BAGI MEREKA yang untuk kali pertama menyelesaikan satu film eksperimental, pasti memiliki tanda tanya yang mengekori mereka seperti “ini film apa, sih?” Atau “film ini sebenarnya bercerita tentang apa?” Ini bukti bahwa sinema eksperimental masih jadi sinema yang tak ramah penonton.
Tapi saya bukan mau berbicara reaksi para spektator ketika melihat sinema eksperimental. Saya mau berbicara soal sejauh mana sinema eksperimental bereksperimen(tal) sekarang ini—sejauh mana, ia membebaskan diri dari cengkraman tren sinema yang katanya masih konvensional itu.
Sinema eksperimental adalah bagian penting dalam pertumbuhan sejarah sinema dunia. Jenis film ini muncul akibat pengaruh dari gerakan dadaisme dan surealisme seni lukis pada masa di mana film sedang mengalami kejayaan.
Sinema eksperimental datang sebagai sebuah metode atau pendekatan artistik untuk melihat sejauh mana seni ketujuh (film) bekerja. Ciri eksperimental yakni mengevaluasi/mendobrak konvensi-konvensi sinematik yang telah pakem dan mengeksplorasi format-format non-naratif dan bekerja dari madzhab/metode alternatif.
Gerakan avant garde (eksperimental) ini kemudian mempengaruhi transformasi sinema secara signifikan dalam skala dunia. Sebut saja beberapa gerakan penting yang dipengaruhi avant garde ini, yaitu Ekspresionisme Jerman, Montage Rusia, Neorealisme Italia, sampai dengan Nouvelle Vague (France New Wave).
Film Eksperimental pertama yang tercatat digarap oleh Fernand Leger, Dudly Murphy, dan Man Ray pada tahun 1924 dengan judul Le Ballet Mecanique (banyak teoritis film beranggapan film eksperimental pertama adalah film Jean Epstein, karena berdasarkan sejarah sinema Jean Epstein merupakan biang keladi gerakan avant garde di Prancis yang mendorong seniman-seniman lukis masuk ke pintu perfilman).
***
Saya menghadiri lagi Community Screening di Buleleng dalam serangkaian Minikino Film Week ke-9; Bali International Short Film Festival pada Minggu 17 September 2023 kemarin. Di sana ada dua program screening yang dihadirkan; Toronto Reel Asian Unsung Voice 11 dan Mother!
Program pertama paling menarik perhatian saya sepenuhnya. Pada program Toronto Reel Asian Unsung Voice 11 tersebut ada 6 film pendek yang diputar, di antaranya Dutar, Perennials, In Silence, We Sing, Maya, Papaya, dan Once in a Red Moon. Masing-masing datang dari Kanada langung dengan identitas jenisnya—4 fiksi 2 eksperimental.
Pemutaran film Dutar dan Papaya serangkaian Minikino Film Week ke-9; Bali International Short Film Festival, di Warung Kopi DeKakiang Singaraja, Buleleng, Minggu, 17 September 2023 | Foto: Dok. Singaraja Menonton
Saya menonton dan mencoba mengamati rentetan film-film pendek pada program itu, khususnya Dutar dan Papaya—2 film berjenis (konon) eksperimental yang telah mencuri perhatian saya dan membuat saya meneroka kembali ornamen-ornamen sinema akar rumput, membuat saya mempertanyakan ulang di mana tolok ukur agar sebuah film dapat diklasifikasikan sebagai eksperimental.
Dutar & Papaya
Dutar adalah film pendek Kanada yang disutradarai Roda Medhat. Film ini berkisah tentang seorang wanita muda yang tersesat/terlempar ke dunia fantasi, di mana ia seperti membayangkan bagaimana jadinya jika ia tak pernah meninggalkan negeri kelahirannya. Di dunia fantasi itu, ia mendengar denting irama oud yang dimainkan oleh seorang pria berwajah Kurdi.
Film ini digolongkan sebagai film berjenis eksperimental karena mungkin ia menuturkan kisahnya secara konotatif, simbolis, metaforis, samar-samar, atau alegoris, dan memiliki unsur imajis yang ketat. Artinya, ia tidak menajamkan pedang kisah—makna dan maksud tidak terbabar seperti bentangan layar putih yang sempurna. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah sinema eksperimental bekerja demikian?
Sementara Papaya adalah film pendek yang juga dari Kanada, disutradarai Dédé Chen. Film pendek ini menceritakan pengalaman kehidupan personal sang sineas sebagai anak adopsi China-Kanada.
Dédé Chen menggabungkan beberapa elemen seni dalam filmnya, salah satunya tari. Tarian itu saya lihat sebagai responnya terhadap kenangan keluarga dan kegalauan menjadi seorang anak hasil adopsi. Bukan sekadar instrumen penyegar mata. Di dalam ia juga menampilkan deretan arsip yang berkaitan dengan dirinya.
Dédé Chen sedang menanggapi pertanyaan penonton / Foto: Dok. Singaraja Menonton
Papaya bergerak dengan gaya mokumentari, dan membuka pintu-pintu gambar di sana lewat suara pencerita yang parau. Sejalan dengan Dutar, Papaya bertutur secara samar, kabur. Ia tak langsung membuka dirinya selebar mungkin.
Ia berusaha membuka dirinya dengan sepelan-pelannya, membiarkan para penonton bersabar mengikuti peristiwa-peristiwa di celah pintu yang tak tertutup rapat, juga tak terbuka lebar.
Film Papaya juga digolongkan sebagai film eksperimental. Sewaktu sesi tanya jawab, saya menanyakan tentang film ini kepada Dédé Chen yang kebetulan sekali menghadiri screening. Saya bertanya soal apa tolok ukur sebuah film dapat dikatakan sebagai film eksperimental? Karena saya pribadi tidak melihat jelas film garapannya adalah film yang berjenis eksperimental.
Namun wanita manis itu mencoba menjawab pertanyaan saya dengan berhati-hati, meski saya tahu pengelamannya terbatas soal ini. Ia menjawab kurang lebih begini:
“Sebagai sutradara, kami hanya mengerjakan dan menyelesaikan film. Jujur saya tak pernah mengetahui apakah film saya eksperimental atau tidak, karena bukan saya yang menentukan jenisnya. Saya yakin film adalah media katarsis. Di sana saya mencoba menuangkan kreativitas saya dengan memasukkan beberapa elemen dan mengolahnya melalui gaya yang non-konvensional.”
Itu adalah jawabannya yang tersisa dalam ingatan saya, mungkin itu kurang pas, atau ada yang sedikit tidak sengaja saya tambahkan sendiri. Namun saya ingat dia berbicara soal pendekatan non-konvensional yang dia lakukan. Dan seketika itu, pada saat yang sama, saya menyangsikannya.
Saya kembali bertanya-tanya apakah dengan gaya non-konvensional sebuah film dapat disebut sebagai eksperimental? Dan yang terpenting, apakah film yang digarapnya benar-benar diolah dengan gaya non-konvensional? Sebab barangkali itu bukanlah non-konvensional, barangkali malah itulah yang konvensional.
Membaca Ulang Sinema Eksperimental
Untuk menjawab itu kita harus kembali jauh menengok catatan perjalanan sinema eksperimental. Sepanjang perjalanan, ada perdebatan dan perbedaan yang lumayan sengit mengenai seperti apa sebenarnya sinema eksperimental.
Miskonsepsi yang paling banyak tumbuh adalah, pertama, film eksperimental merupakan film absurd, obskur, dan aneh. Kedua, bila ada sebuah film memiliki unsur surealis maka ia merupakan film eksperimental. Ini pembacaan yang keliru terhadap sinema eksperimental di era sekarang, yang mana sebenarnya kita membutuhkan pembacaan baru.
Pada era ini, era modern, tidak selamanya surealisme itu eksperimental sebagaimana tak selamanya dadaisme itu eksperimental. Un Chien Andalou, misalnya, yang digarap Salvador Dali dan Luis Bunuel, menjadi eksperimental karena film tersebut menggunakan sekian teknik yang tak terjamah dan tak terpikirkan di masanya.
Namun, seiring waktu teknik-teknik dan pendekatan mereka sudah terintegrasi menjadi metode standar sinematik dan siapa saja yang memanfaatkannya tidaklah serta-merta dengan mudah dapat disebut sebagai sineas eksperimental. Artinya, film-film sineas itu bukanlah sebuah eksperimen baru, tapi sebuah pengulangan demi pengulangan yang lebih tepat disebut dalam dunia film sebagai interpolarisasi.
Begitu pun yang akan kita dapatkan ketika kita berbicara tentang Neorealisme Italia. Keseluruhan film-film dalam gerakan tersebut dapat dikatakan sebagai sinema eksperimental karena ia menolak satu pakem konvensional sinema mainstream yang menggunakan aktor profesional. Nyaris semua produksi Neorealisme Italia mempergunakan aktor non-profesional untuk ke-realistis-an semesta filmnya.
Suasana pemutaran dan diskusi film Dutar dan Papaya serangkaian Minikino Film Week ke-9; Bali International Short Film Festival, di Warung Kopi DeKakiang Singaraja, Buleleng, Minggu, 17 September 2023 | Foto: Dok. Singaraja Menonton
Sehingga, di kemudian tahun mendatang ketika kemunculan French New Wave yang pula turut menggunakan aktor non-profesional tidaklah bisa dengan mudah disebut sebagai sebuah eksperimental, melainkan sebuah interpolarisasi.
