ISTILAH bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1); dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan).
Selain istilah bilingualisme dengan segala jabarannya, ada juga istilah multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan), yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Diglosia adalah situasi kebahasaan dengan pembagian fungsional atas variasi bahasa atau bahasa yang ada dalam masyarakat (misal ragam atau bahasa A untuk suasana resmi di kantor dan ragam atau bahasa B untuk suasana tidak resmi di rumah).
Bilingualisme dan diglosia adalah dua fenomena bahasa yang sering terjadi di dalam lingkungan keluarga. Bilingualisme adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan dua bahasa atau lebih secara aktif dan lancar.
Diglosia adalah situasi di mana dua atau lebih bahasa digunakan dalam satu masyarakat, tetapi setiap bahasa memiliki fungsi dan status yang berbeda. Dalam lingkungan keluarga, bilingualisme dan diglosia dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti:
- Agama. Dalam beberapa keluarga, kedua orang tua berasal dari latar belakang budaya atau agama yang berbeda, sehingga mereka menggunakan bahasa yang berbeda di rumah.
- Etnis. Dalam beberapa keluarga, kedua orang tua berasal dari etnis yang berbeda, sehingga mereka menggunakan bahasa yang berbeda di rumah.
- Geografi. Dalam beberapa keluarga, kedua orang tua berasal dari daerah yang berbeda, sehingga mereka menggunakan bahasa yang berbeda di rumah.
- Perkawinan campur. Ketika dua orang tua berasal dari latar belakang bahasa yang berbeda, anak-anak mereka mungkin terpapar kedua bahasa tersebut dan menjadi bilingual.
- Migrasi. Keluarga yang bermigrasi ke negara atau daerah dengan bahasa yang berbeda mungkin perlu mempertahankan bahasa mereka sendiri sambil belajar bahasa setempat.
- Kebijakan pendidikan. Beberapa sekolah atau program pendidikan menerapkan kurikulum bilingual, di mana siswa diajar dalam dua bahasa.
- Kontak bahasa sehari-hari. Keluarga yang tinggal di daerah bilingual atau yang sering berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang bahasa yang berbeda mungkin secara alami menggunakan dua bahasa dalam komunikasi sehari-hari.
Bilingualisme dan diglosia di dalam lingkungan keluarga dapat memiliki berbagai dampak positif dan negatif seperti meningkatkan keterampilan kognitif, misalnya. Anak-anak yang bilingual atau dibesarkan dalam lingkungan diglosis cenderung memiliki keterampilan kognitif yang lebih baik, seperti kemampuan memecahkan masalah, berpikir kritis, dan memahami konsep abstrak.
Selain itu, kondisi tersebut juga meningkatkan toleransi dan pemahaman terhadap budaya lain. Anak-anak yang bilingual atau dibesarkan dalam lingkungan diglosis cenderung lebih toleran dan memahami budaya lain.
Juga meningkatkan peluang kerja. Di era globalisasi, kemampuan berbahasa asing menjadi semakin penting. Anak-anak yang bilingual atau dibesarkan dalam lingkungan diglosis memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang baik di masa depan.
Adapun dampak ampak negatifnya, yaitu kesulitan belajar bahasa kedua. Anak-anak yang bilingual atau dibesarkan dalam lingkungan diglosis mungkin mengalami kesulitan belajar bahasa kedua, karena mereka sudah terbiasa menggunakan bahasa lain di rumah.
Lalu fonflik identitas, anak-anak yang bilingual atau dibesarkan dalam lingkungan diglosis mungkin mengalami konflik identitas, karena mereka harus beradaptasi dengan dua budaya yang berbeda.
Dampak bilingualisme dan diglosia pada keluarga sangat beragam dan tergantung pada faktornya. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi, yaitu sikap dan nilai keluarga terhadap kedua bahasa. Jika keluarga menghargai kedua bahasa dan mendorong anak-anak untuk menguasainya, bilingualisme dapat dilihat sebagai keuntungan.
Namun, jika ada perbedaan status atau stigma terhadap salah satu bahasa, bilingualisme bisa menjadi tantangan. Kemampuan orang tua untuk menggunakan kedua bahasa secara lancar akan mempengaruhi kemampuan anak-anak untuk menguasai kedua bahasa tersebut.
Paparan anak-anak terhadap kedua bahasa di luar lingkungan keluarga juga penting. Semakin banyak mereka berinteraksi dengan penutur asli kedua bahasa, semakin besar kemungkinan mereka menguasainya.
Secara keseluruhan, bilingualisme dan diglosia dalam lingkungan keluarga dapat menjadi fenomena yang kompleks dan beragam. Memahami kedua konsep ini dapat membantu kita menghargai kekayaan linguistik dan budaya yang dibawa oleh keluarga bilingual atau diglos, serta mendukung mereka dalam mengatasi tantangan yang mungkin mereka hadapi.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk menyadari potensi dampak positif dan negatif bilingualisme dan diglosia di dalam lingkungan keluarga. Orang tua dapat membantu anak-anak mereka untuk memanfaatkan potensi positif bilingualisme dan diglosia, serta meminimalkan dampak negatifnya.[T]
Catatan: Tulisan ini merupakan pemenuhan tugas mata kuliah Pengembangan dan Pembinaan Bahasa serta mata kuliah Sosiolinguistik, mahasiswa semester V (lima), Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas PGRI Mahadewa Indonesia.