10 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Menyangsikan Dutar & Papaya Sebagai Sinematik Eksperimental Nonkonvensional: Bukti Kita Butuh Pembacaan Ulang

Azman H. BahberehbyAzman H. Bahbereh
September 19, 2023
inUlas Film
Menyangsikan Dutar & Papaya Sebagai Sinematik Eksperimental Nonkonvensional: Bukti Kita Butuh Pembacaan Ulang

Pemutaran film Dutar dan Papaya serangkaian Minikino Film Week ke-9; Bali International Short Film Festival, di Warung Kopi DeKakiang Singaraja, Buleleng, Minggu, 17 September 2023 | Foto: Dok. Singaraja Menonton

BAGI MEREKA yang untuk kali pertama menyelesaikan satu film eksperimental, pasti memiliki tanda tanya yang mengekori mereka seperti “ini film apa, sih?” Atau “film ini sebenarnya bercerita tentang apa?” Ini bukti bahwa sinema eksperimental masih jadi sinema yang tak ramah penonton.

Tapi saya bukan mau berbicara reaksi para spektator ketika melihat sinema eksperimental. Saya mau berbicara soal sejauh mana sinema eksperimental bereksperimen(tal) sekarang ini—sejauh mana, ia membebaskan diri dari cengkraman tren sinema yang katanya masih konvensional itu.

Sinema eksperimental adalah bagian penting dalam pertumbuhan sejarah sinema dunia. Jenis film ini muncul akibat pengaruh dari gerakan dadaisme dan surealisme seni lukis pada masa di mana film sedang mengalami kejayaan.

Sinema eksperimental datang sebagai sebuah metode atau pendekatan artistik untuk melihat sejauh mana seni ketujuh (film) bekerja. Ciri eksperimental yakni mengevaluasi/mendobrak konvensi-konvensi sinematik yang telah pakem dan mengeksplorasi format-format non-naratif dan bekerja dari madzhab/metode alternatif.

Gerakan avant garde (eksperimental) ini kemudian mempengaruhi transformasi sinema secara signifikan dalam skala dunia. Sebut saja beberapa gerakan penting yang dipengaruhi avant garde ini, yaitu Ekspresionisme Jerman, Montage Rusia, Neorealisme Italia, sampai dengan Nouvelle Vague (France New Wave).

Film Eksperimental pertama yang tercatat digarap oleh Fernand Leger, Dudly Murphy, dan Man Ray pada tahun 1924 dengan judul Le Ballet Mecanique (banyak teoritis film beranggapan film eksperimental pertama adalah film Jean Epstein, karena berdasarkan sejarah sinema Jean Epstein merupakan biang keladi gerakan avant garde di Prancis yang mendorong seniman-seniman lukis masuk ke pintu perfilman).

***

Saya menghadiri lagi Community Screening di Buleleng dalam serangkaian Minikino Film Week ke-9; Bali International Short Film Festival pada Minggu 17 September 2023 kemarin. Di sana ada dua program screening yang dihadirkan; Toronto Reel Asian Unsung Voice 11 dan Mother!

Program pertama paling menarik perhatian saya sepenuhnya. Pada program Toronto Reel Asian Unsung Voice 11 tersebut ada 6 film pendek yang diputar, di antaranya Dutar, Perennials, In Silence, We Sing, Maya, Papaya, dan Once in a Red Moon. Masing-masing datang dari Kanada langung dengan identitas jenisnya—4 fiksi 2 eksperimental.

Pemutaran film Dutar dan Papaya serangkaian Minikino Film Week ke-9; Bali International Short Film Festival, di Warung Kopi DeKakiang Singaraja, Buleleng, Minggu, 17 September 2023 | Foto: Dok. Singaraja Menonton

Saya menonton dan mencoba mengamati rentetan film-film pendek pada program itu, khususnya Dutar dan Papaya—2 film berjenis (konon) eksperimental yang telah mencuri perhatian saya dan membuat saya meneroka kembali ornamen-ornamen sinema akar rumput, membuat saya mempertanyakan ulang di mana tolok ukur agar sebuah film dapat diklasifikasikan sebagai eksperimental.

