KARYA SENI instalasi I Ketut Putrayasa adalah sejenis refleksi perihal dunia kecil cerminan dunia besar. Pada dunia kecil itulah, Putrayasa mengajak kita sampai pada fenomena tentang apa yang terlihat mengantarkan kita kepada apa yang tak tampak oleh indera penglihatan kita. Katakanlah, karya berjudul Warring Images mengandung sebuah visi: berawal dari tatapan mata maka lahirlah imajinasi dan juga inspirasi.
Kita memang menyaksikan sebuah batu besar yang dingin beralas karpet merah itu. Bukan semata menyodorkan sifat alamiahnya, tapi batu itu telah menjelma metafora. Bukanlah semata keberadaan fisik batu itu sendiri, melainkan juga bagaimana pemikiran tentangnya. Maka ketahuilah bahwa Putrayasa bukan sedang menyalin, namun menerjemahkan batu dalam hubungannya dengan perkara dunia.
Dari kejauhan selintas batu persegi empat itu mirip benda arkhaik; artefak arkeologi peninggalan peradaban lampau. Mungkin benda itu semirip sarkofagus, peti mati yang jamak kita temui sebagai sisa peradaban batu. Jejak arkeologis itu membawa kita kepada kepurbaan Nusantara.
Dengan itu, Putrayasa menghidupkan kembali memori kolektif tentang kelampauan kita. Berpetualang menyusuri jejak masa silam, di mana Megalitikum pernah menjadi bagian sejarah evolusi peradaban. Sebuah rantai asal-usul yang sering terlewat begitu saja, diabaikan oleh laju modernitas kita.
Berhadapan dengan karya itu, para pemburu keindahan visual tentu harus menggeser tatapan mata, berpindah dari satu sisi ke sisi lain meja untuk memasuki pengalaman estetik. Kita diantar menemukan dan merasakan kembali kepurbaan lewat gurat-gemurat tekstur, tonjolan meninggi-merendah dan ceruk-ceruk pada batu itu.
Pada keempat sisi batu menghadirkan keindahan alami sebagaimana kita temui pada dinding goa. Di situlah kita merasa bertemu kembali dengan sebuah suasana, sebuah ruang waktu yang lain, yang terlupakan. Ada yang berlimpah dan menjadi lebih intensif dalam diri kita, ada imajinasi yang hidup di tengah kepungan peristiwa yang datang silih berganti.
Kita merasa terpaut dengan masa lalu dan menjadikannya hidup dalam ingatan. Yang alamiah dalam masa lampau itu hadir di hadapan kita, sebagai saksi bahwa kita pernah akrab dengan sifat itu, meski kini tinggal membekas sebagai ingatan di sudut pojok peradaban modern kita.
Bukankah modernitas adalah bentuk lain dari penyangkalan kepada apa yang alamiah? Di hadapan karya seni instalasi Putrayasa, akankah kita membaca dalam-dalam jejak masa lalu atau sekedar menikmati keindahan karakter alamiah batu yang sudah berusia itu? Sebaiknya keduanya, bukan?
Konon, lapisan terdasar dan primordial dari naluri manusia adalah rasa takut. Naluri itu turun-menurun dan melekat pada tiap manusia sepanjang sejarah dan peradabannya. Dari periode berburu, diteruskan pada masa pertanian, lalu diwariskan pada masa modern. Naluri ketakutan membuat manusia terus menemukan cara untuk bertahan hidup.
Adaptasi dan kompetisi membuat homo sapiens bisa bertahan, eksis hingga kini. Pada tingkat yang paling awal, adaptasi dan kompetisi sekadar untuk pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya. Lalu berkembang menjadi setingkat lebih tinggi yakni nilai apresiatif: tiap pribadi harus diakui dan dihargai keberadaannya.
Makin kompleks perkembangan zaman, makin meninggi tingkat adaptasi dan kompetisinya. Katakanlah, di tengah kompleksitas kapitalisme digital saat ini, manusia kontemporer saling berkompetisi demi menetapkan posisi eksistensialnya lewat adaptasi teknolgi pencitraan. Itu yang mungkin bisa kita bicarakan pada karya seni instalasi sang perupa.
Melalui perjalanan naluri itulah Putrayasa mengajak kita untuk menengok kembali muasal sambil terdorong ke depan untuk tiba pada masa kini kita. Kepurbaan, atau katakanlah masa lalu, berusaha dilenyapkan tapi tak mungkin. Ada yang belum rampung dan bersembunyi dalam ingatan: bukan sebagai harapan dan etos, melainkan sebagai bekas yang hidup dalam imajinasi kita. Bekas dari apa yang pernah dicapai.
Pesona yang Mengancam
Batu yang dipajang di ruang pamer ARMA Museum itu membawa kontradiksi: yang purba dan yang modern berada dalam tubuh yang sama. Dalam karya Putrayasa, ketidak-cocokan itu justru menghidupkan bentuk dan isi, yang tampil bukan dalam satu arena yang lurus tapi berkelindan. Menghujam ke dalam, jalin-menjalin, saling subversi pada dirinya sendiri.
Keliaran dan kekasaran tekstur keempat sisi meja menemukan kontras pada permukaan datar yang dibuat rapi, licin, dan dielap mengkilat. Lalu, batu itu seakan menjelma medan ketidak-cocokan antara keliaran purbawi dan kejinakan modern kita. Keduanya saling bertaruh dalam sebuah medan yang sama.
Pada segi lain, Warring Images adalah juga gelanggang pertemuan antara peritiwa seni dan peristiwa sosial. Imajinasi kita dituntun untuk berada dalam situasi bolak-balik antara estetika dan fragmen sosial yang menjadi latar gagasannya.
Pada Putrayasa, seni adalah cerminan realitas sosial yang telah ditertibkan untuk arah yang relatif stabil. Sang perupa, pada karya ini, terpikat pada seni yang mengekspresikan sebuah tertib dan steril yakni seni yang visualiasinya meredam semua sensasi liar dan tak terkontrol.
Maka pada permukaan meja, sebagai lokus ide, yang tampak bukan visual yang di dalam dirinya menampung sejenis kerumitan. Tak muncul improvisasi, tak ada spontanitas dan tak menghadirkan keliaran visual tertentu. Dengan demikian, karya ini tampil sebagai karya yang jauh dari kesan sewenang-wenang dalam ekspresi visualnya.
Batu itu hadir di hadapan kita sebagai sebuah meja biliar. Permukaan meja berkesan bersih, rapi, licin, sederhana, efisien dan agak lengang. Selebihnya, perhatian kita dicuri oleh kehadiran sejenis aksen berupa belasan lipstik hujau yang meleleh, sebuah rack dan sebatang stick. Tentu saja hal itu terasa menyita kelengangan permukaan meja. Benda-benda simbolik itu membuat sedikit rasa meriah, berwarna, manis dan mewah. Kemolekannya menggugah intelektual kita untuk bertanya apa maksud sang perupa dengan itu?
Tergarap dengan teliti, tata letak benda-benda simbolik membuat mata tak terasa lelah. Pada permukaan datar meja batu itu indera penglihatan kita dimanjakan oleh pemandangan dengan tata yang jauh dari kesan berselok-belok. Sulit disangkal bahwa karya ini dikerjakan berdasar disiplin desain.
Putrayasa menata benda-benda simbolik sedemikian hingga tampak tertib dan rapi, sebagaimana seorang komandan kompi mengatur baris para prajuritnya. Belasan lipstik dengan formasi segi tiga berdiri rapi dalam rack transparan, kecuali menyisakan satu buah di luarnya.
Rack, sebatang stick dan belasan lipstik warna hijau berpadu keemasan, tampak kontras dengan permukaan meja warna gelap. Apa yang tampak kontras itu merangsang kepekaan kita dalam melihat tentang bagaimana ketertiban susunan benda-benda dalam tata ruang modernitas ternyata berlangsung tanpa rasa puisi.
Sementara itu, bentuk persegi panjang pada meja biliar menyarankan sebuah imajinasi kehidupan yang matematis. Seperti halnya persegi panjang yang memiliki kejelasan: semua sisinya bisa diukur dan dipastikan. Di situlah, sang perupa menempatkan bentuk dan isi karya sedemikian penting. Dengan kata lain, meja biliar (yang berbentuk persegi panjang) adalah pernyataan tentang pengetahuan game yang memiliki kejelasan bagaimana dan ke mana arah permainan hendak dicapai.
Pada meja biliar itulah permainan dipertaruhkan dan dipastikan kiblatnya demi sebuah kemenangan. Adalah kiblat yang memiliki satu arah yang jelas. Dan pada arah itulah permainan bergantung: segenap taktik dan siasat musti mengalir licin sebagaimana kelicinan bidang permukaan meja biliar.
Karya Putrayasa adalah subversi terhadap keserbalimpahan dan juga kesewenang-wenangan benda-benda simbolik yang mengepung kehidupan mutakhir kita. Dengan segera, kita bisa mengatakan bahwa itulah panggung pencitraan, tempat di mana solek-molek, gebyar, mewah, glamour dan popularitas dipentaskan. Bukankah dalam masyarakat kontemporer, ihwal itu dianggap penting dan dirayakan?
Realitas dunia yang dibangun dengan polesan dan kemasan seolah dihayati sebagai realitas yang sesungguhnya. Padahal bisa jadi itu kehidupan yang semu, bukan? Yang palsu seakan menjadi nyata, yang bohong bisa menjadi benar, yang manipulatif tampak jujur, dan yang kejam terlihat humanistik. Di panggung pencitraan, orang-orang dimungkinkan menyusun kebohongan agar bisa membangun kebenaran atas kebohongannya.
Warring Images mengandung dua segi. Segi yang satu, di atas meja biliar itu adalah sekian simbol saling bertautan: permukaan meja yang licin, belasan lipstik berwarna hijau, sebatang stick, rack, tulisan hyperrealism, ikat-mengikat membentuk citra tentang sesuatu yang ideal dan sempurna.
Segi lainnya adalah bayangan lipstik yang memantul pada permukaan meja yang mengkilap. Ia adalah bayangan atau pantulan dari realitas. Apa yang nyata dan yang bayangan itu tampil pada ruang dan waktu yang sama. Maka dalam imajinasi, meja biliar menjelma panggung simulakra: kita berada di tengah silang-sengkarut antara realitas dan bayangan realitas. Antara yang asli dan yang palsu berbaur di situ.
Kedua segi itu merupakan tafsir perihal dunia citraan yang dikonstruksi kapitalisme digital. Pencitraan berkelindan dalam campur aduk antara realitas kongkret dan bayangan. Barangkali orang-orang akan memperoleh kesulitan besar membedakan kebenaran dan kepalsuan. Kita kadung hidup dalam kenyataan fantasmagoria yakni berada di tengah berbaurnya kenyataan dan khayalan.
Di zaman ini, apa yang dianggap sebagai kebenaran menjadi sesuatu yang tidak hadir dengan sendirinya. Bersamaan dengan proyek imagologi dalam masyarakat informasi, dunia makin susah dipahami dengan lugu, terutama semenjak lingkungan hidup kita kian diterjemahkan oleh teknologi internet. Tak bisa dipungkiri, kita telah tiba pada gelombang baru, Lyotard menyebutnya sebagai era posmodern atau pascamodern. Era di mana masyarakat kontemporer kini hidup dalam hiper-realitas seperti digambarkan Jean Baudrillard.
Realitas adalah tata yang goyah, digantikan oleh hiper-realitas: sebuah realitas tidak lebih penting ketimbang representasi (gambaran) realitas. Realitas telah runtuh, semenjak diambil alih oleh rekayasa virtual. Realitas fisik dan pengalaman nyata kita tertindih oleh timbunan citra dan simbol yang direproduksi dalam media digital dan periklanan dalam budaya konsumer.
Dalam ruang hiper-realitas itu, banyak orang tak lagi memiliki kesanggupan membedakan apa yang nyata dan apa yang fantasi, mana yang real life dan mana yang cyber life. Kebenaran, kebohongan, keaslian, kepalsuan, fakta dan fiksi sangat sulit dibedakan. Rekayasa model-model citraan itulah yang dirayakan dan dipertontonkan di masa kini. Guy Debord menyebut fenomena itu sebagai Society of the Spectacle atau “masyarakat tontonan” dalam budaya konsumer.
Menunjuk sebuah relasi sosial yang dimediasi oleh citraan. Tontonan dan citra, merupakan dua sisi pada satu keping mata uang yang sama. Kelas sosial, status dan gaya hidup setiap orang dalam relasi sosialnya akan dipertontonkan lewat berbagai media digital seperti Facebook, Instagram, TikTok, WhatsApp, Line, Twitter, Youtube dan sejenisnya. Pada media pencitraan itu, pengguna jadi penonton sekaligus orang yang mempertontonkannya. Di situlah drama sosial berlangsung dengan gemilang.
Begitulah, Putrayasa mendedahkan ide dasar yakni tentang sebuah jaman yang mengelu-elukan pencitraan: sejenis ritus global yang dirayakan dengan sambutan bersemangat.
