BEBERAPA tahun belakangan, dunia kecantikan seolah menemukan momentumnya. Hal itu dapat dilihat dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 yang mengungkapkan bahwa industri kosmetik mengalami peningkatan sebesar 5,59 persen. Lalu, sepanjang tahun 2021 naik sebesar 7 persen.
Statista memacak data bahwa pada 2022, di seluruh dunia, pendapatan di pasar kecantikan dan perawatan diri mencapai US$7,23 miliar atau Rp111,83 triliun (dengan kurs 1 dollar sebesar Rp15,467.5). Pasar diperkirakan akan tumbuh setiap tahun sebesar 5,81% (CAGR atau tingkat pertumbuhan per tahun dari 2022-2027).
Secara rinci, segmen pasar terbesar adalah segmen perawatan diri dengan volume pasar sebesar US$3,18 miliar pada tahun 2022. Diikuti Skin Care sebesar US$2,05 miliar, kosmetik US$1,61 miliar, dan wewangian US$39 juta. Studi tersebut menyiratkan bahwa tekanan sosial yang dihubungkan dengan penampilan fisik menjadi salah satu sebab peningkatan penggunaan produk tersebut.
Ilusi kecantikan akan selalu ada, kata Harold Lancer dalam buku Younger: The Breakthrough Anti-Aging Method for Radiant Skin. Beragam klaim tentang teknologi anti-aging terbaru, prosedur, serum, dan suplemen, katanya, telah membentuk ekspektasi konsumen.
“Media turut membentuk fantasi dan konsumen meresponsnya dengan permintaan dan perubahan pada penampilan. Perasaan tidak nyaman pada diri sendiri bisa membuat seseorang jadi berlebihan dalam menganalisis penampilan mereka,” lanjut Harold Lancer dalam bukunya.
Sebenarnya, upaya-upaya perempuan mempercantik diri—perawatan tubuh atau melawan penuaan—sudah muncul sejak zaman dulu. Buku Victoria L. Sherrow, For Appearance’ Sake: The Historical Encyclopedia of Good Looks, Beauty, and Grooming, menyebutkan bahwa krim kecantikan berawal dari tahun 150 Masehi.
“Krim pertama berasal dari Yunani, yang formulanya berkembang ke Kerajaan Romawi. Formula tersebut dinamai cold cream karena membuat kulit terasa lebih sejuk. Galen, seorang ahli pengobatan asal Yunani disebut sebagai penemu cold cream,” ujar Victoria.
Di Bali, ada lontar Rukmini Tattwa, yang menyebutkan tata cara merawat rambut sebagai mahkota wanita agar tetap sehat, lebat, hitam, dan berkilau. Selain itu, lontar tersebut juga menjelaskan agar kulit kepala terawat, bebas ketombe, serta tidak berminyak.
Mengenai hal tersebut, pada Sabtu (30/9/2023) sore, dalam diskusi serangkaian acara Singaraja Literary Festival yang pertama di Kawasan Gedong Kirtya Singaraja—tepatnya di Sasana Budaya—Ni Made Ari Dwijayanthi dan I Gde Agus Darma Putra sedikit banyak membahas prasasti kuno yang mencatat tentang rempah dan lontar yang mengabadikan bagaimana pengetahuan merawat tubuh perempuan. Diskusi bertajuk “Rempah dan Kecantikan” itu dipandu oleh Rahatri Ningrat.
Ni Made Ari Dwijayanthi dan I Gde Agus Darma Putra saat memaparkan materi “Rempah dan Kecantikan” serangkaian Singaraja Literary Festival / Foto: Dok. Omen
Dalam presentasinya berjudul Rempah dan Kecantikan (Perawatan Rambut, Wajah, dan Tubuh) dalam Lontar, Ari Dwijayanthi—penerjemah lontar sekaligus dosen STAHN Mpu Kuturan Singaraja—menjelaskan bahwa di dalam tubuh perempuan terdapat 36 dewi (Indrani Sastra), 7 bidadari dan karakteristiknya (Kakawin Arjuna Wiwaha), dan 4 skintone-warna kulit (Rsi Shambina).
“Keempat warna kulit itu terdiri dari: putih atau kuning (Singa Wikranta)-singa, merah (Padma Prasita)-bunga lotus, hijau (Ratha Wahana)-kereta, dan gelap (Sarpa Nuya Pana)-ular,” jelasnya.
Sementara itu, I Gde Agus Darma Putra menyampaikan nama-nama rempah yang tercatat dalam prasasti kuno. Rempah-rempah seperti asam, bawang merah, bawang putih, cabai, jahe, kemiri, kasumba, kunyit, pinang, dan sirih sudah dikenal oleh orang-orang di zaman dahulu.
Pemuda yang terlibat aktif dalam Yayasan IBM Dharma Palguna—yayasan yang bergerak di bidang pemeliharaan, penerjemahan, serta penelitian sastra Jawa Kuna, Bali, dan Lombok—itu secara detail menyebutkan nama-nama prasasti, lengkap dengan tahunnya, yang menuliskan nama-nama rempah yang telah disebutkan.
“Asam itu tercatat dalam prasasti Bebetin tahun 818 Saka atau 896 Masehi,” katanya. “Sedangkan cabai dan kemiri terdapat dalam prasasti Sembiran tahun 844 Saka atau 922 Masehi. Kemiri juga dicatat dalam prasasti Ujung tahun 962 Saka atau 1040 Mesehi,” imbuh Darma Putra saat menyampaikan materinya tentang rempah dan kecantikan.
Tak sampai di itu, Dharma Putra melanjutkan, cabai juga tercatat dalam prasasti Bwahan tahun 916 Saka atau 994 Masehi. Untuk jahe, kasumba, dan pinang disebut dalam prasasti Batur Pura Abang tahun 933 Saka atau 1011 Masehi.
Selain itu, kasumba juga terdapat dalam prasasti Bwahan (916 Saka/994 Masehi) dan Sembiran (938 Saka/1016 Masehi). Sedangkan pinang dan sirih tercatat dalam prasasti bernama Batuan tahun 944 Saka atau 1022 Masehi. Dan nama kunyit, disebut dalam prasasti Kintamani tahun 1122 Saka atau 1200 Masehi.
Merawat Kecantikan ala Lontar
Seperti yang sempat disinggung di awal, bahwa kesadaran perempuan dalam merawat kecantikan sudah ada sejak zaman dulu. Tak hanya ada di negeri jauh seperti Eropa atau Cina, tapi juga di Nusantara. Perempuan-perempuan Nusantara di zaman dulu sudah mengenal treatment-treatment kecantikan—yang diabadikan dalam lontar-lontar kuno.
Dalam lontar Indrani Sastra, misalnya, menyebutkan resep penghitam rambut. “Nyan pacameng kesa, sunguning wedus padu, jambu hireng, gedang warangan, tunu ika katiga apisan, wamanuhu hening jeruk, pupurek, wekasan karamasemehan” (lontar Indrani Sastra, hal. 20a)
Yang terjemahannya—sebagaimana disampaikan oleh Ari Dwijayanthi—“Inilah penghitam rambut, tanduk domba, jambu hitam, pisang kekuning-kuningan, panggang ketiganya dan jadikan satu, basahi dengan air jeruk, dilumatkan hingga lembut, kemudian berkeramas”.
Selain belajar merawat diri dari lontar, Ari mengaku memiliki resep merawat rambut menggunakan bahan-bahan (rempah) alami. “Untuk minyak rambut, aku biasa menggunakan tandusan, klabet, akar wangi, daun nilam, bunga cempaka, kenanga, dan pudak.
“Sedangkan shampoo menggunakan santan, waru, kembang sepatu, dan ratu magelung. Dan sebagai kondisioner, bisa menggunakan kemiri bakar. Masker rambut menggunakan kemiri bakar, tanah liat-tanah lempung, dan santan. Hair tonic, rendam hitungan ganjil biji klabet dengan air,” jelasnya.
Namun, kata Ari, saat ia menggunakan resep ini ketika hamil, mengandung, menyusui, rambutnya malah rontok. “Jadi, mungkin tidak cocok bagi ibu yang sedang menyusui,” ujarnya. Menurut Ari Dwijayanthi, lontar Indrani Sastra tak hanya memuat tentang bagaimana merawat rambut, tapi juga wajah, tubuh, dan vagina.
Dalam mengembalikan kekenyalan kulit wajah, lontar tersebut menuliskan, “Watutwan mirica, mramangsi, kembang padma, rinuk, husir, jyotismati, mipalimula, witning cabe, jalu kumapang, ciraka, kembang ning cemara, jambu, bunga landep, sama baga kabeh, pipis, panampel muka, byakta kadi wulan purnama denya ikang muka”.
Terjemahan: Biji merica, mangsi, bunga teratai merah, dihancurkan, diaduk, jyotismati, mipalimula, biji cabai, akar jalu mampang, ciraka, bunga cemara, jambu, bunga landep, komposisi seluruhnya sama, dilumat, untuk masker wajah sehingga bercahaya seperti bulan purnama (Dwijayanthi, 2023).
Untuk merawat tubuh, “Sasawi kuning, jirek, cit, ika ta kabeh pipis, ya ta panamba muka, kadi hulun purnama muka denya (lontar Indrani Sastra, hal.14a). Terjemahan: Sesawi kuning, kulit pohon kepundung putih, cit, semua dihaluskan menjadi satu, itulah kemudian di oleskan pada muka, muka akan bercahaya layaknya bulan purnama.
“Bahan pengganti hasil interpretasi: rendaman beras digerus, air cendana, seperempat ibu jari kunyit,” terang Ari, menjelaskan.
Dan berikut resep campuran minyak dan bahan rempah untuk vitalitas dan kekencangan otot vagina yang terdapat dalam teks Indrani Sastra. “Prianggu, inggu, siamaka, watutwan, rodra, jirek, sriwistam kembangining dataki, maduka, kayu manis, tripala, jaha, pala, kapalaka, arjuna, kalpu, udumbara, lwa, ksodra madu, dalima twaca, kuliting dalima, patali, padalisara, dantala ikur huwaya, ika ta kabeh kinela ring lenga”.
Terjemahan: Prihanggu, inggu, siamaka, watutwan, rodra, jirek, sri wistam, bunga sidhawayah, maduka, kayu manis, tripala, jahe, pala, kamaloko, termelia arjuna (pohon Arjuna), kalpu (dewandaru?), udumbara, ara, madu, tunas dalima, cempaka, panggal buaya, semua dicampur dan digoreng dengan minyak.
“Asap (bakar) seibu jari kunyit kering, setengah ibu jari merica bubuk (gerus sendiri), daun nilam kering, bunga kembang tiga kering, daun pandan sedikit basah). Semua bahan dibakar hingga berasap, setengah jongkok di atas tungku asap,” Ari menjelaskan resep uap (asap) ratus vagina.
Ia melanjutkan, asap (rendam) seibu jari kunyit, merica, daun nilam, pandan, bunga kembang tiga. Semua direbus, bila sudah mendidih tuangkan ke wadah, lalu setengah jongkok di atas wadah berasap. “Resep ini bisa tidak diisi merica jika hanya difungsikan sebagai pembasuh vagina,” katanya.
Sementara itu, mengutip tulisan Gunayasa dalam Jelajah Pemanfaatan Rempah dalam Naskah Lontar (tatkala.co, 2021), Darma Putra menyampaikan bahwa dalam Geguritan Megantaka, Pupuh Sinom, terdapat cara meramu wewangian ( parfum) dengan menggunakan rempah.
“Gagandane racik sia, isen jae lawan kunyit, gamongan umbin paspasan, umbin gadung umbin tĕki, kalawan umbin kaladi, biluluk anggon mangratus, sampun ngrangsuk busana, mapasang guna di alis, majujuluk, kĕtog titih jaring bukal”—Geguritan Megantaka, Pupuh Sinom, bait 31.
Terjemahan, sebagaimana ditulis oleh Gunayasa dalam tulisannya dan dikutip Darma Putra dalam materi presentasinya: Wangi-wangian (parfumnya) menggunakan sembilan campuran, lengkuas jahe kunir, lempuyang umbi paspasan, umbi gadung umbi teki, dan umbi keladi, disampur dengan buah enau, setelah selesai berhias, memakai guna-guna di alisnya, yang bernama kĕtog titih jaring bukal.
Sampai di sini, terlepas dari pengetahuan Nusantara, dalam melawan penuaan, di beberapa negara, sebelum krim kecantikan tercipta, ritual menghindarkan diri dari penuaan diproduksi dari material tanaman dan binatang. Satu bab berjudul “Skin” dari buku For Appearance’ Sake: The Historical Encyclopedia of Good Looks, Beauty, and Grooming menyebutkan bahwa warga Roma menggunakan kulit domba beraroma tajam sebagai perawatan wajah di malam hari.
Adapun orang Mesir, kata Joan Aurelia, menggunakan jus mentimun untuk melepas ketegangan kulit dan memperbaiki rona wajah. Sedangkan orang Amerika Latin memanfaatkan alpukat untuk merawat wajahnya.
Di zaman Ratu Elizabeth (1558-1603), orang mengaplikasikan daging mentah ke wajah untuk meminimalisir kerutan. Pada 1700-an, wanita Prancis mengaplikasikan wine tua ke wajah mereka. Wine dianggap punya khasiat mengelupas kulit—dan karenanya menumbuhkan sel baru—karena mengandung asam. Satu abad kemudian, muncul krim yang dianggap mampu membersihkan dan melembutkan wajah.
Konstruksi Patriarki
Upaya perempuan mempercantik dari barangkali tidak terlepas dari hasil konstruksi dan konsensus peradaban patriarki. Dalam hal ini, I Gusti Made Arya Suta Wirawan dalam esainya Melampaui Domestikasi Perempuan (2017) memberikan uraian menarik.
Tidak bisa dimungkiri, katanya, bahwa sejarah peradaban manusia didominasi oleh peradaban patriarki. Peradaban ini telah menggiring dan menjadikan perempuan tak ubahnya sebuah properti. Sebagai sebuah properti kebudayaan, perempuan “dituntut” agar tumbuh berkembang sesuai kehendak laki-laki. Laki-laki dianggap memiliki otoritas mutlak dalam menentukan spesifikasi terhadap pembentukan fisik dan moral perempuan. Hal tersebut seolah-olah mengisyaratkan perempuan sebagai sosok yang tidak mampu membentuk kebudayaannya sendiri.
Yang lebih mengerikan, lanjutnya, peradaban menganggap bahwa kesadaran perempuan tidak lebih dari kesadaran laki-laki itu sendiri. Sebuah kesadaran yang telah—meminjam istilah Arya Suta—“terkamuflase” baik secara kognitif maupun psikologis.
“Dengan kata lain, ketika perempuan dianggap mampu mendefinisikan dirinya, baik itu sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai seorang gadis anggun yang lihai dan sopa bertutur kata, berbusana tertutup, dan segala hal tentang dirinya, ternyata tidak lebih dari hasil konstruksi dan konsensus peradaban patriarki,” kata Arya dalam esainya.
Kaum feminis mengatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah laki-laki. Semua basis kehidupan dibentuk lewat fondasi maskulinisme. Sebagaimana Aristoteles menyebut perempuan sebagai “laki-laki yang tidak lengkap”. Publik adalah muara laki-laki.
Menurut Arya Suta, segala hal yang publik bisa mengintervensi yang domestik, tetapi tidak sebaliknya, dan prinsip ini menjadi dasar berpikir laki-laki dalam menempatkan perempuan sebagai gender nomor dua—atau yang oleh Simon de Beauvoir disebut dengan istilah The Second Sex.
Konstruksi patriarki semacam itulah yang membuat perempuan terobsesi selalu—untuk tidak mengatakan harus—tampil menawan: cantik, seksi, dan memiliki daya tarik. Meski semua itu sekadar subjektif.
Namun, sebagaimana telah disampaikan Akhmad Muawal Hasan dalam artikel Obsesi Kecantikan yang Memicu Kegalauan, berdasarkan rilis penelitian skala global YouGov tahun 2015, menempatkan Indonesia di urutan pertama sebagai masyarakat dengan penilaian paling bahagia terhadap penampilan fisiknya. Sebaliknya, mereka yang tak bahagia dengan penampilan fisiknya lumayan jauh, lebih dari tiga kali lipat.
“Sebanyak 78 persen responden Indonesia tak bermasalah dengan tubuhnya, sedangkan sisanya bermasalah alias tak bahagia,” kata Muawal Hasan.
Orang Indonesia lebih bisa “menerima” penampilan fisiknya, ketimbang orang Arab Saudi, Qatar, Mesir, Australia, Inggris, Jerman, Amerika Serikat. Persentasenye lebih dari 50 persen tapi masih kalah dengan Indonesia. Sementara Hong Kong paling parah, persentase golongan bahagianya di bawah 50 persen.
Untuk mengakhiri artikel ini, apa yang dikatakan Muawal Hasan barangkali benar, meski terkesan hipokrit, apa yang berusaha disampaikan Cherrybelle dalam lagu Beautiful sesungguhnya mengandung pesan yang bijak: “Berhentilah memuja penampilan fisik untuk menyenangkan dirimu sendiri. Mari gunakan standar baru: kamu bahagia, bahagia, dari hatimu..!”[T]
Baca juga artikel terkait LONTAR atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana