Singkek mangan Babi! (Cina makan Babi!)
EJEKAN di atas merupakan salah satu dialog dalam film Acung Memilih Bersuara (2023) garapan Amelia Hapsari. Sineas kelahiran kota Semarang itu bercerita bahwa setelah bertemu tokoh “asli”—Acung—di Singapura, ia terinspirasi membuat film dokumenter animasi pendek tentang konflik antara orang-orang Tionghoa dengan pribumi pada tahun 1965 sampai 1969 di kota Pasuruan, Jawa Timur.
Acung Memilih Bersuara merupakan kisah seorang keturunan Tionghoa bernama Acung, yang lahir dan besar di Pasuruan. Ia hidup dan tumbuh bersama rasisme dan diskriminasi yang dialami etnis Tionghoa sebelum dan setelah terjadi gejolak G30/s.
Acung, tokoh yang sangat menyukai sejarah Laksamana Cheng Ho itu, harus menelan pil pahit setelah Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Kewarganegaraan pada tahun 1959—dengan poin diskriminatif—bahwa warga etnis Tionghoa harus memilih menjadi warga negara Indonesia atau Tionghoa. Hal tersebut membuat Acung harus pindah sekolah dari Sekolah Rendah Tionghoa ke Sekolah Negeri.
Kesedihan Acung tak sampai itu saja, pada tahun yang sama, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 atau di singkat dengan PP 10, yang mana inti dari peraturan itu merupakan suatu tindakan pengambil alihan dan merampas hak-hak yang dimiliki oleh orang-orang yang masih menjadi warga negara asing. Sehingga, banyak keluarga Acung harus terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya pada saat itu.
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa memuncak setelah tragedi G30/S, ketika pemerintah menetapkan—atau menuduh?—Partai Komunis sebagai dalang tragedi kemanusiaan tersebut. Acung, dengan ras Tionghoanya, menjadi objek kecurigaan masyarakat kala itu. Karena, seperti yang kita tahu, bahwa Tiongkok merupakan negara komunis.
Maka tak heran, pada saat itu banyak warga etnis Tionghoa yang diculik bahkan dibunuh atas dasar kecurigaan—atau lebih tepatnya kebencian yang mendalam.
Sejak saat itu, kehidupan Acung mulai mengalami gejolak konflik yang tak berujung. Diskriminasi, sentiment ras, sampai pada kenyataan bahwa ia harus menjadi tahanan politik selama 12 tahun tanpa pernah diadili.
Ya, film ini menarik bukan hanya sebatas sebagai antithesis dari film propaganda Penumpasan Penghianatan G30/S PKI (1984) itu. Namun, film ini semacam pengingat untuk kita, agar kembali merenungkan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada tahun ’65 dari sudut pandang yang lain.
Acung Memilih Bersuara merupakan film yang menjadikan Acung sebagai subjek dalam sejarah ‘65. Melalui film tersebut, tampaknya Amelia Hapsari ingin menyampaikan bahwa Acung merupakan sedikit contoh dari sekian banyak korban kebijakan—atau kebrutalan?—pemerintah pada saat itu.
Skenario di Balik ‘65
Sejarah mencatat, keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia awalnya merupakan sebuah aktivitas perdagangan, yang dilakukan antara orang-orang Tiongkok pada masa Dinasti Tang dengan Kerajaan Sriwijaya tahun 683-740 M.
Karena urusan perdagangan itulah, mengharuskan mereka menetap di suatu daerah dalam jangka waktu yang cukup lama. Maka, banyak orang Tionghoa melakukan amaglamasi (perkawinan campuran) dengan masyarakat pribumi waktu itu. Dari perkawinan tersebut, kemudian melahirkan satu kelas sosial baru, yang nantinya membagi struktur sosial masyarakat di Nusantara.
Pada era Kolonialisme Belanda, struktur masyarakat dibagi menjadi tiga golongan, yakni golongan satu adalah orang Eropa, golongan dua terdiri dari orang-orang timur asing (Arab, India dan terutama etnis Tionghoa) dan golongan tiga masyarakat bumi putra.
Hak-hak istimewa yang diberikan Belanda kepada etnis Tionghoa waktu itu, membuat kecemburuan sosial antara masyarakat Pribumi terhadap orang Tionghoa. Konflik-konflik yang terjadi karena perbedaan hak inilah yang nantinya mengakar dan menjadi cikal bakal sentimen ras di Indonesia.
Sedangkan, keterkaitan etnis Tionghoa dalam sejarah PKI di Indonesia tak bisa hanya dengan anggapan bahwa “negara Tiongkok adalah negara Komunis saja”, melainkan harus menelusuri jejak sejarah, sehingga dapat menyimpulkan bahwa apakah orang-orang Tionghoa di Indonesia terlibat Gerakan 30 September atau hanya korban dari politik devide at empera.
Seperti yang kita tahu, Presiden Soekarno merupakan orang yang mempunyai konsep politik NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Dengan kebijakan politiknya itu, membuat Soekarno dibenci oleh pihak CIA—badan intelejen Amerika Serikat.
Tentu, CIA membenci Soekarno bukan hanya karena ia sangat dekat dengan Jhon F Kennedy—presiden Amerika yang tewas akibat kepalanya tertembus timah panas oleh orang tak dikenal—melainkan, kebijakan-kebijakan Soekarno lah yang “merugikan” pihak Amerika karena ia menasionalisasikan aset-aset swasta yang berada di Indonesia.
Karena seperti yang kita tahu, Soekarno adalah musuh dari bangsa kapitalis, termasuk Amerika Serikat. Namun, Presiden Amerika saat itu, Jhon F Kennedy, tidak mau menggunakan cara peperangan dan kekerasan untuk membasmi komunisme di Indonesia. Kennedy, justru berusaha merangkul Soekarno dengan memanfaatkan rasa nasionalismenya—dengan pendekatan yang sangat lembut untuk membasmi komunisme di Indonesia.
Di dalam buku FREEPORT, fakta-fakta yang Disembunyikan (2018)yang ditulis oleh Paharizal, S.Sos.,M.A. Setelah kematian Jhon F Kennedy, hubungan Soekarno dengan AS menjadi tak semesra ketika negara Paman Sam itu dipimpin oleh Kennedy. AS kembali menggunakan politik kekerasan untuk membasmi komunisme di seluruh dunia, termasuk PKI di Indonesia.
Salah satu pejabat Freeport yang mendukung politik kekerasan anti komunisme AS adalah Agustus C Long. Ia juga tercatat aktif di Prebyterian Hospital. Menurut Lisa Pease—penulis buku sejarah kematian Jhon F Kennedy—menyebutkan bahwa Prebyterian Hospital merupakan markas non formal bagi CIA. Dari hasil pelacakan Lisa Pease, Agustus C Long kemudian bergabung dengan perusahaan kapitalis milik Rockefeller dan CIA.
Melalui CIA-lah, mereka berkonspirasi untuk menggulingkan Soekarno dari tahta presiden dan membasmi PKI di Indonesia dengan cara ”membeli” beberapa pejabat militer Indonesia—yang mereka sebut dengan Our Local Army Friends—dan elit politik Indonesia, dengan tujuan menggulingkan Soekarno dan menumpas PKI agar perusahaan-perusahaan kapitalis elit dunia bisa bebas masuk ke Indonesia.
Berdasarkan ulasan dalam buku Freeport: Fakta-fakta yang disembunyikan, Agustus C Long menjalin hubungan dekat dengan Julius Tahija—mantan Menteri Komunikasi dan Informatika—yang mengenalkannya kepada Ibnu Sutowo, yang saat itu menjabat Menteri Pertambangan dan Perminyakan.
Melalui Julius Tahija, Soeharto, dan Ibnu Sutowo, agenda penghancuran PKI dan penggulingan Soekarno mulai dijalankan—semua itu dibiayai oleh CIA dan PT. Freeport.
Sebuah kudeta militer pun dirancang. CIA bekerja sama dengan elit militer Indonesia yang pro neo imperialisme dan dengan pejabat tinggi pemerintahan yang berseberangan dengan Soekarno. Dengan cara merekrut dan melatih perwira-perwira Diponegoro—tentara yang belum memiliki bintang—di bawah komando Soeharto mereka membentuk pasukan Cakrabirawa. Pasukan inilah yang menculik para Jenderal untuk dibunuh di Lubang Buaya.
Namun, menurut sejarawan John Roosa, kudeta militer tersebut memang dirancang supaya gagal. Atas terjadinya kudeta ini, PKI difitnah sebagai dalang di balik kudeta gagal tersebut—kudeta itu kemudian dikenal dengan peristiwa G30S/PKI.
Tak hanya difitnah sebagai dalang kudeta, PKI juga difitnah telah melakukan penyiksaan kepada para jenderal, mulai dari mencongkel mata, mengiris-iris kulit menggunakan silet, menyiksa menggunakan pukulan dan tendangan sampai memotong kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut hasil otopsi yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran UI, penyiksaan seperti itu tidak ditemukan di tubuh para jenderal.
Setelah adanya kudeta gagal tersebut, di bawah komando Soeharto, penumpasan terhadap seluruh anggota dan simpatisan PKI pun terjadi—yang menurut sejarawan Max Lane, jumlah korban dari penumpasan itu mencapai dua juta orang. Akibat dari kudeta gagal inilah, Soeharto, bisa mendapatkan kedudukannya sebagai presiden, menggantikan Soekarno dengan surat mandat yang dikenal sebagai Supersemar.
Setelah Soeharto mendapatkan kedudukan sebagai presiden, ia segera menebar kampanye teror kepada mereka yang terindikasi sebagai anggota dan simpatisan PKI. Dan, menebar isu bahwa PKI tidak percaya Tuhan dan membunuh para Kyai, menjadikan masyarakat saat itu memiliki cukup alasan untuk membasmi PKI.
Dan, tentu saja, kesempatan itu juga dimanfaatkan oleh orang-orang yang memang sejak awal tidak suka dengan adanya etnis Tionghoa di Indonesia—karena kecemburuan sosial yang dipelihara sejak era kolonialisme Belanda.
Tentu, kemesraan CIA dengan Soeharto tak hanya sampai pada penggulingan Soekarno dan penumpasan PKI saja, melalui presiden Soeharto—jika diperkenankan menjelaskan lebih lanjut— hubungan itu berlanjut sampai pada Pepera (penentuan pendapat rakyat) dan “bagi-bagi” sumber daya alam Indonesia kepada perusahaan kapitalis asing, juga pada keberhasilan Freeport mendapatkan Papua—Freeport dapat melubangi gunung emas di Mimika Papua karena rezim Soeharto.
Cukup. Sepertinya tulisan ini sudah terlalu melebar ke mana-mana. Padahal, awalnya hanya ingin membahas tentang film yang saya tonton di Minikino Film Week beberapa hari lalu. Yang jelas, seingat saya, sampai tulisan ini selesai, film Acung Memilih Bersuara menyebutkan bahwa dalam menyikapi rasisme dan diskriminasi, etnis Tionghoa lebih memilih bersikap pasrah, “lebih baik diam dan menerima keadaan”. Tetapi, tidak dengan Acung. Pada akhirnya ia memilih untuk bersuara, meski berakhir di penjara.
Hari ini, resistensi terhadap kaum Tionghoa memang tidak seperti dulu, hanya saja, pandangan beberapa orang dan negara terhadap peristiwa berdarah ’65 masih seperti rezim Orde Baru. Padahal, sudah banyak peneliti meragukan sejarah yang ditulis oleh pemerintah. Dengan begitu, dengan adanya Acung Memilih Bersuara, kita bisa melihat bagaimana kekuasaan mengalahkan kemanusiaan dan betapa berbahayanya kekuasaan berada di tangan yang salah.[T]