PEMAKAMAN
tembakan salvo
memecah keheningan
saat peti mati dipeluk bumi
hujan menghujam tanah
derunya menyamarkan tangisan
rampai menyelimuti gundukan
menahan aroma bangkai
dari dalam tanah
agar yang tak boleh dihirup
tetap tak tercium
cahaya lilin menyinari pelataran makam
penerang jalan ke api penyucian
ketika hari ketiga
anak-anak berlarian di luar rumah
membicarakan kematian dengan riang
saat para tetua
merapalkan doa penuh duka
SENJA
senja yang larut
ke pelukan cakrawala
bayangannya masuk ke sela
reruntuhan rumah kita
angin malam menerpa rangka kayu
menjatuhkan sisa abu dan bara api
ke lantai dan dinding muram
telah kita sangsikan kemarahan lidah api
dengan memegang janji
air hidup dari hujan setiap natal
namun tak ada lagi bisa dijadikan
peneduh saat ini
angin melipat caya di malam hari
udara dingin memeluk kita
MERUNCINGKAN BAMBU
: Aloy Zenda
setelah angin barat membawa kabar duka
tentang rumah dilalap kobaran api
yang disulut gerombolan
ia sangkutkan sangkur pada kopel di pinggang
bambu yang runcing erat digenggam
dibacanya kredo masa perang
: ketegangan memantik cahaya keberanian kian terang
tak peduli kematian
selama hulubalang di depan ditikam bambu runcing depan
pasukan di belakang diyakininya berlarian
TANAH KELUARGA
: Aloy Zenda
sehabis perang, kau menetap dari tanah ke tanah
pinjaman tuanmu yang taat perintah atasan
jelang pensiun, dingin mencengkeram lehermu
tak ada emas di saku, hanya uang logam berselimut kertas
anak-anakmu yang terlambat lahir butuh peneduh
dari sengatan matahari dan sayatan pandangan tetangga
kau sadari waktu tak pernah mudah ditawar
meski kau ancam dengan mata sangkur
di tengah kegamangan, mertua datang ketakutan
dikejar pencari utang yang ingin merampas tanah keluarga
agar tanah tak berpindah tangan
kau serahkan sisa-sisa uangmu
kau diberi sepetak tanah
untuk membangun keluarga muda di usia senja
dunia memang tak tertebak
mertuamu mangkat, kau juga ikutan
para keluarga berubah jadi hiena saling bertengkar
merebut tanah yang menyerupa sebongkah daging domba
kelak kau sadar, tak pernah ada undi paling adil
untuk membagi makanan di hadapan perut lapar
PERSIAPAN PERANG
pergantian milenium menghapus jejak ingatan
perang seroja di perbatasan negara
sangkurmu telah kau istirahatkan
ia terlelap di laci lemari baju
“sudah tak ada lagi luka perang!”
batinmu, kala menimang anak terakhir
saat purna hormat bagimu dari barak-barak
ketakutan dan bayangan luka tak lagi hinggap di kepalamu
pada malam-malam sunyi di rumah pinggir sawah ini
yang mengingatkan kenangan terhadap belantara hutan
namun dunia penuh kejutan dan hentakan
musuh datang dari tetangga terdekat
setelah tersiar kabar dan selebaran
penghangusan keturunan
kau harus bangunkan sangkurmu
ada yang perlu dilindungi lagi
walau segalanya akan sia-sia
setelah rumah terakhirmu hangus saat kau
belum menghunus sangkurmu
MIOPIA
orang-orang buruk rupa gemar mengejar
terutama jika kau lengah, lupa memicingkan mata
miopia suka tiba-tiba menghinggap
membuatmu kerap salah menyapa
meski doa-doamu tak selamanya bisa ditera
ada yang selalu sulit ditatap
dari tatapanmu
mulai menumpul
PERAYAAN
ketika anggur dingin dituang
dalam cawan
aromanya menguap perlahan
menyatu bersama dupa dan asap lilin
dari meja doa
segala jerih payah
telah disembahkan
dalam rupa anggur merah
tetua terbatuk-batuk
saat asam anggur
mencengkeram lehernya
yang disesaki doa
DI PENGUNGSIAN
gambar masa silam berkelabat
sebuah petang di barak tentara
di kota sedang terjadi huru hara
gerombolan membakar tempat ibadah
rumah kami turut disatroni
isinya dibagi tanpa undi
angin membawa kabar duka
lidah api menjilati habis rumah kami
di barak tentara ini
langit diselimuti gelap
kami berlindung dalam naungan atap garasi
sembari merapalkan doa
meminta api tidak melalap tempat terakhir kami
TAMU MALAM HARI
malam menyelimuti rumah pinggir sawah
angin meniup batang padi menimbulkan gemerisik
seakan berbisik: sesuatu tak terlihat akan tetap terdengar
lolongan anjing menembus jendela
menghantarkan kain putih melayang
berdiam di atap rumah kami
ada debam terdengar dari pekarangan
seperti buah mangga dan nangka
jatuh bersamaan
kami menyenter keluar
seonggok tubuh bersimpuh di pematang
samar samar di balik pagar tanaman
“tiang numpang liwat.”
ujarnya, udara pecah sesaat
semuanya sunyi kembali
di dada kami ada jemari
terus menggelitik
RUMAH YANG TERENGGUT
kesiur angin tak terdengar lagi
di rumah tepian sawah ini
atap kayu telah dibawa lari angin
dinding terkelupas
bangku bangku luruh
menjadi serbuk di lantai
ranjang besi lesap digerogoti karat
dua kompor minyak tanah di dapur
menghanguskan diri mereka sendiri
rumah ini tak pernah lagi menjadi rumah
jika tak bisa menjaga kepala
dari sengatan matahari
atau jadi perisai
halau gempuran hujan
hanya tersisa dinding muram
tak lagi jadi peraduan
RUMAH TUA
rumah tertua di monjok
memeluk tubuh nenek bermata rabun
angin menembus dinding bedek
menggetarkan badan rentanya
atap rumpang
menjatuhkan jarum air
ke rambut putih nenek saat hujan
jika terik, silau menembus mata rabun
membantu nenek melihat cucu-cicitnya
yang gemar datang pada keheningan siang
lantai semen serupa karpet
tempat nenek merangkak ke jeding
nenek gemar menggaruk-garuk lantai
mengubur giginya yang tanggal semalam
sembari merapalkan doa
agar kehidupan tetap tumbuh
ALMANAK
setiap angka terduduk diam
saat waktu terus berlarian mengejar
tubuh yang tak gemar perayaan
akhir baris serupa oasis bagi para buruh
jeda bagi diri yang letih dicekik
gaji rendah dan daftar utang
upacara kelahiran dan kematian kerap dirayakan
diawali keriangan tak tertebak
diakhiri kegamangan tak tergapai