Wacana mengenai peran perempuan di peradaban manusia terus digulirkan dari masa ke masa. Tiap abad terjadi transformasi pandangan tentang kedudukan mereka di tengah dominasi maskulin, termasuk budaya patriarki yang melekat di segala lini kehidupan masyarakat. Kiprah perempuan sebagai tokoh utama dilihat melalui perspektif yang bias dan merujuk pada konvensi tentang dikotomi gender atau pun posisi mereka yang inferior. Peran gender ditentukan oleh norma dan kepercayaan yang berlangsung berabad abad lamanya.
Kehadiran perempuan acapkali direduksi hanya tentang tubuh seksual mereka. Tradisi untuk mengobjektifikasi perempuan telah tertanam kuat dan menjadi kesepakatan yang tak terelakan dalam norma sosial. Objektifikasi perempuan di media tampak memberi tahu bahwa yang bisa mereka tawarkan hanyalah tubuh dan wajah mereka sehingga penampilan fisik yang rupawan adalah hal yang sangat diupayakan. Pikiran mereka dibentuk untuk mengikuti arus yang tidak seharusnya mereka percayai, yang membuat mereka tidak sadar bahwa nilai mereka lebih dari sekadar penampilan fisiknya.
Perempuan sejatinya ingin diartikulasikan dan dinarasikan karena kapasitasnya, bukan melalui dimensi empati yang secara tidak langsung mengabaikan apa yang lebih penting. Wacana tentang feminisme yang dipahami masyarakat awam bisa saja sudah usang dan perlu untuk didekonstruksi. Mereka melihat kehebatan perempuan dengan menyoroti bahwa tengah terjadi emansipasi dan pelibatan perempuan di berbagai bidang kehidupan. Pandangan seperti ini perlu dipahami ulang karena perempuan tidak dilibatkan hanya sebagai bentuk hadiah atas minimnya kesempatan yang mereka dapatkan.
Dunia kerap kali menghadirkan narasi tentang perempuan sebagai sosok yang termarjinalkan. Publik kemudian hanya fokus pada status mereka sebagai perempuan dan bukan pada apa yang mereka hasilkan. Perempuan tak lebih dari sekadar objek, tidak berdiri kukuh dan otonom sebagai individu yang berdaya dengan kapasitasnya.
Salah satu fenomena serius dapat terlihat dalam wacana kesenian, di mana perempuan tampil sebagai objek lukisan, dipandang melalui keindahan tubuhnya sebagai ikon yang melekat dalam sejarah dunia seni rupa. Tidak hanya itu, dalam ranah seni pertunjukan tampaknya berlaku sama, misalnya perempuan tidak diperkenankan menjadi pemain gamelan, terutama pada posisi penting yang secara turun temurun hanya boleh diisi oleh kaum laki-laki. Kedudukan perempuan dalam seni karawitan Jawa secara dominan hanya sebagai sosok penari, yang lagi-lagi berkutat pada persoalan tubuh dan penampilan fisik. Mereka kemudian secara terbatas hanya berlaku sebagai objek dan tontonan saja.
Paradigma gender kini menawarkan wacana baru di dunia seni. Perempuan bertekad untuk menjadi subjek di atas panggung seni, menjadi berdaya dengan melepas identifikasi gender, bahwa mereka dinilai sebagai manusia, bukan sebagai oposisi dari laki-laki. Mereka menolak untuk menerima empati yang terasosiasi dengan keadaan biologis mereka. Perempuan tidak ingin dinilai hanya dari rasa kasihan atau posisi mereka yang termarjinalkan, mereka ingin dinilai atas kemampuannya dalam berkarya seni.
Sejumlah seniman perempuan di era kontemporer kemudian menggambarkan tubuh mereka sebagai karya lukis yang mendekonstruksi persoalan gender yang dialami perempuan. Karya yang mereka hasilkan tidak lagi sebagai representasi keindahan yang disepakati oleh kebudayaan arus utama. Mereka melukis tubuh perempuan sebagai subjek yang jauh dari sempurna, yang tersakiti, yang penuh luka dan derita. Hal ini mengingatkan kita bahwa manusia lebih dari sekadar tubuhnya. Lebih dari sekadar penempatan dan hubungan antara fitur wajah. Seni tidak selalu tentang keindahan. Seni sejatinya harus berani menyingkap kebenaran yang jujur. Tubuh, wajah, dan bekas luka adalah perwujudan seni yang sesungguhnya dan sarat akan kisah yang ingin dinarasikan.
Dunia tidak sepatutnya mengesampingkan hal yang lebih penting mengenai keterkaitan antara karya seni dengan manusia yang menciptakannya. Bukan tentang siapa yang menciptakannya, bukan tentang siapa yang melukisnya, bukan pula tentang perempuan atau laki-laki. Hal yang lebih penting adalah tentang ide dan tawaran wacana yang digulirkan dari penciptaan karya itu sendiri sebagai medium ekspresi dan artikulasi soal persoalan manusia.
Kita perlu meninjau ulang bahwa perempuan tidak lagi terbatas hanya menjadi objek seni, menjadi model lukisan, atau sumber inspirasi saja. Perempuan juga dapat dengan bebas berpartisipasi di dunia seni. Mereka bisa merebut tempatnya, mendapatkan ruang dan posisi yang setara dengan laki-laki, sebagai manusia yang mampu berkarya dan mencipta dengan kebebasan dan kreativitas mereka sendiri. [T]