Ledakan pencitraan melanda di mana-mana, seolah wajar bila kehidupan menghendaki laku bergula-gula dan genit sebagaimana polesan lipstik. Terlanjur percaya bahwasanya eksistensi seseorang hanya mungkin ditemukan dalam kompetisi yang dipertontonkan melalui berbagai media pencitran.
Seseorang akan melakukan apa pun demi memperoleh validasi dan kesan baik dalam pandangan umum. Lihatlah, para politisi kenes sedang berjoget norak, laku genit masuk comberan got-got kota yang mampet, atau makan di warteg sambil tebar senyum. Ah, lalu apa istimewanya? Tapi dewasa ini politik kian semirip pasar, ia bisa mengandung kepalsuan, bukan? Dunia tampak ganjil, tak berarti apa-apa kecuali melorot sekadar menjadi gosip visual.
Bisa jadi inilah sebabnya, ketika manusia menjadi komoditas maka ia mendapati sesuatu yang bukan dirinya. Manusia yang bukan lagi mahluk unik dan tak tergantikan. Keberadaannya sekadar instrumen yang dipatok dengan harga dan simbol. Status dan prestise dikukuhkan lewat gaya hidup. Tampilan gaya yang bukan bernilai pada dirinya sendiri tapi di mata orang lain memberi kesan eksklusif.
Pada sekawanan orang, yang tak sempat diam, dengan mudah digiring memasuki medan perburuan di dalam belantara citraan itu. Pada ihwal yang lebih luas, kita tak lagi peka untuk bertanya-tanya bagaimana makna kehadiran barang atau benda dalam peristiwa keseharian di masa kini? Lalu apa beda manusia dengan lipstik, dan sehargakah?
Mungkin kita bisa mengatakan bahwa perang pencitraan pada akhirnya telah mengubah peta hidup. Seakan dunia ini menjelma menjadi mal besar, yang di dalamnya dipenuhi etalase jagat konsumsi. Berpindah dari hasrat ke hasrat berikutnya, dari etalase satu ke etalase yang lain. Di dalamnya mengalir sensasi belanja tiada batas. Tempat di mana segala hasrat konsumsi dirayakan demi memburu kepuasan tiada henti. Berpuas-puas dari satu hasrat ke hasrat yang lain, tak lain bernikmat-nikmat dalam permainan tiada akhir. Dan tenggelamlah dalam lautan ketidak-sadaran.
Di hadapan kita, dunia seakan tampil bersolek sebagaimana lingkungan indah yang mempesona. Lipstik-lipstik Putrayasa itu hidup sebagai benda-benda yang menghuni alam bawah sadar kita. Bisa jadi kita terpesona, hanya karena tidak memahami bahwa betapa kesadaran kita ternyata telah tenggelam dalam gelap kabut.
Memang pesonanya tampil dengan daya pukau yang kuat, meski sebenarnya bisa saja susut, persis seperti lipstik yang tampak meleleh pada karya Putrayasa. Pada gilirannya, akan surut pelan-pelan hingg hilang tanpa bekas. Saat itulah manusia dan dunia kembali pada wajahnya yang telanjang.
Tak aneh rasanya bila manusia di zaman ini hidup digoda oleh permainan yang diciptakannya sendiri. Bukan pada akhir permainan yang terpenting, tapi pada proses tiada henti dalam mencapai puncak kepuasan hasrat permainan. Jaques Lacan menyebut dengan istilah jouissance, kepuasan yang bersifat paradoks: rasa senang dan rasa sakit bercampur-baur dan kabur.
Puncak rasa senang diperoleh bersama rasa sakit atau derita. Hal ini terjadi dalam dunia pencitraan. Personifikasi tentang yang sempurna (perfeksionis) dikibarkan dan dinyatakan di mana-mana. Meski untuk itu harus dibayar mahal, yakni psikologi kecemasan sebagai resikonya. Cemas, karena takut diri tidak eksis. Tapi bersamaan dengan itu, rasa puas yang diperoleh justru dengan cara menikmati tegangan demi tegangan kecemasan dalam ketidak-berselesaian tujuan.
Jouissance pada level yang ekstrem akan membangkitkan adiksi: kecanduan yang tak menemukan jalan akhir. Tak ada puncak kepuasan hasrat yang stabil, tapi berulang dalam gerak tak henti. Masih herankah kita jika melihat, misalnya, politik citra dalam drama politik yang berulang dalam lima tahunan itu?
