Tulisan ini, membahas sisi unik yang dimiliki oleh Desa Ketewel. Kenapa dinamakan Desa Ketewel? Tak banyak yang tahu dimana lokasi Desa Ketewel, meski pun mungkin sering mereka lewati.
Saya akan memulai menyampaikan asal muasal terbentuknya Desa Ketewel yang memiliki kaitan dengan sejarah berdirinya Pura Payogan Agung di Desa Ketewel, berdasarkan informasi yang didapat dari Jero Mangku Gede, pamomong Pura Payogan Agung yang merupakan pensiunan PNS dan sumber dari Selayang Pandang Pura Payogan Agung.
Desa Ketewel terletak di Jalan Raya Ketewel, di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar (perbatasan dengan Denpasar Timur). Desa ini memiliki Pura Khayangan Jaga,t salah satunya adalah Pura Payogan Agung.
Berdasarkan sumber-sumber yang ada diantaranya “lontar Raja Purana Pura Payogan Agung dan Raja Purana Griya Jaya Purna Rangkan Ketewel”, disebutkan bahwa Pura Payogan Agung merupakan stana dari Sang Hyang Pasupati bergelar Ida Bhatara Hyang Murtining Jagat.
Gedong Agung, Pura Payogan Agung, Desa Ketewel
Dalam Raja Purana Pura Payogan Agung, tidak satupun menyebut istilah Pura tetapi disebutkan dengan istilah Kahyangan, seperti Khayangan Jogan Agung, Kahyangan Puseh Jogan Agung, dan Khayangan Payogan Siwa Agung. Hal itu menunjukkan bahwa Pura Payogan Agung termasuk salah satu Pura kuno yang ada di Bali disamping juga dibuktikan dengan adanya situs Purbakala seperti Arca Lingga Yoni, Arca Siwa Maha Dewa dan situs-situs lainnya.
Singkat cerita, Pura Payogan Agung sebagai tempat paruman Sang Hyang Pasupati dan para Dewata ketika memerangi dan mengalahkan I Kala Sunya (dibaca I Kala Sunia). Pada mulanya Pralingga Ida Bhatara berupa Mas Mirah yang bersinar terang seperti siang hari selama adasa warsa (10 tahun). Pada waktu itu tidak ada manusia yang berani melintas karena merupakan hutan yang sangat angker yang dihuni oleh Buta Siyu.
Situs Purbakala seperti Lingga Yoni, Patung Siwa Maha Dewa dan situs-situs lainnya
Setelah 10 tahun, barulah turun Pralingga Ida Bhatara berupa Perunggu sebagai Pengganti Mas Mirah untuk menghindari niat jahat manusia yang dipengaruhi oleh Kali Sengara. Sejak saat itulah Alas Jerem kembali normal dalam arti adanya siang dan malam. Setelah lama berdirilah Pura Payogan Agung dan belum ada manusia tentunya juga tidak pernah diselenggarakan upacara termasuk tidak ada pemongmong Widhi.
Dikisahkan Pamongmong Widhi di Pasar Agung Besakih bergelar Sangkul Putih berasal dari Majapahit berputra dua orang yang bernama Wayan Pasek dan Made Pasek. Pada suatu ketika kedua kakak beradik terebut berselisih pendapat, sehingga Made Pasek meninggalkan Pura Pasar Agung Besakih memutuskan untuk ngewanaprasta bersama istri yang akhirnya sampai ke Alas Jeruk, dalam perjalanannya selalu diikuti oleh burung titiran putih (Perkutut Putih) yang memberikan bija kuning tiga biji setiap lelah.
Di Alas Jeruk Beliau kelelahan hingga tertidur, setelah bangun Beliau terkejut mendengar pawisik dari Ida Hyang Pasupati agar menuju ke Alas Jerem. Sesampainya ditepi Alas Jerem, mereka sangat terkejut menyaksikan hutan yang sangat angker. Seketika terdengarlah suara dari angkasa yang merupakan suara dari Ida Bhatara Hyang Pasupati, meminta agar Made Pasek menjadi Pamongmong Widhi di Kahyangan Ida Hyang Pasupati dan mengubah status dari wangsa Pasek menjadi wangsa Dukuh bergelar Dukuh Murti/Dukuh Sakti dan tidak diperkenankan mengingat Kawitan di Pasar Agung.
Pada suatu ketika Ida Dalem Gelgel berburusampai ke Alas Jerem diiringi oleh 300 orang pengikut. Ida Dalem Gelgel dan para pengikut dijamu oleh Dukuh Murti dengan berbagai buah-buahan dan air. Beliau sangat senang dengan penerimaan dan jamuan dari Dukuh Murti. Beliau terkejut menyaksikan di sebelah timur Pasraman Dukuh Murti terdapat Palinggih yang Madhurgama. Dukuh Murti menyampaikan bahwa Palinggih tersebut adalah Linggih dari Ida Paduka Sang Hyang Pasupati.
Dukuh Murti mempersilahkan Ida Dalem Gelgel untuk bersembahyang (Muspa), dan diingatkan kalau Beliau tidak muspa maka Ida Dalem Gelgel dan pengikutnya akan terkena bencana. Saat hendak muspa Ida Dalem Gelgel diingatkan oleh Ida Gunung (Penasehat) agar Beliau tidak sembarangan muspa, mencurigai jangan-jangan Palinggih tersebut adalah Pamerajannya I Dukuh Murti, akhirnya Ida Dalem Gelgel membatalkannya.
Dalam perjalanan kembali ke Gelgel, benar terjadi bencana hujan angin, petir menyambar, banjir besar dimana pengikut Ida Dalem Gelgel 200 orang meninggal dan masih tersisa 100 orang. Sesampainya di Puri Gelgel Ida Dalem Gelgel teringat bencana yang telah terjadi dan menjadi sangat murka dikira Dukuh Murti sebagai penyebab terjadinya bencana tersebut.
Beliau mengutus Ida Gunung dan prajurit Gelgel menuju ke Alas Jerem untuk membunuh Dukuh Murti beserta istri. Jasad dari Dukuh Murti dan istri menghilang hanya meninggalkan bau harum dan percikan darah. Ida Hyang Pasupati mengutuk Ida Gunung, semua keturunan Ida Gunung tidak boleh muput Upacara/Karya di Kahyangan Hyang Pasupati sewenngwengkon jagat Ketewel.
Tampak depan Pura Payogan Agung, Ketewel
Dikisahkan putra dari Dukuh Murti yang bernama Dukuh Centing sedang bersemadi di Alas Er Jeruk, Dukuh Centing mendapatkan pawisik bahwa orang tua Beliau telah terbunuh oleh Ida Dalem Gelgel. Dukuh Centing kembali ke Alas Jerem dan mendapatkan percikan-percikan darah. Percikan darah tersebut diambil dan dipreteka dengan upacara sawa preteka.
Dukuh Centing sangat terkejut karena di sebelah timur Kahyangan Payogan Agung tumbuh dua pohon nangka kembar dan sangat besar yang sebelumnya tidak ada di tempat itu. Dukuh Centing sangat ketakutan, disamping meyaksikan kayu nangka yang sangat angker juga terdengar tangisan bayi dari dalam pohon nangka tersebut.
Dalam ketakutan tersebut Dukuh Centing mendengar wakya dari Hyang Pasupati dalam terjemahan bebasnya sebagai berikut: “Wahai Dukuh Centing, Aku Hyang Pasupati memberitahu engkau, janganlah takut dan lari. Engkau aku tugaskan untuk menebang kayu nangka tersebut, kemudian akan ditemukan dua orang bayi laki perempuan, engkau hendaknya menjadi orang tua dari anak-anak tersebut, yang kelak kemudian akan menjadi treh Prawangsa Ketewel”.
Selanjutnya atas petunjuk Hyang Pasupati, anak yang laki-laki diberi nama Gede Mawa atau Gede Ketewel dan yang perempuan diberi nama Mawitsari, yang keduanya merupakan Punarbawa/reinkarnasi dari Dukuh Murti lanang istri. Suatu saat kalau Alas Jerem menjadi desa agar dinamakan Desa Ketewel, karena lahirnya dua bayi kembar buncing tersebut lahir dari Taru (kayu) Nangka.
Lama kelamaan Treh Prawangsa Ketewel ditambah dengan jatma Ungsian (pendatang) sebanyak 80 orang dan berdirilah sebuah banjar yang bernama Banjar Puseh yang menjadi pusatnya di Desa Ketewel. Begitulah kisah asal muasal terbentuknya Desa Ketewel serta keterkaitannya dengan sejarah keberadaan Pura Payogan Agung.
Mengulas kapan Desa ketewel itu berdiri, sampai sekarang belum ada bukti yang kuat. Namun, melihat dari Lontar Raja Purana Pura Payogan Agung yang mengisahkan sejarah berdirinya Pura Payogan Agung sehingga Desa Ketewel berdiri kurun waktu masa Pemerintahan Raja Gelgel sekitar abad ke-14. [T]
- Catatan: Tulisan ini adalah pemenuhan tugas kuliah mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI).