“Berpolitik tidaklah semata-mata berurusan dengan kekuasaan, tetapi juga berurusan dengan kebenaran” – Sabam Sirait
ONE PIECE masih menjadi manga tersukses dengan penjualan terbanyak. Manga karya Eichiro Oda yang pertama kali dirilis pada tahun 1997 itu menceritakan kisah kelompok bajak laut yang bertujuan mendapatkan harta karun terbesar di dunia yang dapat menobatkannya sebagai “Raja Bajak Laut”.
Dalam cerita tersebut terdapat beberapa tokoh penting yang setidaknya memiliki tujuan untuk meneruskan semangat yang sama kepada keturunannya. Sebut saja Monkey D. Garp (Wakil Admiral Angkatan Laut) dan Kaido (Kaisar Lautan/Yonkou).
Karakter Monkey D. Garp sudah hadir di awal-awal episode One Piece. Garp adalah seorang pejabat tinggi di angkatan laut dan juga memiliki julukan “Pahlawan Angkatan Laut” karena jasanya dalam mengalahkan Bajak Laut Rocks di God Valley di masa lalu.
Sebagai seorang angkatan laut, ia pun ingin keturunannya juga menjadi seorang prajurit angkatan laut. Keinginan tersebut disampaikan kepada cucunya, Monkey D. Luffy yang kini telah menjadi salah satu Yonkou di dunia One Piece.
Belakangan juga diketahui bahwa keinginan yang sama juga diteruskan kepada anaknya, Monkey D. Dragon—meski sempat menjadi prajurit angkatan laut, namun Dragon memutuskan keluar dari angkatan laut dan menjadi Pemimpin Pasukan Revolusi—orang yang paling dicari oleh pemerintah dunia.
Tidak berbeda dengan Monkey D. Garp, hal serupa juga dilakukan oleh Kaido sang penjajah negeri Wanokuni kepada anaknya, Yamato. Kaido menginginkan Yamato untuk menjadi seorang Shogun (Raja Wanokuni) ketika ia berhasil memindahkan Onigashima ke ibu kota Bunga.
Namun, kejadian 20 tahun lalu (timeline One Piece), saat Kaido dan Kurozumi Orochi mengeksekusi Kozuki Oden justru menjadikan Yamato menjadi seorang penggemar Oden garis keras, sampai hari ini—Yamato mengikuti jejak hidup dari Oden untuk berkeliling negeri Wanokuni sebelum berlayar ke lautan. Alih-alih mau menjadi Shogun sesuai keinginan ayahnya, Yamato justru membantu Luffy dan lainnya untuk menumbangkan kekuasaan Kaido di Wanokuni.
Rangkaian cerita yang disajikan oleh Oda melalui One Piece dapat menjadi gambaran terhadap apa yang terjadi hari ini, khususnya di Indonesia. Faktanya, keinginan untuk meneruskan kekuasaan atau kesuksesan kepada kerabat adalah hal yang tidak dapat dihindari oleh pihak-pihak yang sedang duduk dalam satu jabatan dengan kekuasaan dan kewenangan tertentu.
Duduk dalam jabatan tertentu dengan segala fasilitas dan kewenangan tampaknya menjadi ujian serius nan berat bagi setiap pejabat publik, khususnya di Indonesia. Memang benar bahwa untuk menguji integritas seseorang, maka berilah orang tersebut kekuasaan—karakter aslinya pun akan terlihat.
Politik Dinasti
Topik lama ini kembali menjadi hangat dalam dinamika politik Indonesia hari ini melalui fenomena terpilihnya Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam waktu dua hari setelah menerima kartu tanda anggota (KTA).
Selanjutnya adalah melenggangnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) dari Prabowo Subianto melalui proses yang kontroversial hingga hari ini. Atas dua fenomena politik ini, publik pun menyebut bahwa Joko Widodo yang saat ini masih menjadi Presiden RI sedang membangun dinasti politiknya di Indonesia—memastikan cengkeraman pengaruhnya masih kuat, setidaknya hingga lima tahun ke depan.
Secara umum, politik dinasti adalah sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Politik dinasti juga sesungguhnya lebih identik dengan sebuah kerajaan, karena kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun kepada keturunannya, baik anak dan lainnya yang masih berada dalam lingkaran keluarga.
