TAK lama lagi, Indonesia melaksanakan hajatan besar negara tiap lima tahunan, yaitu Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilihan Umum di Indonesia selalu memiliki sejarah pada tiap periodesasinya. Hajatan besar lima tahunan ini, selalu saja diiringi dengan gegap gempita tim sukses, calon legislatif, maupun calon presiden wakil presiden. Meskipun hiruk pikuk Pemilu selalu menarik untuk dibahas, tapi pada kesempatan ini penulis akan menyoroti deviasi anak muda dalam pesta demokrasi tersebut.
Generasi muda merupakan pilar penting dalam perkembangan dan kemajuan sebuah bangsa. Mereka dianggap sebagai agen perubahan yang memiliki potensi untuk membawa inovasi dan pembaruan. Namun, di sisi lain, fenomena golput (golongan putih) atau abstain dalam pemilihan umum sering kali melibatkan generasi muda. Golput menjadi sebuah isu yang serius karena mengindikasikan adanya ketidakpercayaan atau apatisme politik di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda.
Sikap Apatisme
Banyak kalangan generasi muda yang memilih untuk golput karena merasa tidak ada calon yang mewakili aspirasi mereka atau karena ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang ada. Sikap apatisme ini bisa menjadi ancaman bagi demokrasi karena partisipasi politik yang rendah dapat mengurangi legitimasi dari sistem demokrasi itu sendiri.
Sikap tidak percaya pada system politik didapatkan oleh mereka dari hasil diskusi dan hasil terpaan media. Banyak diantara mereka yang masih illiterate , yang pada akhirnya termakan isu hoaks dan ajakan untuk apatis terhadap kondisi negara. Generasi muda banyak dialihkan pada isu-isu yang bersifat entertain dan dilupakan pada hal-hal serius seperti misalnya terkait dengan politik.
Politik sebenarnya bukan momok yang harus dihindari, namun banyaknya hidangan berita yang menayangkan kriminalisasi dan kasus hukum yang khas bau politik menjadikan isu politik berubah menyeramkan. Sebagai contoh adalah penangkapan anggota masyarakat yang dianggap menyalahgunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), hanya karena postingan di media social mereka dianggap mencemarkan nama baik seseorang. Hal ini menyebakan anak muda, kembali malu-malu untuk bersuara karena takut masuk bui.
Selain itu, banyaknya kasus korupsi oleh pejabat public maupun tokoh politik yang diberitakan media juga menyebabkan anak muda semakin tidak percaya dengan figure legislative. Mereka menganggap bahwa kekuasaan yang dilanggengkan melalui Pemilu hanya akan menciptakan manusia manusia yang lupa diri dan tamak pada kekayaan negara.
Kondisi diatas menjadi salah satu alarm dari beberapa pihak untuk segera mengambil tindakan prefentif maupun kuratif. Tindakan yang paling mungkin dilakukan adalah dengan preventif yaitu melakukan literasi digital sekaligus edukasi politik. Kedua hal ini harus sinergi, agar anak muda yang sudah melek media digital mau dan mampu berperan aktif pada dunia perpolitikan di Indonesia.
Pentingnya Edukasi Politik dan Literasi Digital
Untuk mengatasi fenomena golput di kalangan generasi muda, edukasi politik menjadi sangat penting. Pendidikan politik yang baik dapat membantu generasi muda untuk memahami pentingnya berpartisipasi dalam pemilihan umum dan bagaimana suara mereka dapat mempengaruhi arah kebijakan pemerintah.
Edukasi politik dapat dilakukan dengan memberikan wawasan kebangsaan pada generasi muda. Program ini dapat dilakukan dengan sasaran anak anak sekolah. Tiap sekolah setidaknya memiliki satu program untuk memberikan informasi dan sosialisasi terkait dengan politik yang bersih dan bagaimana mengurangi dan atau menghilangkan politik uang.
Selain itu, generasi muda juga perlu untuk diberikan pelatihan terkait dengan literasi digital, yaitu bagaimana lebih bijak dalam mempergunakan media baru. Ukuran kecakapan literasi digital ini adalah jika mereka bisa mencari informasi yang benar, menyusun pesan, menganalisis serta menyampaikan informasi kembali dengan baik dan benar. Menurut Priambodo (2019) analisis merupakan kemampuan yang dapat membantu seseorang dalam menjelaskan bentuk pesan, struktur, segmen, dampak pesan, dan lainnya. analisis juga berkaitan dengan kemampuan untuk mengubah, mencari, dan memilih informasi yang telah disesuaikan dengan kebutuhan individu (Priambodo, 2019).
Urgensi melek politik bagi Anak Muda
Anak muda adalah aset sumber daya manusia yang penting bagi pembangunan, meskipun secara psikologis mereka masih labil. Menurut Isni et al. (2018) anak muda memiliki karakteristik cenderung mengambil keputusan tanpa memikirkannya secara matang. Hal inilah yang mendasari banyaknya pemberdayaan yang dilakukan untuk kelompok usia remaja agar terhindar dari perilaku negatif.
Generasi muda memiliki peran vital dalam menentukan masa depan bangsa. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk tidak golput dan turut serta dalam proses demokrasi. Pendidikan politik yang baik dan penciptaan lingkungan politik yang kondusif dapat mendorong partisipasi politik dari generasi muda, sehingga mereka dapat berkontribusi secara aktif dalam pembangunan bangsa. [T]