KIRATA BASA merupakan metode khusus dalam tradisi Bali untuk memaknai kata atau istilah. Kata kirata berarti pemburu, sedangkan basa bermakna kata, kalimat, dan bahasa. Dari arti kata tersebut, kirata basa dapat diartikan sebagai seni berburu makna kata, istilah, atau bahasa. Kenapa makna mesti diburu? Karena sastra memiliki karakteristik ambigu, tak langsung, dan multimakna.
Dengan kata lain, seringkali antara apa yang dikatakan oleh pengarang dengan yang dimaksudkannya tidak sama. Karena itulah seorang pembaca sastra dianalogikan sebagai pemburu makna di hutan kata. Dalam konteks kirata basa, seni perburuan makna dilakukan dari bentuk internal kata itu sendiri. Tujuan mengulik makna dari bentuk internal kata, agar seorang pembaca dapat menangkap maksud yang ada di balik kata dengan cepat dan mudah diingat.
Metode kirata basa juga digunakan oleh I Gusti Ngurah Made Agung dalam karya sastra gubahannya. Raja Denpasar yang kini dikukuhkan sebagai pahlawan Nasional tersebut, juga dikenal sebagai seorang raja yang produktif menciptakan karya sastra seperti Geguritan Dharma Sasana, Nengah Jimbaran, Purwa Sanghara, Hredaya Sastra, Niti Raja Sasana, Kakawin Atlas Bumi, dan Naraka Wijaya. Itulah sebabnya, patung beliau yang terletak di perempatan Banjar Tain Siat diwujudkan dengan seorang raja yang membawa pengrupak ‘pisau tulis’ dan lontar, sebagai tanda bahwa pembawanya orang yang nyastra.
Karena sang raja menekuni sastra, di dalam Puri Denpasar (Jaya Sabha saat ini) bahkan konon ada sebuah balai yang bernama Bale Saraswati, tempat para ‘pejudi kata’ berkumpul untuk berolah sastra, menyanyi, dan membahas sari-sari ajaran. Akan tetapi setelah Belanda berhasil mengalahkan kerajaan Badung, puri-puri dihancurkan termasuk Bale Saraswati salah satunya. Kehancuran Bale Saraswati sekaligus memutus arus tradisi pemimpin yang berpegang pada sastra di Bali!?
Dalam salah satu karya sastra yang berjudul Niti Raja Sasana, I Gusti Ngurah Made Agung menggunakan metode kirata basa untuk menjelaskan makna kata ratu. Kata ratu di masa lampau tidak mengacu pada gender lelaki atau perempuan, melainkan netral. Siapapun yang menjadi pemimpin suatu wilayah kekuasaan secara politis disebut ratu.
I Gusti Ngurah Made Agung melalui karya sastra yang mengulas basis etika dan ajaran kepemimpinan itu menjelaskan bahwa ratu memiliki dua makna. Pertama, Ia menyatakan bahwa rat punika madan jagat, tune mawasta asiki ‘rat itu artinya dunia, tu artinya satu’. Jadi seorang ratu adalah figur sentral satu-satunya di dunia atau wilayah kekuasaannya.
Kedua, ia menyatakan rat pangawak jagat, tune mawasta tunggal, satia wacana satuhu, tan awahing wacana ‘rat itu artinya sebagai badan dunia, tu artinya tunggal, benar-benar setia terhadap wacana, dan tidak pernah ingkar pada kata-kata’. Dari kalimat tersebut, kita dapat mengetahui makna ratu yang kedua menurut I Gusti Ngurah Made Agung bermakna seseorang yang berbadan tunggal dengan dunia dan setia pada setiap ucapan.
Seorang ratu secara filosofis memang berbadan tunggal dengan ruang dan orang-orang yang dipimpinnya. Apabila ruang dan orang tersebut mendapatkan ancaman atau mengalami penderitaan, pada saat yang bersamaan sang pemimpin juga merasakan kesengsaraan.
Karena ada pemahaman ratu yang bermakna sama dengan dunia, maka kita dapat memahami kenapa dalam pustaka Kakawin Arjuna Wiwaha disebutkan tugas utama seorang pemimpin adalah mengusahakan kebahagiaan dunia ‘sukaning rat kininkinira’. Jika ada seseorang saat ini yang berkeinginan menjadi pemimpinan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, sesungguhnya dengan alasan apapun ia tidak layak disebut sebagai seorang ratu.
Menyongsong pemilihan umum mendatang, masyarakat akan berhadapan dengan calon ratu yang agaknya sudah mulai gencar melakukan pendekatan ke pelosok-pelosok desa. Dengan alasan sosialisasi empat pilar kebangsaan, terendus kampanye-kampanye beraroma transaksional.
Para calon yang jeli melihat mentalitas materialistis sebagian masyarakat Bali akan mulai menebarkan basa-basi bahasa untuk mendulang suara. Masyarakat juga mudah terbuai janji-janji yang seringkali tak teruji. Para aktor politik praktis itu seakan tidak pernah membaca pesan pustaka-pustaka klasik, bahwa semakin sering berdusta, maka kata akan kehilangan tuahnya![T]
- Klik untukBACAartikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA