SEMINAR NASIONAL bertajuk “Sastra Nitya Rupa: Sastra Jawa Kuna Melintasi Ruang dan Masa” menjadi sajian pamungkas Pekan Sastra Jawa Kuna serangkaian HUT ke-65 Program Studi (Prodi) Sastra Jawa Kuna Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana (FIB Unud) dan HUT ke-13 Himpunan Mahasiswa Prodi Sastra Jawa Kuna FIB Unud. Seminar itu dilaksanakan secara hybrid—online-offline—di Ruang Soekarno Gedung Poerbatjaraka FIB Unud, Denpasar.
Seminar “Sastra Nitya Rupa” secara khusus dihadirkan untuk membuka ruang potensi dan aksi-aksi alih wahana dari khazanah sastra Jawa Kuna. Pada kesempatan tersebut dihadirkan Dewa Gede Purwita Sukahet dan Indra Suroinggeno sebagai pembicara. Keduanya adalah tokh yang lekat memanfaatkan sastra Jawa Kuna sebagai medium kreatif.
Dewa Purwita menyampaikan materi tentang “Adaptasi Narasi–Rupa”. Ia menyebut narasi berkaitan dengan sastra, sementara rupa terkait dengan karya visual. Beranjak dari sana, ia memiliki pemikiran awal bahwa ada pengaruh narasi terhadap seni rupa. Cerita yang bersumber dari karya sastra Jawa Kuna mempengaruhi karya rupa dan seni. “Laku kehidupan tidak lepas dari karya sastra Jawa Kuna,” katanya.
Ia mengatakan bahwa seniman pada masa lampau pun diduga tidak lepas dari karya sastra Jawa Kuna. Misalnya, Gusti Made Deblog memiliki lukisan yang sama banyaknya dengan lontar yang ia miliki. Narasi terhadap perwujudan atau karya rupa, melalui beberapa tahap seperti reduksi, simbolisasi, dan ikonografi. Reduksi adalah pemilahan adegan dengan menyarikan teks untuk menghadirkan suatu adegan yang bercerita atau fragmentasi.
Simbolisasi adalah pemaknaan ulang kata atau kalimat dan menjadikannya sebuah simbol yang terkonvensi. Sedangkan ikonografi adalah pengetahuan tentang atribut yang dipergunakan oleh figur berupa tipe mahkota, bentuk mata, hidung, mulut, model hiasan badan, dan kaki maupun lain-lainnya secara spesifik.
Dewa Gede Purwita Sukahet dan Indra Suroinggeno (di layar) saat menyampaikan materi / Foto: Dok. Panitia
Ia menyarankan untuk mempertahankan sastra Jawa Kuna, perlu gerakan yang bisa dilakukan berupa kolaborasi antara literasi, rupa, sastra, dan sebagainya. “Agar nilai sampai ke masyarakat, sastra Jawa Kuna perlu berdiri di banyak kaki, dalam arti lintas komunitas yang bersama-sama membangunnya,” kata dia. Menurutnya, sastra Jawa Kuna perlu mengembangkan lagi potensi-potensinya sehingga dapat meraih masa renaisans untuk Jawa Kuno.
Sementara itu, Trias Indra Setiawan, owner Museum Wayang Beber Sekartaji dan Sanggar Bhuana Alit—yang konsen pada pelestarian sastra Jawa, termasuk sastra Jawa Kuna—menginginkan kesusastraan ini merasuk pada relung-relung hati semua orang, khususnya bagi generasi Z. Salah satu acaranya, katanya, dengan memvisualisasikan sastra.
“Di dalam sastra selalu menjanjikan sebuah kedamaian, perubahan di dalam bentuk sastra hanya pada bentuknya saja, dasar sebuah sastra dan mahakarya lainnya adalah tentram, yang menjadi cita-cita kami, semoga dengan bangkitnya Jawa Kuna dari Bali ke Jawa dan Nusantara, bisa membawa ketentraman bagi kita semua,” tuturnya.