Dutar & Papaya  

Dutar adalah film pendek Kanada yang disutradarai Roda Medhat. Film ini berkisah tentang seorang wanita muda yang tersesat/terlempar ke dunia fantasi, di mana ia seperti membayangkan bagaimana jadinya jika ia tak pernah meninggalkan negeri kelahirannya. Di dunia fantasi itu, ia mendengar denting irama oud yang dimainkan oleh seorang pria berwajah Kurdi.

Film ini digolongkan sebagai film berjenis eksperimental karena mungkin ia menuturkan kisahnya secara konotatif, simbolis, metaforis, samar-samar, atau alegoris, dan memiliki unsur imajis yang ketat. Artinya, ia tidak menajamkan pedang kisah—makna dan maksud tidak terbabar seperti bentangan layar putih yang sempurna. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah sinema eksperimental bekerja demikian?

Sementara Papaya adalah film pendek yang juga dari Kanada, disutradarai Dédé Chen. Film pendek ini menceritakan pengalaman kehidupan personal sang sineas sebagai anak adopsi China-Kanada.

Dédé Chen menggabungkan beberapa elemen seni dalam filmnya, salah satunya tari. Tarian itu saya lihat sebagai responnya terhadap kenangan keluarga dan kegalauan menjadi seorang anak hasil adopsi. Bukan sekadar instrumen penyegar mata. Di dalam ia juga menampilkan deretan arsip yang berkaitan dengan dirinya.

Dédé Chen sedang menanggapi pertanyaan penonton / Foto: Dok. Singaraja Menonton

Papaya bergerak dengan gaya mokumentari, dan membuka pintu-pintu gambar di sana lewat suara pencerita yang parau. Sejalan dengan Dutar, Papaya bertutur secara samar, kabur. Ia tak langsung membuka dirinya selebar mungkin.

Ia berusaha membuka dirinya dengan sepelan-pelannya, membiarkan para penonton bersabar mengikuti peristiwa-peristiwa di celah pintu yang tak tertutup rapat, juga tak terbuka lebar.

Film Papaya juga digolongkan sebagai film eksperimental. Sewaktu sesi tanya jawab, saya menanyakan tentang film ini kepada Dédé Chen yang kebetulan sekali menghadiri screening. Saya bertanya soal apa tolok ukur sebuah film dapat dikatakan sebagai film eksperimental? Karena saya pribadi tidak melihat jelas film garapannya adalah film yang berjenis eksperimental.

Namun wanita manis itu mencoba menjawab pertanyaan saya dengan berhati-hati, meski saya tahu pengelamannya terbatas soal ini. Ia menjawab kurang lebih begini:

“Sebagai sutradara, kami hanya mengerjakan dan menyelesaikan film. Jujur saya tak pernah mengetahui apakah film saya eksperimental atau tidak, karena bukan saya yang menentukan jenisnya. Saya yakin film adalah media katarsis. Di sana saya mencoba menuangkan kreativitas saya dengan memasukkan beberapa elemen dan mengolahnya melalui gaya yang non-konvensional.”

Itu adalah jawabannya yang tersisa dalam ingatan saya, mungkin itu kurang pas, atau ada yang sedikit tidak sengaja saya tambahkan sendiri. Namun saya ingat dia berbicara soal pendekatan non-konvensional yang dia lakukan. Dan seketika itu, pada saat yang sama, saya menyangsikannya.

Saya kembali bertanya-tanya apakah dengan gaya non-konvensional sebuah film dapat disebut sebagai eksperimental? Dan yang terpenting, apakah film yang digarapnya benar-benar diolah dengan gaya non-konvensional? Sebab barangkali itu bukanlah non-konvensional, barangkali malah itulah yang konvensional.

Membaca Ulang Sinema Eksperimental

Untuk menjawab itu kita harus kembali jauh menengok catatan perjalanan sinema eksperimental. Sepanjang perjalanan, ada perdebatan dan perbedaan yang lumayan sengit mengenai seperti apa sebenarnya sinema eksperimental.

Miskonsepsi yang paling banyak tumbuh adalah, pertama, film eksperimental merupakan film absurd, obskur, dan aneh. Kedua, bila ada sebuah film memiliki unsur surealis maka ia merupakan film eksperimental. Ini pembacaan yang keliru terhadap sinema eksperimental di era sekarang, yang mana sebenarnya kita membutuhkan pembacaan baru.

Pada era ini, era modern, tidak selamanya surealisme itu eksperimental sebagaimana tak selamanya dadaisme itu eksperimental. Un Chien Andalou, misalnya, yang digarap Salvador Dali dan Luis Bunuel, menjadi eksperimental karena film tersebut menggunakan sekian teknik yang tak terjamah dan tak terpikirkan di masanya.

Namun, seiring waktu teknik-teknik dan pendekatan mereka sudah terintegrasi menjadi metode standar sinematik dan siapa saja yang memanfaatkannya tidaklah serta-merta dengan mudah dapat disebut sebagai sineas eksperimental. Artinya, film-film sineas itu bukanlah sebuah eksperimen baru, tapi sebuah pengulangan demi pengulangan yang lebih tepat disebut dalam dunia film sebagai interpolarisasi.

Begitu pun yang akan kita dapatkan ketika kita berbicara tentang Neorealisme Italia. Keseluruhan film-film dalam gerakan tersebut dapat dikatakan sebagai sinema eksperimental karena ia menolak satu pakem konvensional sinema mainstream yang menggunakan aktor profesional. Nyaris semua produksi Neorealisme Italia mempergunakan aktor non-profesional untuk ke-realistis-an semesta filmnya.

Suasana pemutaran dan diskusi film Dutar dan Papaya serangkaian Minikino Film Week ke-9; Bali International Short Film Festival, di Warung Kopi DeKakiang Singaraja, Buleleng, Minggu, 17 September 2023 | Foto: Dok. Singaraja Menonton

Sehingga, di kemudian tahun mendatang ketika kemunculan French New Wave yang pula turut menggunakan aktor non-profesional tidaklah bisa dengan mudah disebut sebagai sebuah eksperimental, melainkan sebuah interpolarisasi.

Eksperimental haruslah sebuah eksperimen radikal tentang; pendekatan serta penemuan kebaharuan dan sejauh mana sebuah film membengkokkan sekat-sekat tradisional, menuju  sinematik modern baik secara teknikal, tematikal, dan segala tetek bengeknya.

Kita bisa melihat itu dalam sekumpulan karya Michael Snow. Michael Snow merupakan sutradara eksperimental asal Kanada yang produktif berkarya pada rentang tahun 1960-2000-an. Karya-karyanya seperti Wavelenght, Back and Fort, dan La Région Centrale, merupakan gambaran ideal untuk melihat seperti apa itu sinema eksperimental yang menyelam jauh mengitari karang-karang kemungkinan samudera perfilman dan lolos dari cengkraman interpolarisasi.

Snow dikenal sebagai sineas yang ulet bereksperimen terhadap kinerja gerak kamera. Dalam La Région Centrale, ia memanfaatkan lengan robot yang sudah diprogramnya untuk menggerakkan kamera dalam menangkap lanskap pegunungan tak berpenghuni selama 24 jam—hitungannya diawali dengan gerak lambat memutar sebelum masuk putaran yang kian lama kian laju.

Tak hanya itu, karyanya yang lain, Back and Fort, juga melihat kinerja gerak kamera dalam paruh-paruh menit tertentu. Di sana ia menggerakkan kamera ke samping kanan dan kiri, kemudian ke atas dan bawah. Karya-karya Snow dipuji habis-habisan oleh banyak kritikus seni karena eksperimennya yang melihat sejauh mana sebuah mesin dapat stabil tanpa peran manusia di sisinya.

Melihat itu, kita sekali lagi mengetahui seperti apa konsep eksperimental dalam dunia sinema. Semenjak pertumbuhannya, eksperimental tidak lagi hanya dipandang tentang teknis, tetapi juga di luar dari hal tersebut—semisal seperti apa yang saya sebutkan sebelumnya di atas.

***

Kasus film pendek Dutar dan Papaya adalah kasus miskonsepsi pembacaan kontemporer terhadap bagaimana seharusnya kita menilai bentuk sinema eksperimental sekarang ini. Kedua film pendek tersebut, sejauh pengamatan saya, tidak memperlihatkan ornamen-ornamen kebaharuan dalam sinema kontemporer dunia sekarang ini. Di sana, keduanya tidak memberikan artistik radikal yang mendukung atau membuka cakrawala harapan dalam perfilman sebagaimana seharusnya film-film eksperimental lakukan.

Meskipun, semisal Dutar, bercerita dengan samar dan sedikit surealis, ia tetaplah film yang bukan eksperimental. Sebab kolom-kolom imajiner, semesta mimpi, atau kesamaran kisah yang mana menjelma gurun permainan sang sineas adalah permainan lampau para sineas dunia. Kita tak menemukan form/estetika baru dalam Dutar selain interpolarisasi dan klaim bahwa film tersebut berjenis eksperimental.

Begitu pula yang saya dapatkan dalam film pendek Papaya. Saya menyukai Papaya, tapi mengafirmasi film ini sebagai film eksperimental terasa susah sekali (walau sebetulnya hal tersebut tidak terlalu penting). Seperti yang diungkapkan Dédé Chen, filmnya keluar dari pakem konvensional sinematik yang padahal, menurut pandangan saya sendiri, filmnya tidaklah keluar ke mana-mana. Artinya Papaya adalah proyek yang masih konvensional, menggunakan skema mokumentari yang memang muncul di era modern ini dan telah banyak yang menggunakannya.

Papaya, sebagai sebuah film yang dikatakan eksperimental, sepanjang durasinya ternyata tak menyodorkan kebaharuan apa-apa selain 3 elemen yang dikolaborasikan, yang padahal juga sesungguhnya ketiga elemen tersebut telah dimanfaatkan lama oleh banyak sineas seperti Jonas Mekas, Andy Warhol, hingga Garin Nugroho.

Tetapi, yang perlu ditekankan sebenarnya adalah kita memerlukan pembacaan ulang untuk melihat konsep sinema eksperimental kontemporer yang seharusnya. Di sini saya tidak sepenuhnya bertujuan untuk menghakimi Dutar dan Papaya. Justru saya melihatnya sebagai film yang telah banyak di-miskonsepsikan senasib dengan The Three of Life karya Terrence Malick.

Selebihnya, saya beruntung memiliki kesempatan menonton Dutar dan Papaya, dan saya beruntung untuk pertama kali selama hidup saya, saya dapat berinteraksi secara langsung dengan sineas yang karyanya saya bicarakan.[T]

BACA ulasan film lainnya dari penulisAZMAN H BAHBEREH

Ma Gueule : Arabphobia dan Trauma Kolektif Jangka Panjang
Ballad of a White Cow : Keheningan yang Tak Menawarkan Banyak Hal
Film Pendek “Kala Rau When the Sun Got Eaten”: Gerhana, Mitos, dan Sedikit Orde Baru
Dogtooth (2009): Abnormalitas yang Menegaskan Jati Diri Sinema-Sinema Yorgos Lanthimos
Tags: film pendekMinikinoMinikino Film Week
Previous Post

Media Making: Menjadikan Apa pun dan Siapa pun

Next Post

Pameran Seni Rupa Pertiwi Negeriku Toba Exihibition: Berkontribusi Membangun Toba

Azman H. Bahbereh

Azman H. Bahbereh

Lahir di Singaraja, Bali, 30 Januari 2001. Bekerja sebagai tukang jagal ayam yang selain gemar membaca juga gemar menulis. Kalian bisa menemukannya di akun Instagram : @azmnhssmb

Next Post
Pameran Seni Rupa Pertiwi Negeriku Toba Exihibition: Berkontribusi Membangun Toba

Pameran Seni Rupa Pertiwi Negeriku Toba Exihibition: Berkontribusi Membangun Toba

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co