PERNAHKAH kita membayangkan bagaimana kehidupan setelah kematian? Mungkin ketika kita ditanya tentang hal tersebut, pikiran kita akan mengawang pada sebuah suasana mencekam, tempat menunggu timbangan amal, penasaran, dan bertanya-tanya ‘neraka atau surgakah tempat kita akan menetap nantinya?’. Alam ini dalam agama saya biasa disebut sebagai alam “Barzakh”, namun tidak begitu dengan cerpen yang dibuat oleh A.A. Navis berjudul “Sebelum Pertemuan Dimulai”.
Ia memberikan gambaran mengenai alam barzakh sebagai tempat penantian yang lapang, suatu gambaran berbeda dengan yang dipercaya dalam agama saya. “Para tokoh dunia sering bersua-sua dan berbincang-bincang tentang masa lalu yang mereka alami di dunia,” ungkapnya, bahkan tidak terkecuali membuat pertemuan-pertemuan layaknya di dunia.
Salah satu dari banyaknya pertemuan di alam barzakh ini digagas oleh Mahatma Ghandi dengan tema “Damai di Dunia Damai” yang katanya selalu aktual dibicarakan di manapun dan kapanpun. Namun, saya menganggap tema Ghandi hanya aktual di alam barzakh saja, karena di bumi tema yang mungkin aktual adalah “Rusuh di Dunia Rusuh”.
Pertemuan itu dihadiri oleh banyak peserta, bahkan tidak disangka-sangka oleh Ghandi sebelumnya. “Sungguhpun demikian dia merasa takjub juga saat melihat banyak tokoh perang dan tokoh teroris yang hadir”, karena yang diundang olehnya adalah tokoh-tokoh pemenang dan calon pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, serta orang-orang yang pantas untuk hadir menurutnya.
Dalam pertemuan yang akan dimulai itu, hadirin yang telah lelah menunggu dimulainya diskusi mulai bertanya pada Ghandi, ‘kapan pertemuan akan dimulai?’. Oleh Ghandi dijawab bahwa dia sedang menunggu sekretaris, yakni Chairil Anwar. Mulailah dari sana para hadirin menginterupsi agar sekretaris diganti saja, diganti dengan orang yang pantas menurut mereka. Mulai dari salah satu peserta, yaitu Stalin mengajukan Martin Luther King karena memiliki kesamaan dengan Ghandi, sampai Hitler mengajukan bahwa sekretaris haruslah dari bangsa Arya, karena merupakan bangsa paling mulia di dunia.
Setelah Chairil datang, ternyata pertemuan itu tidak kunjung dimulai karena para peserta sibuk berdebat mengenai mekanisme dan tata cara pertemuan. Para peserta yang dominan merupakan tokoh-tokoh penting di dunia tidak mau mengalah dengan tokoh lainnya, bahkan di alam barzakh sekalipun. Untunghlah di alam barzakh tidak ada toko, terkhususnya toko peralatan perang. Kalau ada, mungkin alam barzakh telah disulap layaknya dunia.
Ketika penulis menyuguhkan nama Ghandi dalam cerpen ini, tergambar dalam pikiran saya seorang tokoh perdamaian, seorang tokoh kemerdekaan India, seorang tokoh dunia yang melakukan perlawanan tanpa kekerasan, seorang yang memperjuangkan perdamaian melalui demonstrasi damai.
Namun, dalam cerpen ini, Ghandi digambarkan sebagai sosok tidak berdaya, seorang pimpinan pertemuan yang tidak dapat melerai peserta pertemuan yang berbeda pendapat. Ketika peserta pertemuan tidak dapat menerima pendapat peserta lain yang berbeda pendapat dengannya. Bahkan, pertemuan ini tidak kunjung dimulai. Tokoh seperti Ghandi pun tidak dapat memulai pertemuan ketika pesertanya adalah orang-orang yang hanya mementingkan egonya sendiri tanpa menerima perbedaan pendapat.
Untung saja latar waktu dalam cerpen tersebut adalah alam barzakh, bukan dunia kita sekarang ini. Karena mungkin, ending cerpen tersebut ketika latar waktunya bumi hari ini, setidaknya akan terjadi kerusuhan dan baku hantam, kemungkinan terburuknya adalah peperangan. Seperti pernyataan Buya Syafii dalam menangkap realitas sejarah dalam buku Islam & Politik bahwa “Budaya baku hantam adalah fenomena yang tak terpisahkan dari historisitas umat manusia.”
Karena begitulah watak kebanyakan masyarakat di sekitar kita, setidaknya di sekitar saya. Jarang sekali yang dapat menerima perbedaan pendapat. Orang lain harus setuju dengan pendapatnya. Padahal jika dilihat, kebanyakan orang di sekitar saya bahkan mungkin semuanya beragama Islam, dan Islam adalah agama damai. Namun sayangnya, penganutnya tidak mencerminkan sisi damai dari Islam dalam hal menyikapi perbedaan. Terkhususnya perbedaan pendapat.
Akhir tahun 2021, viral di Lombok Timur, warga di salah satu desa menolak pembangunan masjid yang berafiliasi ke Wahabi. Hal itu berujung pada demonstrasi agar masjid tersebut tidak didirikan. Padahal, masjid tersebut telah dalam proses pembangunan. Maklum, di wilayah tersebut mayoritas warganya adalah penganut Ahlu Sunnah wal Jamaah. Namun, hal tersebut tentu tidak serta merta tidak memperbolehkan adanya pembangunan rumah ibadah yang memiliki perbedaan pandangan, apalagi masih dalam ruang lingkup Islam. Jika ditelisik lebih dalam, salah satu yang diajarkan dalam paham Ahlu Sunnah wal Jamaah adalah toleransi.
Padahal yang perlu dilakukan adalah mentolerenasi pendapat yang berbeda, sambil bersama-sama memajukan peradaban yang ditempati. Apalagi salah satu tujuan Islam menurut Buya Syafii dalam buku Membumikan Al-Qur’an adalah tercapainya suatu dunia yang manusiawi dalam bentuk tegaknya prinsip-prinsip persamaan, keadilan, persaudaraan, dan toleransi. Dalam bukunya yang lain, yakni Islam & Politik, Buya Syafii mengatakan “Islam mengakui dan menghormati segala bentuk pluralisme sebagai fakta sejarah yang tidak perlu dirisaukan.”
Saya takutnya Buya Syafii yang selalu menggaungkan tentang toleransi ketika ditaruh dalam posisinya Ghandi dalam cerpen tersebut tidak dapat memulai pertemuan layaknya Ghandi. Dikarenakan orang-orang dalam pertemuan adalah orang-orang yang senang berdebat dan tidak mau menerima perbedaan pendapat. Maka akan percuma nasihat-nasihat yang telah diberikannya ketika orang-orang tidak mulai membuka diri. Ketika ajaran langit tidak dibumikan, namun tetap berada di langit.
Dengan tidak adanya toleransi ini, yang ada hanyalah perdebatan antar pendapat berbeda. Mungkin hal ini yang membuat tidak adanya kemajuan berarti dalam suatu peradaban. Orang-orang hanya sibuk mendebat dan rusuh antar satu dengan lainnya. Layaknya cerpen Navis, suatu pertemuan yang digagas, namun tidak kunjung dimulai karena semua peserta mendebat satu dengan lainnya. [T]