30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Acung Memilih Bersuara (2023): Diskriminasi Etnis Tionghoa dan Skenario di Balik ‘65

Yudi SetiawanbyYudi Setiawan
September 27, 2023
inUlas Film
Acung Memilih Bersuara (2023): Diskriminasi Etnis Tionghoa dan Skenario di Balik ‘65

Salah satu fragmen dalam film Acung Bersuara (2023)

Singkek mangan Babi! (Cina makan Babi!)

EJEKAN di atas merupakan salah satu dialog dalam film Acung Memilih Bersuara (2023) garapan Amelia Hapsari. Sineas kelahiran kota Semarang itu bercerita bahwa setelah bertemu tokoh “asli”—Acung—di Singapura, ia terinspirasi membuat film dokumenter animasi pendek tentang konflik antara orang-orang Tionghoa dengan pribumi pada tahun 1965 sampai 1969 di kota Pasuruan, Jawa Timur.

Acung Memilih Bersuara merupakan kisah seorang keturunan Tionghoa bernama Acung, yang lahir dan besar di Pasuruan. Ia hidup dan tumbuh bersama rasisme dan diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa sebelum dan setelah terjadi gejolak G30/s.

Acung, tokoh yang sangat menyukai sejarah Laksamana Cheng Ho itu, harus menelan pil pahit setelah Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Kewarganegaraan pada tahun 1959—dengan poin diskriminatif—bahwa warga etnis Tionghoa harus memilih menjadi warga negara Indonesia atau Tionghoa. Hal tersebut membuat Acung harus pindah sekolah dari Sekolah Rendah Tionghoa ke Sekolah Negeri.

Kesedihan Acung tak sampai itu saja, pada tahun yang sama, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 atau di singkat dengan PP 10, yang mana inti dari peraturan itu merupakan suatu tindakan pengambil alihan dan merampas hak-hak yang dimiliki oleh orang-orang yang masih menjadi warga negara asing. Sehingga, banyak keluarga Acung harus terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya pada saat itu.

Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa memuncak setelah tragedi G30/S, ketika pemerintah menetapkan—atau menuduh?—Partai Komunis sebagai dalang tragedi kemanusiaan tersebut. Acung, dengan ras Tionghoanya, menjadi objek kecurigaan masyarakat kala itu. Karena, seperti yang kita tahu, bahwa Tiongkok merupakan negara komunis.

Maka tak heran, pada saat itu banyak warga etnis Tionghoa yang diculik bahkan dibunuh atas dasar kecurigaan—atau lebih tepatnya kebencian yang mendalam.

Sejak saat itu, kehidupan Acung mulai mengalami gejolak konflik yang tak berujung. Diskriminasi, sentiment ras, sampai pada kenyataan bahwa ia harus menjadi tahanan politik selama 12 tahun tanpa pernah diadili.

Ya, film ini menarik bukan hanya sebatas sebagai antithesis dari film propaganda Penumpasan Penghianatan G30/S  PKI (1984) itu. Namun, film ini semacam pengingat untuk kita, agar kembali merenungkan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada tahun ’65 dari sudut pandang yang lain.

Acung Memilih Bersuara merupakan film yang menjadikan Acung sebagai subjek dalam sejarah ‘65. Melalui film tersebut, tampaknya Amelia Hapsari ingin menyampaikan bahwa  Acung merupakan sedikit contoh dari sekian banyak korban kebijakan—atau kebrutalan?—pemerintah pada saat itu.

Skenario di Balik ‘65

Sejarah mencatat, keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia awalnya merupakan sebuah aktivitas perdagangan, yang dilakukan antara orang-orang Tiongkok pada masa Dinasti Tang dengan Kerajaan Sriwijaya tahun 683-740 M.

Karena urusan perdagangan itulah, mengharuskan mereka menetap di suatu daerah dalam jangka waktu yang cukup lama. Maka,  banyak orang Tionghoa melakukan amaglamasi (perkawinan campuran) dengan masyarakat pribumi waktu itu. Dari perkawinan tersebut, kemudian melahirkan satu kelas sosial baru, yang nantinya membagi struktur sosial masyarakat di Nusantara.

Pada era Kolonialisme Belanda, struktur masyarakat dibagi menjadi tiga golongan, yakni golongan satu adalah orang Eropa, golongan dua terdiri dari orang-orang timur asing (Arab, India dan terutama etnis Tionghoa) dan golongan tiga masyarakat bumi putra.

Hak-hak istimewa yang diberikan Belanda kepada etnis Tionghoa waktu itu, membuat kecemburuan sosial antara masyarakat Pribumi terhadap orang Tionghoa. Konflik-konflik yang terjadi karena perbedaan hak inilah yang nantinya mengakar dan menjadi cikal bakal sentimen ras di Indonesia.

Sedangkan, keterkaitan etnis Tionghoa dalam sejarah PKI di Indonesia tak bisa hanya dengan anggapan bahwa “negara Tiongkok adalah negara Komunis saja”, melainkan harus menelusuri jejak sejarah, sehingga dapat menyimpulkan bahwa apakah orang-orang Tionghoa di Indonesia terlibat Gerakan 30 September atau hanya korban dari politik devide at empera.

Seperti yang kita tahu, Presiden Soekarno merupakan orang yang mempunyai konsep politik NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Dengan kebijakan politiknya itu, membuat Soekarno dibenci oleh pihak CIA—badan intelejen Amerika Serikat.

Tentu, CIA membenci Soekarno bukan hanya karena ia sangat dekat dengan Jhon F Kennedy—presiden Amerika yang tewas akibat kepalanya tertembus timah panas oleh orang tak dikenal—melainkan, kebijakan-kebijakan Soekarno lah yang “merugikan” pihak Amerika karena ia menasionalisasikan aset-aset swasta yang berada di Indonesia.

Karena seperti yang kita tahu, Soekarno adalah musuh dari bangsa kapitalis, termasuk Amerika Serikat. Namun, Presiden Amerika saat itu, Jhon F Kennedy, tidak mau menggunakan cara peperangan dan kekerasan untuk membasmi komunisme di Indonesia. Kennedy, justru berusaha merangkul Soekarno dengan memanfaatkan rasa nasionalismenya—dengan pendekatan yang sangat lembut untuk membasmi komunisme di Indonesia.

Di dalam buku FREEPORT, fakta-fakta yang Disembunyikan (2018)yang ditulis oleh Paharizal, S.Sos.,M.A. Setelah kematian Jhon F Kennedy, hubungan Soekarno dengan AS menjadi tak semesra ketika negara Paman Sam itu dipimpin oleh Kennedy. AS kembali menggunakan politik kekerasan untuk membasmi komunisme di seluruh dunia, termasuk PKI di Indonesia.

Salah satu pejabat Freeport yang mendukung politik kekerasan anti komunisme AS adalah Agustus C Long. Ia juga tercatat aktif di Prebyterian Hospital. Menurut Lisa Pease—penulis buku sejarah kematian Jhon F Kennedy—menyebutkan bahwa Prebyterian Hospital merupakan markas non formal bagi CIA. Dari hasil pelacakan Lisa Pease, Agustus C Long kemudian bergabung dengan perusahaan kapitalis milik Rockefeller dan CIA.

Melalui CIA-lah, mereka berkonspirasi untuk menggulingkan Soekarno dari tahta presiden dan membasmi PKI di Indonesia dengan cara ”membeli” beberapa pejabat militer Indonesia—yang mereka sebut dengan Our Local Army Friends—dan elit politik Indonesia, dengan tujuan menggulingkan Soekarno dan menumpas PKI agar perusahaan-perusahaan kapitalis elit dunia bisa bebas masuk ke Indonesia.

Berdasarkan ulasan dalam buku Freeport: Fakta-fakta yang disembunyikan, Agustus C Long menjalin hubungan dekat dengan Julius Tahija—mantan Menteri Komunikasi dan Informatika—yang mengenalkannya kepada Ibnu Sutowo, yang saat itu menjabat Menteri Pertambangan dan Perminyakan.

Melalui Julius Tahija, Soeharto, dan Ibnu Sutowo, agenda penghancuran PKI dan penggulingan Soekarno mulai dijalankan—semua itu dibiayai oleh CIA dan PT. Freeport.

Sebuah kudeta militer pun dirancang. CIA bekerja sama dengan elit militer Indonesia yang pro neo imperialisme dan dengan pejabat tinggi pemerintahan yang berseberangan dengan Soekarno. Dengan cara merekrut dan melatih perwira-perwira Diponegoro—tentara yang belum memiliki bintang—di bawah komando Soeharto mereka membentuk pasukan Cakrabirawa. Pasukan inilah yang menculik para Jenderal untuk dibunuh di Lubang Buaya.

Namun, menurut sejarawan John Roosa, kudeta militer tersebut memang dirancang supaya gagal. Atas terjadinya kudeta ini, PKI difitnah sebagai dalang di balik kudeta gagal tersebut—kudeta itu kemudian dikenal dengan peristiwa G30S/PKI.

Tak hanya difitnah sebagai dalang kudeta, PKI juga difitnah telah melakukan penyiksaan kepada para jenderal, mulai dari mencongkel mata, mengiris-iris kulit menggunakan silet, menyiksa menggunakan pukulan dan tendangan sampai memotong kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut hasil otopsi yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran UI, penyiksaan seperti itu tidak ditemukan di tubuh para jenderal.

Setelah adanya kudeta gagal tersebut, di bawah komando Soeharto, penumpasan terhadap seluruh anggota dan simpatisan PKI pun terjadi—yang menurut sejarawan Max Lane, jumlah korban dari penumpasan itu mencapai dua juta orang. Akibat dari kudeta gagal inilah, Soeharto, bisa mendapatkan kedudukannya sebagai presiden, menggantikan Soekarno dengan surat mandat yang dikenal sebagai Supersemar.

Setelah Soeharto mendapatkan kedudukan sebagai presiden, ia segera menebar kampanye teror kepada mereka yang terindikasi sebagai anggota dan simpatisan PKI. Dan, menebar isu bahwa PKI tidak percaya Tuhan dan membunuh para Kyai, menjadikan masyarakat saat itu memiliki cukup alasan untuk membasmi PKI.

Dan, tentu saja, kesempatan itu juga dimanfaatkan oleh orang-orang yang memang sejak awal tidak suka dengan adanya etnis Tionghoa di Indonesia—karena kecemburuan sosial yang dipelihara sejak era kolonialisme Belanda.

Tentu, kemesraan CIA dengan Soeharto tak hanya sampai pada penggulingan Soekarno dan penumpasan PKI saja, melalui presiden Soeharto—jika diperkenankan menjelaskan lebih lanjut— hubungan itu berlanjut sampai pada Pepera (penentuan pendapat rakyat) dan “bagi-bagi” sumber daya alam Indonesia kepada perusahaan kapitalis asing, juga pada keberhasilan Freeport mendapatkan Papua—Freeport dapat melubangi gunung emas di Mimika Papua karena rezim Soeharto.

Cukup. Sepertinya tulisan ini sudah terlalu melebar ke mana-mana. Padahal, awalnya hanya ingin membahas tentang film yang saya tonton di Minikino Film Week beberapa hari lalu. Yang jelas, seingat saya, sampai tulisan ini selesai, film Acung Memilih Bersuara menyebutkan bahwa dalam menyikapi rasisme dan diskriminasi, etnis Tionghoa lebih memilih bersikap pasrah, “lebih baik diam dan menerima keadaan”. Tetapi, tidak dengan Acung. Pada akhirnya ia memilih untuk bersuara, meski berakhir di penjara.

Hari ini, resistensi terhadap kaum Tionghoa memang tidak seperti dulu, hanya saja, pandangan beberapa orang dan negara terhadap peristiwa berdarah ’65 masih seperti rezim Orde Baru. Padahal, sudah banyak peneliti meragukan sejarah yang ditulis oleh pemerintah. Dengan begitu, dengan adanya Acung Memilih Bersuara, kita bisa melihat bagaimana kekuasaan mengalahkan kemanusiaan dan betapa berbahayanya kekuasaan berada di tangan yang salah.[T]

Menyangsikan Dutar & Papaya Sebagai Sinematik Eksperimental Nonkonvensional: Bukti Kita Butuh Pembacaan Ulang
Ma Gueule : Arabphobia dan Trauma Kolektif Jangka Panjang
Ballad of a White Cow : Keheningan yang Tak Menawarkan Banyak Hal

 

Tags: film dokumenterfilm pendekMinikinoMinikino Film Week
Previous Post

Netralitas ASN dan Ketidaknetralan Kepala Daerah

Next Post

Anak-Anak yang Diasuh Jalanan

Yudi Setiawan

Yudi Setiawan

Kontributor tatkala.co

Next Post
Anak-Anak yang Diasuh Jalanan

Anak-Anak yang Diasuh Jalanan

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co