WACANA moderasi beragama digulirkan oleh pemerintah untuk menghindari berbagai potensi gesekan antaragama yang kerap terjadi di Indonesia. Ironisnya, ketika program ini menggelinding, masyarakat Bali yang sebagian besar beragama Hindu justru menghadapi tantangan internal. Ada sejumlah aliran yang kontroversial karena dianggap tidak sesuai dengan kultur budaya Bali dan pengikutnya tetap mempertahankan corak asalnya: India.
Di wilayah akar rumput, polarisasi ini ternyata berakibat pada kecenderungan untuk melihat Bali sebagai wilayah yang tertutup, otentik, dan muasal dari berbagai peradaban. Sisi positifnya memang ada karena situasi ini menyebabkan mereka lebih giat mendalami akar literasi Bali.
Akan tetapi, yang perlu diwaspadai adalah klaim membabi buta yang cenderung fanatik Bali, seperti bahasa Sanskerta ditafsir dari Bali, puja mantra dari tanah Dewata, pusat agama Hindu di Pulau Surga, dan yang lainnya. Hal ini jelas memunggungi perjalanan sejarah Bali yang sangat panjang. Untuk mebuktikan betapa terbukanya Bali terhadap pengaruh luar khususnya India, baik pada tataran orang maupun aliran keyakinan, mari simak paparan Geguritan Bali Tattwa.
Karya ini ditulis oleh Ida Putu Maron, seorang intelektual-spiritual Bali dari Usadhi Nagari (Ubud). Geguritan Bali Tattwa membentangkan sejarah Bali sejak kedatangan Resi Markandya hingga pergolakan politik Bali abad ke-19. Karena begitu panjang, kita coba cukil bagian perjalanan Aji Saka yang bermigrasi dari India ke Jawa lalu ke Bali.
Aji Saka berasal daerah Surati, Negeri Bharata Warsa (India). Ia adalah seseorang yang bijaksana dan selalu memegang kebenaran. Ketika muda, ia bernama Sang Sangkala atau Sang Jaka Sangkala. Ia adalah putra dari Mpu Anganjali. Atas perintah Hyang Jagatnatha (Shiwa), Sang Sangkala akhirnya berangkat menuju Pulau Jawa.
Banyak penduduk dan pendeta yang mengikuti perjalanannya untuk mendirikan kerajaan di Jawa Tengah, tepatnya di Medang Kamulan atau Medang Kahyangan. Setelah berhasil mendirikan kerajaan, ia kemudian dinobatkan menjadi raja dengan gelar Prabhu Aji Saka. Ia adalah raja pertama dari Negeri Indu (India) yang memerintah di tanah Jawa (Pupuh Sinom I: 56-57).
Sejak pemerintahan Prabhu Aji Saka, penggunaan perhitungan waktu (sasih) dan tahun saka (śaka) mulai diterapkan. Karena kebijaksanaannya, seluruh penduduk diperintahkan untuk mempelajari berbagai pengetahuan dan sastra yang disebut dengan Sastra Medang. Bentuk aksaranya sama seperti prasasti tembaga. Akan tetapi, saat ini bentuknya sudah berubah seperti aksara Jawa dan Bali.
Pada masa pemerintahan Prabhu Aji Saka, masyarakat juga diajari pengetahuan kebahasaan terutama bhasa bhasita dan tata krama kehidupan. Ia juga membuat tata aturan dunia, terutama Phalakreta, Awig, Simadesi, Subak, sarana persembahan di pura, berbagai perlengkapan upacara agama, yang semuanya diperhitungkan.
Penduduk India dan Jawa merasakan kebahagiaan karena kedua golongan tersebut memiliki pemimpin yang utama. Prabhu Aji Saka juga tidak pilih kasih sehingga pantas disebut sebagai ayah dan ibunya dunia (bhapebhu ning rāt). Banyak bangunan yang meniru langgam India. Hingga saat ini masih banyak cirinya (Pupuh Sinom I: 58-65).
Setelah sebelas tahun Prabhu Aji Saka bertahta, ada tanda berupa cahaya yang muncul di kaki Gunung Agung. Cahaya itu disebut dengan Salodaka. Pada saat yang bersamaan, ada sabda yang diturunkan oleh Hyang Siwa. Prabhu Aji Saka diperintahkan untuk membangun pura besar di Bhasukih, tempat pendaman panca dhatu yang sebelumnya dilakukan oleh Resi Markandya.
Kahyangan Desa yang sudah ada di sana kemudian diubah menjadi Kahyangan Gumi untuk seluruh masyarakat Bali. Seluruh pengerjaan bangunan di pura itu diawasi oleh ahli agama. Panduan sastra yang digunakan juga jelas yaitu Asta Kosali, Asta Kosala, dan Swakarma (Pupuh Sinom I, 66-68).
Sejak saat itu pula, masyarakat Bali Aga diajari berbagai pengetahuan seperti membaca dan menulis, sastra Medang, tata bahasa, tata cara mengolah perunggu, ketahanan negara, tata aturan desa dan tata kelola air. Akan tetapi, hal-hal yang berkaitan dengan pura dan pemujaan kepada Hyang Widhi tidak diajarkan lagi karena sudah menjadi bagian dari agama Brahmi. Bagian dari agama Brahmi yang dimaksud adalah Sambu, Brahma, Indra, Kala, Bayu, dan Sambu. Secara keseluruhan berbagai aliran yang dianut warga Bali itu disebut dengan Sad Agama (Pupuh Sinom, 69-70).
Ajaran dari enam aliran ini tidak terlalu jauh berbeda karena memang merupakan cabang dari agama Brahma. Berikut ini akan diuraikan satu per satu identitas aliran tersebut sesuai dengan keunggulannya. Sesungguhnya meskipun terdapat perbedaan, ke enam aliran tersebut sesungguhnya berasal dari yang tunggal dan akan kembali ke yang tunggal pula.
Pertama, Gama Sambu itu cirinya adalah menyembah arca dan ketika penganutnya meninggal dunia, mereka menggunakan air rendaman ketan sebagai sarana untuk menyucikan jenazah. Setelah dibersihkan, jenazah lalu diletakkan di tempat yang bagus.
Kedua, Gama Brahma, cirinya adalah menyembah Siwa Agni atau Siwa Raditya. Setelah meninggal dunia, jenazah penganut agama Brahma akan dimandikan dengan air daun delima. Setelah selesai dimandikan, jenazah akan dibakar di api.
Ketiga, agama Indra, cirinya adalah menyembah Hyang Siwa Giri atau Siwa Mrĕtta atau Candra. Pada saat meninggal dunia, jenazah penganut aliran ini akan disucikan menggunakan air beras, selanjutnya dikubur atau diletakkan jenazahnya di jurang atau gua.
Keempat, Gama Kala yang cirinya menyembah segala yang menakutkan, seperti pohon atau batu besar. Pada saat meninggal dunia, jenazah para pengikut aliran ini akan disucikan dengan air daun bekul. Setelah bersih, mayatnya lalu dijadikan makanan binatang buas.
Kelima, Gama Bayu yang cirinya adalah menyembah Siwa Nirmala Hening, Maruta, dan Bintang. Pada saat meninggal dunia, jenazah para pengikut aliran ini dibersihkan menggunakan air jawuh. Setelah itu, mayatnya dikubur di kuburan atau di samping gunung.
Keenam, Gama Wisnu yang cirinya adalah menyembah Siwa Pawitra Hening. Ketika meninggal dunia, pengikut aliran ini akan disucikan menggunakan sarana air bunga. Setelah itu, mayatnya dihanyut di sungai (Pupuh Sinom I: 71-79).
Demikianlah kenyataan enam aliran yang pernah dilakoni di Bali. Meskipun terdapat perbedaan, sesungguhnya tujuannya adalah bakti kepada Tuhan khususnya Shiwa dalam berbagai manifestasinya. Sesuai dengan sabda Bhatara Shiwa Aditya kepada Bhagawan Byasa, bahwa persembahan yang utama kepada para dewata adalah rasa bakti dan welas asih (satya bhakti ring kami), serta budi yang hening (mahninga buddhinta).
Dari berbagai aliran yang diceritakan dalam Geguritan Bali Tattwa itu, masyarakat Bali sejatinya tidak arlergi terhadap aliran keyakinan sepanjang aliran tersebut sesuai dengan ruang tempatnya mengalir. Sama seperti fitrah air, ia akan memiliki warna sama dengan tempat yang dilalui atau digenanginya. Ada kalanya juga aliran itu akan bergabung dengan aliran lain yang arusnya lebih kuat dan deras. Bahkan, dalam sejarahnya aliran itu juga tampak mengalami pasang, surut, dan mongering lalu hilang.
Pada suatu zaman, banyak orang yang meyakini suatu aliran mendekatkan penganutnya pada Tuhan, tetapi pada zaman berbeda yang terjadi bisa saja sebaliknya. Terlebih, apabila aliran-aliran tersebut telah kehilangan kejernihannya untuk mengantarkan pengikutnya untuk sampai pada samudra kesadaran Ketuhanan. Siapa lagi yang mencemari aliran itu selain tokoh-tokohnya sendiri.
Para pencemar alir aliran itu barangkali lupa, tugasnya bukanlah mencari orang untuk menikmati aliran, tetapi memperlancar aliran agar semakin cepat bisa bersatu dengan laut yang Mahaluas. Di laut itu, ia tak lagi membedakan dirinya dengan yang lain. Di laut kesadaran, ia bebas dari dirinya.[T]
- Klik untuk BACA artikel lain dari penulis PUTU EKA GUNA YASA