KATA WEINER, seperti yang sering saya kutip, “tempat-tempat tertentu bagaikan keluarga”. Tempat-tempat itu terus menerus membuat kita merasa terganggu, terutama pada hari-hari libur. Kita kembali lagi karena kita tahu, di lubuk hati kita, bahwa takdir kita saling terkait. Dan bagi saya, tempat itu adalah gunung—barangkali juga hutan yang rindang yang belum banyak dijamah manusia.
Tetapi sebenarnya saya membencinya meski juga sangat mencintainya. Tidak secara bergantian, tapi secara bersamaan. Saya membencinya sebab tidak selamanya bisa mengunjungginya. Dan saya mencintainya sebab setiapkali mendakinya saya merasa bahagia.
Saya sadar, bahwa kehidupan di kota sangat berbeda dengan kehidupan di gunung—atau di hutan, di desa, di tempat mana pun yang jauh dari kota. Keduanya adalah dunia yang terpisah, seperti dua planet yang berbeda—bahkan dua galaksi yang berbeda.
Kehidupan di kota bagaikan angin topan. Kekuatan mahadahsyat, yang mengisap saya masuk ke pusarannya dan memutar saya dengan amat cepat hingga saya merasa waktu seakan berjalan lebih cepat dari napas manusia.
Di kota, selalu ada orang di sekeliling saya yang tak bisa saya hindari. Ingar-bingar lalu lintas, proyek-proyek pembangunan, orang bertengkar dengan keluarga sendiri karena masalah uang, kesetiaan, dan patah hati. Dan semuanya. Waktu rasanya tak pernah cukup.
Jaswanto dan Tasya berpose di atas Bukit Trunyan / Foto: Dok. Jaswanto
Saya memang tidak menyalahkan masyarakat yang berbudaya nyaman. Namun, saya tetap merasa ada sesuatu yang tidak benar, sesuatu yang hilang. Dengan memandang sekeliling saya mendapat kesan bahwa orang lain juga merasakan hal yang sama.
Tentu saja tidak semua buruk. Kota menawarkan kenyamanan dan kemewahan: air panas yang tak ada habisnya, toko swalayan dengan begitu banyak pilihan barang, listrik, telpon, internet, jaminan kesehatan, dan banyak lagi.
Meski begitu, di saat-saat tertentu, saya merindukan kehidupan di atas gunung atau di dalam hutan—keheningan dan kedamaiannya. Juga ini, setiap kali saya mendaki gunung, dalam hati timbul sensasi kebebasan yang menyenangkan, bahwa hidup begitu ringkas, hanya seukuran ransel yang saya sandang di pundak. Saya merasa akan selamat dan tak akan menderita hanya dengan mengandalkan hidup saya pada satu ransel yang melekat di tubuh saya.
Namun, sudah sekian lama saya melupakan gunung—sebagaimana Mumu Aloha juga menuliskannya dalam “Ke Pantai, Ke Pantai, Aku Kembali….” (2018). Masa muda dengan flanel hijau kotak-kotak, kompor parafin, dan aroma pucuk-pucuk edelweis yang mekar di pagi hari, mengharumkan embun dan batu-batu yang basah menghampar di jalan setapak menjelang puncak.
Gunung. Rasanya sudah lama sekali. Kibaran syal di leher, dan lagu-lagu slow rock. Malam yang panjang. Langkah yang seolah tak berujung. “Usia telah mendamparkanku pada tahun-tahun yang kehilangan rindu. Entah, suatu saat mungkin aku akan kembali,” kata Mumu.
Tapi, seperti Mumu, saya tidak yakin. Yang tersisa kini hanya ingatan samar pada bintang-bintang yang begitu rendah di atas kepala, dan bayangan pohon-pohon menghitam bagaikan raksasa yang kedinginan dalam kegelapan. Dan ingatan itu melempar saya pada bulan Mei 2022, saat saya bersama Tasya (calon istri saya) dan beberapa teman Tasya, mendaki Bukit Trunyan yang terletak di Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, itu.
***
Pada pendakian kali ini, untuk pertama kalinya, saya tidak mengajak teman-teman dekat saya—yang sering saya sebut dalam beberapa tulisan—seperti Dziky, Aan, atau Rahman. Saya tak mengajak mereka bukan karena faktor kesengajaan, tapi karena memang tidak mungkin. Waktu itu Dziky sudah sibuk menjadi wartawan di kota kelahirannya, dan Rahman tentu karena ia tinggal jauh di Solo sana. Sedangkan Aan… dia sudah meninggalkan kami semua beberapa tahun yang lalu karena sebuah insiden kecelakaan lalu lintas.
Oleh karena itu, dalam lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya saya merasakan ada yang kurang—walaupun rasa itu tidak lebih dominan daripada rasa bahagia sebab akhirnya saya bisa mendaki bersama orang yang saya cintai.
Awalnya saya sempat ragu saat Tasya mengatakan akan mendaki bersama teman-temannya—yang beberapa orang tak punya pengalaman dan pengetahuan apa-apa soal pendakian. Keraguan saya muncul karena saya teringat pengalaman saat mendaki ke Gunung Batukaru di Tabanan. Saat itu, bersama beberapa teman yang, katakanlah, amatir, saya merasa kerepotan mengurusi mereka. Lain kali saya ceritakan.
Tapi waktu itu saya berpikir ini bukan ke Batukaru. Ini hanya ke Bukit Trunyan, yang tingginya hanya 1.834 mdpl, sedikit lebih tinggi dari Gunung Batur yang hanya 1.717 mdpl. Maka, jadilah saya ikut. Selain karena belum pernah dan sedang suntuk karena tugas akhir kuliah (tahun itu saya sedang berjuang menyelesaikan skripsi), juga tidak berani menolak ajakan Tasya—atau lebih tepatnya untuk menghindari pertengkaran yang bisa jadi menyebabkan hal-hal yang lebih buruk daripada mendaki bersama para pemula.
Gunung Batur dan Danau Batur difoto dari Bukit Trunyan / Foto: Jaswanto
Tak mengada-ada memang, beberapa teman Tasya yang ikut mendaki waktu itu, sama sekali tak punya pengalaman atau pengetahuan apa-apa soal pendakian. Mereka ikut dan ingin mendaki karena mungkin aktivitas ini, beberapa tahun belakangan, sedang tren di kalangan anak muda.
Sejak misalnya—untuk menyebut beberapa nama—seperti Fiersa Besari, Wira Negara, atau Zawin Nur, dan maraknya akun pendakian di media sosial yang menampilkan keindahan pemandangan di atas gunung, menggerakkan anak-anak muda labil itu untuk, seperti yang sering mereka umbar, “menaklukkan gunung-gunung itu!”
Ah, “menaklukkan”?
Gunung, sebagaimana bumi dengan segala isinya, adalah bagian dari semesta alam. Sumber dari kehidupan, kearifan. Juga, semestinya, mereka menjadi sahabat manusia. Ya, semestinya. Di situ saya melihat ironi. Bagaimana kita bisa bersahabat kalau dalam persoalan bahasa saja kesan yang kerap timbul justru alam adalah subordinat manusia?
Frasa-frasa seperti yang diucapkan oleh banyak orang, seperti “menaklukkan gunung”, atau berbagai variannya adalah bagian dari keseharian diksi kita. Baik secara verbal maupun tulisan.
Padahal, jika ditanya, “apa sebenarnya yang kita taklukkan?” Toh gunung-gunung tak lantas berkurang seinci pun ketinggiannya hanya karena ada ribuan orang menjejakkan kaki di puncak-puncak mereka. Gunung telah ada di sana ribuan tahun dan akan tetap di sana selamanya—mungkin sampai malaikat meniup sangkakalanya.
Sementara orang-orang tadi, sang “penakluk”, atau bahkan kita semua, bakal menua, sakit-sakitan, sebelum kemudian berakhir eksistensinya. Dan, ingat! Sebaliknya, hanya sekali letusan gunung, segala yang ada di bawahnya bakal lenyap saat itu juga. Sebagaimana Titanic yang dibikin katanya kebal terhadap berbagai kemungkinan masalah tumbang di pelayaran pertama karena gumpalan es di bawah laut.
Ya. Saya punya keyakinan, barangkali, tanpa kita sadari, beragam diksi yang terkesan merendahkan seperti itu dapat mempengaruhi sikap kita terhadap alam. Kita menjadi begitu abai, tak ambil pusing terhadap perusakan alam. Yang dilakukan oleh negara, korporasi, maupun individu.
Jaswanto berpose di atas Bukit Trunyan / Foto: Tasya
“Kesombongan” berbahasa, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang, sedikit banyak, menjadi bagian dari sikap umum yang menganggap gunung, laut, atau hutan seolah hanya halaman depan atau belakang rumah yang suatu saat bisa kita taklukkan, bisa kita tundukkan sesuka hati.
Padahal, saya rasa tak kurang orang-orang yang memberikan contoh penghormatan kepada alam lewat bahasa. Lewat khazanah seni dan sastra tanah air. Atau lewat untaian lirik, puisi, dan narasi juga berkelimpahan.
Mulai Chairil Anwar yang mengatakan “Beta Pattiradjawane, hutan pala, serta apa di pantai”; Ebiet G Ade tak mau kalah, yang mengajak kita “bertanya kepada rumput yang bergoyang”; hingga sastrawa besar abad ini, Eka Kurniawan yang membuka novel Lelaki Harimau dengan “senja, ikan-ikan di kolam, aroma asin di laut, batang kelapa, bunyi falsetto laut, badai jinak, ganggang, dadap, dan semak lantana”.
Orang-orang besar itu menempatkan alam begitu terhormat. Dekat, dan tentu saja, tetap menganggap alam sebagai kemisteriusan. Sebuah keajaiban yang agung. Dan yang paling penting, sama sekali tidak menganggap alam sebagai subordinat manusia.
Jadi, sudah sepatutnya kita menghormati alam, paling tidak menggunakan bahasa-bahasa yang tidak terkesan merendahkan. Berhenti untuk “menaklukkan”, lebih baik “menggapai”. Berhenti untuk “mengalahkan”, lebih baik “melewati” saja.
Ini menang terkesan agak berlebihan, akan tetapi, diksi-diksi ini adalah langkah kecil untuk mulai menghormati alam. Toh, bukankah pada akhirnya kita akan kembali ke alam juga? Seperti kata Chairil Anwar, “Di Karet, di Karet,” jauh sebelum dia dimakamkan di Pemakaman Karet Bivak.
Jadi, bukan gunung, laut, atau hutan yang sejatinya kita taklukkan. Bisa jadi kita yang ditaklukkan. Maka dari itu, lebih baik, kita menaklukkan diri kita sendiri. Sebab, kata Plato, “Mengalahkan diri sendiri adalah kemenangan yang paling agung”.
***
Lah, kenapa bisa ngelantur sampai ke Plato segala? Mohon maaf, saya terlalu asyik sendiri. Kembali ke Bukit Trunyan. Ya, seperti yang sudah Anda tebak, saya dan Tasya berangkat bersama mereka yang tak pernah—meski tak semua—mendaki gunung. Artinya, ini adalah pengalaman mereka yang pertama. Dan saya tak ambil pusing. Yang penting nanti tidak merepotkan, pikir saya.
Dan benar. Setelah kami mulai pendakian, tampaknya mereka cukup meyakinkan untuk tidak merepotkan teman—meskipun dilihat dari penampilan mereka, cara mereka membawa barang, atau sepatu yang mereka kenakan, cukup membuat seorang porter ketar-ketir. Tetapi, bukankah ada pepatah lama yang mengatakan “jangan melihat orang dari tampilannya?” Saya cukup yakin mereka tidak akan merepotkan.
Bukit Trunyan memiliki jalur tanah, menanjak, curam, dengan semak-belukar dan beberapa pohon di samping kanan-kirinya, tak jauh berbeda dengan jalur Gunung Abang atau Batukaru. Hanya saja, jalur ke Bukit Trunyan tak memiliki hutan lebat seperti jalur dua gunung yang terakhir disebut
Sependek ingatan saya, untuk jalur pendakian dari Desa Trunyan (Bukit Trunyan memiliki dua jalur, yaitu dari Desa Trunyan dan Tianyar), jalur yang kami lewati waktu itu, di beberapa jalur juga mirip dengan jalur Gunung Batur, berbatu dan penuh ilalang di lereng-lereng tebing.
Sepanjang perjalanan mendaki Bukit Trunyan, seperti yang banyak dituliskan di web-web travel secara bombastis, kami ditemani dengan keindahan alam yang memanjakan mata hingga lupa akan rasa lelah dan berat barang bawaan. Rumput hijau dengan pepohonan di sepanjang jalur pendakian adalah salah satu nikmat saat mendaki Bukit Trunyan. Saya sangat menikmatinya, meski harus bersabar karena Tasya menuntut lebih banyak istirahat daripada melanjutkan berjalan.
Tetapi saya tidak mempersoalkan itu. Sebab wajar saja, selain karena ia jarang mendaki dan melakukan aktivitas fisik, juga beban yang ada dipundakkan, jalur Bukit Trunyan juga tidak semudah yang kami kira. Jalur itu nyaris selalu menanjak, sedikit yang datar atau landai, seolah tak memberi kesempatan kami untuk bernapas barang sebentar.
Seingat saya, dengan jalan gremet seperti siput, setelah melewati tanjakan curam, tikungan, dan lembah-lembah misterius, setelah berjalan selama nyaris lima jam, akhirnya kami sampai di punggung Bukit Trunyan, hanya beberapa menit dari puncaknya. Padahal, menurut perhitungan saya, seandainya saya mendaki bersama Dziky atau Rahman, hanya membutuhkan 2 sampai 3 jam untuk sampai di puncak Bukit Trunyan.
Jaswanto dan Tasya berpose di atas Bukit Trunyan / Foto: Dok. Jaswanto
Waktu itu kami merasa cukup untuk mendirikan tenda di punggunya saja, meski hanya butuh beberapa menit berjalan untuk mencapai puncak. Toh, kami sampai sana senja sudah mulai habis, malam nyaris mendaulat bukit kecil dan indah itu. Dan benar, gelap benar-benar sudah melumat habis gundukan hijau itu dan merubahnya menjadi hitam seperti sosok raksasa yang misterius saat kami mulai mendirikan tenda untuk istirahat.
Ah, bintang-bintang itu berpendar cantik sekali. Atau lampu-lampu pemukiman di lembah Gunung Batur itu, juga lampu-lampu kendaraan, bergerak-gerak seperti kunang-kunang yang terperangkap dalam toples. Melihat romantisme itu, ada perasaan—perasaan yang belum ternamakan sebelumnya—yang tiba-tiba mendera dan membuat tubuh saya merasa aneh. Mungkin karena rasa senang sebab saya mendaki bersama Tasya, atau mungkin juga karena, untuk pertama kalinya, saya mendaki tanpa sahabat-sahabat saya, terutama Dziky. Sekali lagi mungkin.
Malam itu kami, beberapa lelaki, berbondong-bondong mengumpulkan kayu bakar. Ini sesuatu yang wajib. Bukan saja karena kemah tanpa api unggun itu seperti martabak telur tanpa acar, tapi udara dingin sudah mulai agak mengganggu. Sementara para lelaki mencari kayu atau lebih tepatnya ranting-ranting semak, Tasya dan teman perempuannya juga beberapa lelaki yang tersisa, menyiapkan hidangan makan malam. Sebuah kerja sama dan keakraban khas saat pendakian.
Pagi hari, sebelum matahari benar-benar terbit, setelah melewati malam dengan obrolan panjang dan humor-humor garing yang agak memaksa, dan saya agak terganggu dengan pengeras suara yang mereka bawa, seperti biasa, kami kalap saat melihat pemandangan indah Bukit Trunyan. Tak ada kamera yang mati. Semua nyala. Semua aktif, memotret setiap sudut yang menurut kami wajib diabadikan—dan mungkin juga “dipamerkan” di media sosial, atau paling tidak menjadi bukti-penanda bahwa kami benar-benar pernah ke sana.
Saya dan Tasya tak mau ketinggalan. Kami berpose layaknya pasangan sedang prewedding menjelang pernikahan. Saya memegang tangannya, ia erat menggenggam tanggan saya. Kami tak peduli orang-orang sekitar, kami merasa itu hari kami, dan seolah semua ini diciptakan memang hanya untuk kami. Untuk itulah kami mengumbar kemesraan—tentu masih dalam batas wajar.
Saya merasa, saat itu, hubungan kami seperti dieratkan, ditegaskan, bahwa ia memang jodoh saya. Bahkan mungkin seperti takdir, kehadiran Tasya dalam hidup saya seperti tak dapat saya tolak dan hindari, meski sekuat apa pun saya berusaha melakukannya. Setidaknya sampai sejauh ini. Bukan begitu, Ayang?[T]