Bagi dia, cara untuk melestarikan Jawa Kuna adalah dimulai dengan mengenalkan Jawa Kuna sesuai porsi, misalnya pengenalan kepada anak-anak tentu akan berbeda dengan kalangan lain. Ia juga berharap, melalui Dinas Kebudayaan, Pariwisata, dan Pendidikan, pemerintah dapat juga bersatu untuk membangkitkan kearifan lokal Nusantara, khususnya yang berhubungan dengan Jawa Kuno.
Mempopulerkan Sastra Jawa Kuna
Ketua Panitia HUT ke-65 Prodi Sastra Jawa Kuna FIB Unud, I Ketut Eriadi Ariana, S.S., M.Hum., mengatakan bahwa dengan mengambil momentum hari jadi itu, pihaknya berupaya untuk mempopulerkan kembali sastra tradisional yang diduga telah ada sejak abad ke-9 itu.
“Kami berupaya mengunduh kesusastraan Jawa Kuna ke kehidupan yang lebih nyata dan bermanfaat. Selama sepekan dilaksanakan, Pekan Sastra Jawa Kuna dirangkaikan dengan kegiatan dari Minggu (5/11) sampai Jumat (10/11) ini, yakni Punia Bakti, konservasi lontar, penilaian dan perlombaan Lomba Apresiasi Kakawin, gelar film berbasis Jawa Kuna, bincang alih wahana sastra Jawa Kuna ke sastra modern, serta puncak HUT dan seminar nasional,” terangnya, sembari berahap sastra Jawa Kuna dapat mengalir sampai jauh.
Koordinator Program Studi Sastra Jawa Kuna, Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum menyebut momen peringatan HUT yang digelar bersamaan dengan hari pahlawan, memiliki nilai penting. Momen ini jadi penghormatan untuk para pahlawan, termasuk juga pahlawan-pahlawan budaya.
Suasana seminar “Sastra Nitya Rupa: Sastra Jawa Kuna Melintasi Ruang dan Masa” / Foto: Dok. Panitia
Prodi Jawa Kuna, katanya, sangat terkait dengan kebudayaan. Mengingat kembali pada awal pendirian Fakultas Sastra pada tahun 1958, Poerbatjaraka menyampaikan bahwa Bali menjadi tempat penyimpanan sastra dan budaya lama, termasuk Jawa Kuna, sehingga hal itu menjadi peran prodi untuk mengemban misi penting itu.
Dikatakan, pada usia 65 tahun ini merupakan sebuah momen untuk merefleksikan diri sebagai bagian dari Indonesia. Hal ini terkait pula untuk memegang teguh pilar kebangsaan, salah satunya bhineka tunggal ika yang diambil dari Kakawin Sutasoma.
Ideologi yang ditampilkan dalam penampilan kakawin itu, menunjukkan bangsa ini adalah bangsa yang multikultural. “Jawa Kuna memang dilestarikan dan diteruskan di Bali tapi tidak hanya milik Bali, namun milik seluruh Indonesia yang bisa diapresiasi oleh siapapun dengan cara apapun,” ujar Suarka.
Istilah kuno itu bagi dia hanya sebutan, namun substansi dan semangatnya itu adalah sesuatu universal. Dalam melakukan penguatan sastra Jawa Kuna, ia menyebut pihak-pihak harus saling bergandengan, salah satunya dengan teknologi informasi untuk mengemasnya secara kekinian, lalu bergandengan dengan ekonomi kreatif.
Sementara itu, Wakil Dekan I FIB Unud, Dr. I Gede Oeinada berharap, Prodi Jawa Kuna bisa jadi rumah bagi siapa saja, dan bisa memfasilitasi pengembangan bakat dan minat mahasiswa, serta bisa mengimplementasikan cita-cita pendirian fakultas.[T]