Eksperimental haruslah sebuah eksperimen radikal tentang; pendekatan serta penemuan kebaharuan dan sejauh mana sebuah film membengkokkan sekat-sekat tradisional, menuju sinematik modern baik secara teknikal, tematikal, dan segala tetek bengeknya.
Kita bisa melihat itu dalam sekumpulan karya Michael Snow. Michael Snow merupakan sutradara eksperimental asal Kanada yang produktif berkarya pada rentang tahun 1960-2000-an. Karya-karyanya seperti Wavelenght, Back and Fort, dan La Région Centrale, merupakan gambaran ideal untuk melihat seperti apa itu sinema eksperimental yang menyelam jauh mengitari karang-karang kemungkinan samudera perfilman dan lolos dari cengkraman interpolarisasi.
Snow dikenal sebagai sineas yang ulet bereksperimen terhadap kinerja gerak kamera. Dalam La Région Centrale, ia memanfaatkan lengan robot yang sudah diprogramnya untuk menggerakkan kamera dalam menangkap lanskap pegunungan tak berpenghuni selama 24 jam—hitungannya diawali dengan gerak lambat memutar sebelum masuk putaran yang kian lama kian laju.
Tak hanya itu, karyanya yang lain, Back and Fort, juga melihat kinerja gerak kamera dalam paruh-paruh menit tertentu. Di sana ia menggerakkan kamera ke samping kanan dan kiri, kemudian ke atas dan bawah. Karya-karya Snow dipuji habis-habisan oleh banyak kritikus seni karena eksperimennya yang melihat sejauh mana sebuah mesin dapat stabil tanpa peran manusia di sisinya.
Melihat itu, kita sekali lagi mengetahui seperti apa konsep eksperimental dalam dunia sinema. Semenjak pertumbuhannya, eksperimental tidak lagi hanya dipandang tentang teknis, tetapi juga di luar dari hal tersebut—semisal seperti apa yang saya sebutkan sebelumnya di atas.
***
Kasus film pendek Dutar dan Papaya adalah kasus miskonsepsi pembacaan kontemporer terhadap bagaimana seharusnya kita menilai bentuk sinema eksperimental sekarang ini. Kedua film pendek tersebut, sejauh pengamatan saya, tidak memperlihatkan ornamen-ornamen kebaharuan dalam sinema kontemporer dunia sekarang ini. Di sana, keduanya tidak memberikan artistik radikal yang mendukung atau membuka cakrawala harapan dalam perfilman sebagaimana seharusnya film-film eksperimental lakukan.
Meskipun, semisal Dutar, bercerita dengan samar dan sedikit surealis, ia tetaplah film yang bukan eksperimental. Sebab kolom-kolom imajiner, semesta mimpi, atau kesamaran kisah yang mana menjelma gurun permainan sang sineas adalah permainan lampau para sineas dunia. Kita tak menemukan form/estetika baru dalam Dutar selain interpolarisasi dan klaim bahwa film tersebut berjenis eksperimental.
Begitu pula yang saya dapatkan dalam film pendek Papaya. Saya menyukai Papaya, tapi mengafirmasi film ini sebagai film eksperimental terasa susah sekali (walau sebetulnya hal tersebut tidak terlalu penting). Seperti yang diungkapkan Dédé Chen, filmnya keluar dari pakem konvensional sinematik yang padahal, menurut pandangan saya sendiri, filmnya tidaklah keluar ke mana-mana. Artinya Papaya adalah proyek yang masih konvensional, menggunakan skema mokumentari yang memang muncul di era modern ini dan telah banyak yang menggunakannya.
Papaya, sebagai sebuah film yang dikatakan eksperimental, sepanjang durasinya ternyata tak menyodorkan kebaharuan apa-apa selain 3 elemen yang dikolaborasikan, yang padahal juga sesungguhnya ketiga elemen tersebut telah dimanfaatkan lama oleh banyak sineas seperti Jonas Mekas, Andy Warhol, hingga Garin Nugroho.
Tetapi, yang perlu ditekankan sebenarnya adalah kita memerlukan pembacaan ulang untuk melihat konsep sinema eksperimental kontemporer yang seharusnya. Di sini saya tidak sepenuhnya bertujuan untuk menghakimi Dutar dan Papaya. Justru saya melihatnya sebagai film yang telah banyak di-miskonsepsikan senasib dengan The Three of Life karya Terrence Malick.
Selebihnya, saya beruntung memiliki kesempatan menonton Dutar dan Papaya, dan saya beruntung untuk pertama kali selama hidup saya, saya dapat berinteraksi secara langsung dengan sineas yang karyanya saya bicarakan.[T]
BACA ulasan film lainnya dari penulisAZMAN H BAHBEREH