Namun, apakah politik dinasti mungkin terjadi di sebuah negara demokrasi seperti Indonesia? Ari Dwipayana menyebutkan bahwa politik dinasti adalah gejala dari neopatrimonialistik, sebuah sistem yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis tinimbang merit sistem.
Jika dulu pewaris ditunjuk langsung oleh pemilik kuasa, maka saat ini dilakukan melalui jalur politik prosedural. Artinya penerus, seperti anak, keponakan, dan lainnya disiapkan oleh elit politik melalui partai politik.
Pasca reformasi, politik dinasti bukanlah barang baru dalam konteks demokrasi elektoral di Indonesia. Hal semacam ini justru jamak ditemui, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat kabupaten/kota.
Merujuk uraian sebelumnya, tentu politik dinasti tidak memperhitungkan aspek-aspek prestasi, pengabdian, dedikasi, dan lainnya dalam memposisikan seseorang dalam kontestasi elektoral. Satu aspek penting yang dilihat dalam politik adalah aspek kekerabatan, mudahnya “kalau anda anak elit partai politik atau elit negeri, maka karpet merah akan tergelar untukmu menuju kursi kekuasaan”.
Tidak hanya kerabat Joko Widodo, seperti Gibran Rakabuming Raka, Bobby Nasution, dan Kaesang Pangarep yang kini tengah merasakan karpet merah politik elektoral di Indonesia. Nyatanya politik dinasti adalah realitas politik yang tidak bisa dilepaskan oleh elit negeri lainnya.
Sebut saja Diah Pikatan Hapsari, putri Puan Maharani (Ketua DPR-RI/Ketua DPP PDI-Perjuangan) yang kini maju sebagai caleg DPR-RI daerah pemilihan Jawa Tengah IV dengan nomor urut 1—bayangkan, baru terjun di dunia politik sudah memperoleh nomor satu di partai yang terkenal dengan antrian yang panjang. Hehe.
Selanjutnya ada Ravindra Airlangga, putra Airlangga Hartarto (Menko Perekonomian RI/Ketua Umum Partai Golkar) maju sebagai caleg DPR-RI daerah pemilihan Jawa Barat I. Kemudian ada Putri Zulkifli Hasan, putri Zulkifli Hasan (Menteri Perdagangan RI/Ketua Umum Partai Amanat Nasional) maju sebagai caleg DPR-RI daerah pemilihan Lampung I, dan masih banyak lagi. Tentu posisi tersebut didapatkan karena faktor kekerabatan, bukan melalui merit sistem.
Sebagai satu-satunya kelompok yang dapat mencalonkan orang-orang yang akan duduk di kursi legislatif dan eksekutif, partai politik memiliki peran penting dalam melakukan kaderisasi dengan metode yang jelas, guna melahirkan calon-calon pemimpin bangsa.
Penerapan merit sistem di internal partai politik menjadi kunci suksesnya regenerasi kepemimpinan bangsa, utamanya agar tidak dikuasai oleh orang-orang lama. Meski secara realitas tidak menyalahi hukum yang berlaku, tetapi secara etik politik dinasti adalah hal yang mengabaikan etika berpolitik. Oleh sebab itu, hanya rakyat yang dapat menghentikan praktik politik dinasti yang hingga kini masih dilakukan oleh elit negeri.
Momentum Pemilu 2024 menjadi waktu yang tepat untuk mengevaluasi kinerja para pemimpin bangsa yang dengan nyaman duduk di kursi kekuasaan. Pemilu 2024 juga ajang bagi rakyat untuk menunjukkan bahwa kekerabatan di lingkaran elit negeri tidaklah menjamin keterpilihan, karena setiap anak bangsa berhak untuk duduk di kursi kepemimpinan negeri.
Maka, jadikan Pemilu 2024 sebagai ajang memberi kesempatan orang-orang yang berkompeten untuk memimpin, dan hukum orang-orang yang menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan lima tahun sebelumnya.[T]
- Baca esai-esai politikTEDDY CHRISPRIMANATA PUTRAlainnyaDI SINI