Citra politik berjalan-jalan dalam kekosongan makna, tapi Jouissance terus-menerus berlangsung, dan makin meninggi saat menjelang pemilu. Pun demikian juga terjadi dalam peristiwa sosial-budaya kita, yang kini makin diasuh oleh media digital. Maka pada meja biliar itu, kita bisa membayangkan berkumpulannya hasrat jouissance dalam permaianan tiada akhir. Tak lain demi meladeni hasrat permainan itu sendiri. Permainan suka-cita yang abadi dan menyala-nyala
Lalu, mengapa bukan lipstik merah menyala? Pilihan lipstik berwarna hijau bagi Putrayasa mengingatkan simbolisme dalam dunia farmasi. Logo berupa bulatan warna hijau pada kemasan obat menyiratkan bahwa obat jenis tertentu boleh diperdagangkan bebas di apotek. Tentu tak perlu resep dokter, karena aman dikonsumsi.
Dan, apa yang tengah berlangsung sebenarnya? Mungkin sekali dalam konteks itu Putrayasa menyodorkan sebuah satire. Mengejek kehidupan kontras, tidakkah di balik segala yang tampak aman dan permisif itu bersembunyi sesuatu yang mengancam di sana? Perang pencitraan, tanpa disadari, pelan-pelan telah melumpuhkan sisi-sisi manusiawi. Pesona yang membuat manusia kehilangan otentisitasnya.
Ini juga yang menjadi bagian menarik: sebatang stick di atas meja biliar tampak dimainkan dua wanita cantik secara bergantian. Tongkat penyodok itu sebagaimana layaknya senjata dalam peperangan. Kemahiran dalam penggunaannya akan menentukan akhir kemenangan.
Pada karya Putrayasa, kita bisa mendapat pengetahuan bahwa perang pencitraan tak lain bersangkut paut dengan perebutan kuasa hegemoni: pemain yang unggul akan menguasai reproduksi citra. Mereka berdua adalah penggambaran korporasi global, pusat pengontrol, pengendali dan pembentuk kenyataan dunia di masa kini. Korporasi global adalah majikan “cantik” bagi gerak-gerik dunia kontemporer.
Begitulah, Warring Images bertaut dengan asumsi bagaimana masyarakat konsumer dipermak dengan berbagai impian zaman. Lebih tajam lagi, modernisme adalah sebuah “open ended”, selesai tapi tak berakhir: ia membawa mitos dan takhayulnya sendiri.
Karl Marx menggambarkan dengan tajam ketika ia bicara bagaimana komoditas menjadi jimat. Ia menyebut sebagai fetish: sesuatu yang sebenarnya bukan apa-apa tapi dibikin dan dianggap begitu hebat. Meyakini bahwa sesuatu itu memiliki nilai inheren pada dirinya sendiri, padahal nilai itu kita yang ciptakan. Sesuatu yang seakan memiliki daya pesona, yang sesungguhnya tidak, tapi kita terpesona. Benda-benda komoditas dipingit oleh sejenis kultus dan keramat, lantas dipuja. Bisa jadi jimat oleh niat dan laku yang takhayul.
Mistifikasi menenggelamkan manusia ke dalamkesadaran palsu. Sejarah peradaban mungkin saja bisa berulang. Masyarakat kontemporer menemukan kembali kepercayaan dinamisme dalam wajahnya yang baru. Kembali merayakan sistem kepercayaan masyarakat prasejarah: pemujaan kepada benda-benda yang dianggap memiliki tuah—meski itu delusi yang diciptakannya sendiri. Hidup jatuh dan bangun oleh bujuk rayu, kita gampang dikunyah-kunyah kuasa citraan sebagaimana halnya kehidupan bergincu pada karya seni sang perupaitu.
Dan karpet merah menjadi alas meja biliar itu seakan memangil-mangil, mempersilakan kita untuk memasuki dunia rekaan Putrayasa dengan kesadaran apresiasi. Merenung-renung apakah kita telah terlempar di sebuah daratan asing?
Sanggupkah kita merasakan tubuh dan pikiran kita berada dalam situasi “out of place“ dalam dinamika masyarakat kontemporer? Berada dalam situasi yang demikian, di manakah posisi sang perupa sebenarnya?
Dia memandang seni sebagai usaha untuk mengingatkan kembali apa yang hilang, yang tak tertangkap oleh mata dan pikiran banyak orang. Yakni, ketika di zaman kini manusia dijebak oleh permaian hasratnya sendiri. Begitulah Putrayasa dalam karyanya.[T]
Denpasar, November 2023