan harus membawa kemaslahatan
Perubahan harus dibingkai kebaikan
Namun ada satu yang tidak berubah sampai akhir zaman
Itulah Cinta sejati kepada Tuhan
kepada sesama manusia, dan alam
(Jakarta, 2019)
Dalam sajak di atas digambarkan dengan lugas bahwa ada yang tidak akan hilang dari perubahan, yakni Cinta (rasa). Maka dengan berpegang teguh pada “nurani” (tempat cinta itu), kita akan tetap mampu mengahadapi tantangan zaman yang terus mengalami perubahan. Bahwa ada banyak hal yang terjadi, khususnya dalam dunia sastra akhir-akhir ini, kita tetap menggunakan “nurani” untuk membaca gejalanya, sehingga apa yang dinamakan “puisi” tetap hidup di hati, meskipun bentuk-bentuk yang lain; seperti eksperimen “puisi mesin” banyak bermunculan, ke depan puisi yang tetap “berhati” itulah yang akan “abadi” di hati manusia.
Dalam rangka tetap kontekstual di abad digital itulah kami (saya dan Bang Riri) akhirnya menerbitkan buku antologi puisi bersama yang menghimpun puisi-puisi lama kami, tetapi diberi judul baru; “Algoritma Kesunyian”. Kami berdua berusaha melakukan suatu metode penyusunan buku yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai “kesunyian” (kondisi yang menurut kami tidak mungkin dialami sebuah mesin), metode ini tentu saja ingin menyerupai “algoritma”, istilah yang populer saat-saat ini. Bang Riri juga telah menerbitkan buku kumpulan puisinya, yaitu Metaverse (2022), yang ingin menggambarkan bahwa kita berada di dalam dunia digital, di dalam alam algoritma, ter-alienasi di dimensi lain itu sebagai avatar yang merindukan kesunyian.
Kesunyian sebagai aspek yang khas manusia, ruang yang memungkinkan perenungan dan permenungan dilakukan, momen yang paling intim bagi rasa kita berkembang meluas dan mendalam, ruang yang telah melahirkan puisi-puisi kami hingga bermetamorfosa ke dalam buku-buku yang mengangkat narasi dunia teknologi masa kini. Tentu saja, kami (setidaknya saya sendiri) percaya bahwa puisi-puisi lama dari para penyair kita tidak akan bisa dibuat oleh mesin, tetapi masih tetap bisa terbit dengan kemasan baru dan tetap kontekstual. Itu artinya kontekstualisasi puisi paling lama pun masih tetap bisa aktual di abad digital ini. Sedangkan kita belum pernah mendengar atau membaca, bahwa puisi hasil mesin yang disebut “puisi mesin” itu pernah memiliki prestasi sedemikian sebagaimana puisi buatan para penyair.
Saya pernah membaca kutipan yang bagus oleh salah seorang penyair Amerika sekaligus psikolog bernama Keith Holyoak, ia menulis bahwa “Ketiadaan pengalaman batin membuat AI kekurangan atas sesuatu yang paling dibutuhkan untuk mengapresiasi puisi: rasa kebenaran puitis berdasarkan pengalaman subjektif, bukan objektif.” Saya sangat setuju dengan pernyataan kutipan tersebut, mesin tidak mungkin akan memiliki “subjektivitas” untuk memahami sekaligus menghayati suatu pengalaman, sebab mereka dibuat (bukan diciptakan) untuk bertindak secara objektif, sesuai data dan program yang dibuat untuknya.
Pemikiran Bang Riri Satria mengenai AI, penciptaan puisi, algoritma, ChatGPT, metaverse, dan menulis sastra, tetap kembali ke kesimpulan yang saya sepakati, yakni; pentingnya nilai-nilai kemanusiaan, dengan merawat terus etika (sesuatu yang esensial pada manusia), yaitu dengan terus belajar dan belajar, berlatih dan berlatih, meningkatkan LOTS menjadi HOTS, menjadi modern atau bahkan postmodern tanpa meninggalkan tradisi, merawat tradisi dan kearifan lokal tetapi dengan tetap menjadi modern dan melek digital, sehingga manusia dapat tumbuh tubuh dan jiwanya, dan tidak kebingungan di zaman kecangkihan teknologi juga tidak kehilangan akar serta asal usulnya.
Saya kira inilah yang bisa saya tulis untuk menanggapi dan mengapresiasi pemikiran-pemikiran Bang Riri Satria, yang ide-idenya turut menginspirasi dan memotivasi saya agar tetap belajar menulis puisi juga esai, meski di sisi lain, mesin juga tengah dengan getolnya dilatih untuk mahir menulis puisi dan mungkin kritik sastra.
Di akhir tulisan ini izinkan saya mengutip salah satu puisi dari begawan puisi Bali yang baru saja berpulang, Frans Nadjira, semoga beliau dalam kedamaian abadi di alam maha puisi. Saya sangat yakin bahwa puisi ini (atau yang seperti ini) tidak akan pernah dibuat oleh ChatGPT atau “mesin menulis”, secanggih apa pun mesin itu dan sekeras apa pun ia dilatih, tak akan pernah menghasilkan puisi seperti berikut:
Jadikan Sajak
dengar desir air
dengar sihir nyiur
kelepak sayap kelewar…
Senyap itu bertangan. Jangan lelap.
Malam dengan sedikit sinar tipis di tepinya
siap menjemputmu.
Cahaya darimu
Tercipta dari sumber
Yang memisahkan garam dari laut
Mengembalikan air ke sifat cairnya.
Bangkit, ulurkan tanganmu pada ranting
angin dingin. Lebur jiwamu
jadi beringas laut
jadi pisau api
yang kau pandang jika duka
Yang kau genggam jika marah. Ayo, ke laut!
Pandangan beringasnya dengan paham
Genggam ganasnya dengan diam : Jadikan sajak.
(dari buku Jendela Jadikan Sajak karya Frans Nadjira, PADMA, 2003)
Jakarta, Januari 2024
- BACA artikel lain dari penulis EMI SUY