PERNIKAHAN menjadi salah satu tolak ukur kedewasaan di pandangan masyarakat, utamanya di Indonesia. Sepanjang tahun 2022, tercatat 1,7 juta pernikahan terlaksana di Indonesia dengan Jawa Barat sebagai provinsi yang paling banyak melancarkan pernikahan, yakni 336.912 (Databooks, 2022).
Terdapat beberapa alasan yang menjadi pertimbangan masyarakat Indoenesia untuk menikah yang diantaranya adalah keamanan dan dukungan sosial. Tak jarang masyarakat Indonesia mempercayai bahwa dengan menikah akan memperbaiki perekonomian mereka (Febriyanti,2017).
Selain itu, faktor lain yang pengaruhi keputusan menikah masyarakat Indonesia yang cukup krusial adalah pertimbangan agama dan budaya. Kita ketahui bahwa Indonesia sebagai negara dengan adat, budaya, dan tradisi yang masih kental dan merupakan negara beragama menjadikan faktor ini merupakan pertimbangan utama dalam menjalin hubungan suami-istri.
Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang menjadi pertimbangan dari pernikahan tradisional. Budaya dan tradisi mengharuskan dua orang laki-laki dan perempuan untuk menikah untuk menghindari sanksi sosial dan Komitmen beragama, mengikuti nilai-nilai keagamaan utamanya dalam hal pernikahan dapat menjadi pencipta kestabilan yang baik dalam mempertahankan pernikahan (Latifa, 2019). Namun bertahan dalam pernikahan bukan menjadi arti bahwa pernikahan tersebut bahagia tanpa kemunculan distress.
Pasangan tradisional atau dalam bahasa Inggrisnya disebut traditional couples merupakan tipe pasangan yang memiliki kemungkinan kecil untuk berpisah/bercerai baik dikarenakan tuntutan sosial, adat, budaya, maupun agama yang dianut (Gottman, 2017). Pasangan mengikuti pola dan norma-norma tradisional yang ada pada masyarakat.
Di Indonesia sendiri, hampir keseluruhan warganya memilih untuk menikah dengan alasan agama dan norma adat tempat tinggal mereka. Contohnya adalah masyarakat Bali, yang mana menikah adalah sebuah kewajiban dikarenakan garis keturunan sebuah keluarga di Bali yang tidak boleh putus (Bilo & Hutahaean, 2023).
Apabila tidak menjalani norma, tradisi dan budaya tersebut, maka akan ada sanksi yang utamanya berupa sanksi sosial untuk mereka yang belum atau memutuskan untuk tidak menikah. Demi menghindari sanksi sosial yang diberikan, masyarakat cenderung akan memutuskan untuk menikah meskipun belum siap ataupun dengan orang yang tidak mereka cintai.
Pasangan seperti ini akan lebih sulit dalam mengatasi konflik rumah tangganya, baik dari segi ekonomi maupun hal lain dikarenakan ketidaksiapan. Ketidaksiapan secara mental juga perlu diperhatikan disini. Individu yang belum siap mengalami perubahan-perubahan yang terjadi pasca-pernikahan akan kesulitan dan menimbulkan konflik dalam diri. Belum lagi menjalani kehidupan perkawinan tidak dengan orang yang mereka cintai. Hal-hal diatas dapat menimbulkan rasa cemas dan depresi pada pernikahan suami-istri.
Tak jarang orang tua yang masih tradisional menilai kesesuaian pasangan dari anak mereka dengan menggunakan ramalan dan astrologi. Beberapa tradisi hingga saat ini masih menggunakan metode ramalan untuk menyatakan cocok tidaknya sepasang kekasih. Masyarakat Jawa tradisional masih menggunakan metode atau pun alat-alat tradisional yang dipercaya dapat meramal kesuksesan pasangan di masa mendatang setelah menikah.
Metode yang biasanya digunakan adalah perhitungan weton. Apabila setelah diperhitungkan weton dari pasangan tersebut tidak pas, maka jika dipaksakan menikah, usia pernikahannya tidak akan bertahan lama dan dapat berujung perpisahan (Setiawan, 2022). Hal ini kerap menjadi bahan pertimbangan utama pada masyarakat tradisional. Meskipun terbilang sudah saling mencintai, sepasang kekasih harus berpisah karena ketakutan ini.
Dibandingkan dengan orang yang mereka cintai, tradisi ini fokus memandang bagaimana pasangan cocok berdasarkan perhitungan weton mereka. Individu akan merasa kehilangan jika dipisahkan dengan orang yang mereka cintai. Perasaan tersebut menjadikan timbulnya depresi (Rosnaini, 2023). Belum lagi individu diharuskan untuk menikah dengan yang memiliki perhitungan weton sesuai, yang mana hal ini biasanya dilakukan oleh orang tua semacam konsep perjodohan.
Dalam rumah tangga, konflik tidak bisa kita hindari. Namun lain halnya apabila konflik tersebut terus muncul hingga mengganggu keberfungsian individu maupun kelompok yang dalam hal ini adalah keluarga. Kasus semacam ini biasanya akan diselesaikan dengan perceraian. Namun, Indonesia adalah negara beragama, dengan memiliki 6 agama yang diakui secara resmi.
Setiap agama memandang pernikahan sebagai hal yang sakral dan merupakan sebuah hal yang sangat dianjurkan untuk mecapai tujuan-tujuan keagamaan. Tak jarang pula pemuka Agama yang mengatakan bahwa perceraian itu buruk, dan hingga saat ini orang tua masih menganut hal tersebut.
Oleh karena itu, pasangan tradisional yang dalam rumah tangganya terdapat konflik, entah itu kekerasan dalam rumah tangga atau lainnya yang tak kunjung usai sulit untuk berpisah karena satu faktor ini (Bell dkk., 2018). Mereka mempertahankan hubungan mereka demi komitmen beragama dan pemenuhan ekspektasi keluarga terhadap pernikahan anak.
Hal ini dapat terjadi karena pemikiran mengenai kebenaran moral, pengaruh relasi sosial beragama dan dilema beragama itu sendiri. Stressor dan tekanan yang terus menerus datang akan menumpuk hingga akhirnya menyebabkan depresi pada seseorang. Begitu pula halnya jika dalam sebuah rumah tangga terdapat pihak yang tertekan, jika tidak diatasi dengan segera maka akan menumpuk. Dan apabila memang tidak dapat ditahan atau pasangan tidak bisa diajak kompromi, hal ini akan mempermudah datangnya depresi dan bila tetap bertahan akan terus memperkeruh keadaan.
Masyarakat di Indonesia sendiri memiliki pandangan terhadap peran gender, bagaimana seharusnya seorang laki-laki atau suami dan bagaimana seharusnya seorang perempuan atau istri. Pandangan ini masih melekat hingga kini pada masyarakat.
Sebagian besar daerah di Indonesia menganut asas patriarki, dimana laki-laki memiliki kuasa tunggal dan sentral, dan terdapat pula definisi yang menyatakan bahwa patriarki adalah sebuah sistem yang menganggap laki-laki ditakdirkan untuk mengatur kaum perempuan (Anto dkk., 2023). Konsep ini masih dipegang oleh orang tua baby boomer, sehingga dengan ini tidak dapat dikatakan setara antara laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga.
Dalam kasus ini, perempuan tidak bisa sepenuhnya mengekspresikan diri mereka, ditahan untuk hanya diam di rumah, mengurus anak, dan bersih-bersih. Tidak ada kesempatan untuk mengenyam Pendidikan lebih tinggi apalagi izin untuk bekerja meninggalkan rumah. Tak hanya perempuan,, laki-laki pun akan terkena dampak dari patriarki ini, Budaya patriarki menuntut peran laki-laki untuk tegas, dominan, dan lainnya sesuai dengan peran gender yang sudah terbentuk dalam masyarakat.
Secara tidak langsung, budaya ini mengekang individu untuk mengaktualisasikan diri mereka secara penuh. Aktualisasi diri merupakan puncak dari hierarki kebutuhan Maslow. Tanpa terpenuhinya aktualisasi diri, individu tidak akan berkembang secara utuh dan berpengaruh terhadap jati diri mereka (Effendi, 2020).
Dapat disimpulkan bahwa pasangan tradisional di Indonesia membawa aspek-aspek seperti adat istiadat, budaya, dan agama, memainkan peran sentral dalam pengambilan keputusan pernikahan. Pernikahan dianggap sebagai indikator kedewasaan, dan pasangan tradisional cenderung mengikuti norma-norma yang ada dalam masyarakat, terkadang dengan mengorbankan kebahagiaan pribadi.
Faktor-faktor seperti ramalan, astrologi, dan perhitungan weton masih memiliki pengaruh signifikan, bahkan dalam mengatasi konflik rumah tangga. Pentingnya komitmen beragama dan pemahaman nilai-nilai keagamaan menjadi pendorong utama dalam mempertahankan pernikahan, meskipun adanya tekanan sosial dan konflik yang dapat menyebabkan dampak psikologis seperti depresi.
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan pendidikan dan kesadaran, memberikan dukungan psikososial, mendorong kesetaraan gender, mengintegrasikan nilai tradisional dengan modern, dan mengembangkan keterampilan manajemen konflik untuk memperkuat keberlanjutan dan kesehatan hubungan pernikahan di masyarakat Indonesia. [T]
[Daftar Pustaka]
databoks.katadata.co.id. (2023, 02 Maret). Angka Pernikahan di Indonesia pada 2022 Terendah dalam Satu Dekade Terakhir. Diakses pada 16 Desember 2023, darihttps://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/02/angka-pernikahan-di-indonesia-pada-2022-terendah-dalam-satu-dekade-terakhir
Febriyanti, N. P. V., & Dewi, M. H. U. (2017). Pengaruh faktor sosial ekonomi dan demografi terhadap keputusan perempuan menikah muda di Indonesia. PIRAMIDA, 13(2), 108-117.
Latifa, R. (2019). Komitmen Beragama Islam Memprediksi Stabilitas Pernikahan. TAZKIYA: Journal of Psychology, 3(1). https://doi.org/10.15408/tazkiya.v20i1.9191
Gottman, J. M. (2017). The roles of conflict engagement, escalation, and avoidance in marital interaction: A longitudinal view of five types of couples. In Interpersonal Development (pp. 359-368). Routledge.
Bilo, D. T., & Hutahaean, H. (2023). Implementasi Pemahaman Teologi Pernikahan Umat Hindu dan Kristen Di Pintubesi Bagi Kerukunan. Jurnal Penelitian Agama Hindu, 7(2), 121-134.
Setiawan, E. (2022). Larangan Pernikahan Weton Geyeng Dalam Adat Jawa. Journal of Urban Sociology, 5(2), 81-90.
Rosnaini, L. (2023). Pengaruh Kehilangan Pasangan Hidup Terhadap Kejadian Depresi Di Desa Meunasah Meucat. Darussalam Indonesian Journal fo Nursing and Midwifery, 5(1), 74-81.
Bell, N. K., Harris, S. M., Crabtree, S. A., Allen, S. M., & Roberts, K. M. (2018). Divorce decision-making and the divine. Journal of Divorce & Remarriage, 59(1), 37-50.
Anto, R. P., Harahap, T. K., Sastrini, Y. E., Trisnawati, S. N. I., Ayu, J. D., Sariati, Y., … & Mendo, A. Y. (2023). Perempuan, Masyarakat, Dan Budaya Patriarki. Penerbit Tahta Media.
Effendi, Y. (2020). Pola Asuh dan Aktualisasi Diri: Suatu Upaya Internalisasi Konsep Humanistik dalam Pola Pengasuhan Anak. SOSIOHUMANIORA: Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial Dan Humaniora, 6(2), 13-24.