“Saat tujuan telah tercapai, hendaknya politik disudahi. Melayani harus dimulai.”
SALAH satu penyebab mengapa politik di Indonesia distigma buruk adalah, politik tak pernah mau berhenti meski tujuan telah tercapai. Maka, saat seseorang telah terpilih menjadi bupati, gubernur, presiden, anggota DPR atau anggota DPRD misalnya, seharusnya yang bersangkutan berhenti dulu berpolitik dan mulai melayani semua rakyat yang dipimpin atau diwakilinya.
Tentu saja tidak semua demikian. Namun dapat disebut masih sangat banyak yang seperti itu. Keasyikan berpolitik sudah pasti membuat politisi lupa melaksanakan kewajibannya melayani masyarakat, sementara pada saat yang bersamaan yang bersangkutan telah menerima hak, fasilitas dan kewenangan yang cukup besar. Seakan-akan tujuannya tak pernah tercapai. Maka setiap strategi dan siasatnya adalah demi kepentingan pribadi atau kelompok. Bukan untuk kepentingan rakyat, yang seharusnya.
Satu satire sangat sinis namun tentu saja lucu yang saat ini hadir dalam keseharian kita berbunyi begini, “ Teruslah berbuat baik, hingga orang-orang mengira kamu nyaleg!”
Hahaha, betapa skeptis warga menilai politisi yang dianggap hanya baik ketika ingin dipilih pada saat pemilu atau pilkada. Kebaikan, secara kontradiktif telah disemati sebuah kejahatan yang terselubung. Ini sebuah fenomena yang merisaukan. Para politisi mesti menyadari hal ini dan harus bertanggung jawab untuk ikut mengembalikan kebaikan pada kebaikan, bukan sebaliknya. Satu stigma lain politik tanah air, manuver jahat memutarbalikkan kebaikan dengan kejahatan, etik dengan kesembronoan, kepongahan dan seterusnya.
Namun kita juga sering lupa, menganggap politisi itu cuma para caleg atau calon bupati semata. Jika dikembalikan pada etimologi politik yang bermakna praktis adalah cara mengatur atau strategi untuk mencapai sebuah tujuan, maka kita semua adalah politisi. Justru merupakan politisi dalam arti yang paling substansial.
Dan harus diakui, kita sebagai “politisi” pun telah ikut menyumbang pada rusaknya tatanan masayarakat maupun pemerintahan saat ini. Seorang dokter seperti saya, saat membuat postingan tentang pelayanan medis di klinik saya, klinik Sahabat, sudah pasti itu politik. Yang bertujuan adalah, agar orang sakit di Singaraja memilih klinik Sahabat untuk berkonsultasi dan berobat.
Nah saat pasien datang berobat ke klinik Sahabat, maka kami tidak boleh lagi berpolitik. Namun sudah saatnya melayani. Melayani dalam hal ini memiliki makna memuliakan pasien. Pasien wajib diberikan pelayanan terbaik, terjangkau dan segala hal lain yang baik-baik. Keramahan, motivasi dan tentu saja rasa nyaman. Jika terus berpolitik, maka yang terjadi adalah, pasien yang sakitnya cuma satu, penyakitnya akan bisa “bertambah” menjadi dua atau tiga. Jika obatnya sesuai indikasi cuma perlu satu akan bisa menjadi dua, tiga atau lebih.
Saat seorang anak muda mengunggah foto ganteng atau video kerennya saat bermain gitar sambil bernyanyi, apalagi memakai bandana dan kalung, anting dan tindik di sana-sini, itu jelas politik. Politik agar banyak cewek yang mengaguminya, memberi like dan komen, dan yang terpenting mengirim pesan rahasia melalui inbox.
Dan singkat cerita, saat salah satu dari gadis-gadis itu kepincut dan terpilih menjadi pacarnya, maka sebaiknya lelaki itu berhenti berpolitik. Politik hanya akan membuat gadis malang itu menderita, karena saking cintanya kepada lelaki itu, ia telah menyerahkan segalanya, tubuhnya, materinya, sementara si cowok terus berpolitik mencari target yang lain.
Seharusnya, ketika tujuannya telah tercapai menggaet si gadis, cowok itu harus mulai melayaninya. Dengan lagu-lagu romantis, mungkin sesekali puisi tentang cinta. Memperlakukannya bak ratu dengan tutur kata yang halus dan prilaku yang mengesankan. Serta menjaga kesetiannya kepada ratu. Tanpa disadari, ia pun akan menjadi raja. Seorang raja yang dihormati bukan karena menaklukkan kerajaan lain, menakutkan rakyatnya atau beristri banyak. Namun seorang raja yang memuliakan ratu dan rakyatnya.
Ayo, mari ramai-ramai berpolitik dalam segala aspek kehidupan kita. Politik penting dan vital untuk meraih tujuan. Ia memicu kreatifitas dan inovasi yang tentu saja memerlukan kecerdasan dan latihan. Dan saat tujuan telah tercapai, pastikan pintu politik ditutup rapat-rapat, kita mulai melayani. Maka di sana politik akan menemukan hakikatnya, policy, kebijakan, kebijaksanaan. [T]
- Klik BACA untuk melihat esai dan cerpen dari penulis DOKTER PUTU ARYA NUGRAHA