TANGGAL 22 Maret 2016 di Brussels, Belgia, terjadi aksi terorisme yang terkoordinasi—dilancarkan oleh sekolompok ekstrimisme Islam di dua tempat yang berbeda. Pertama, bom diledakkan di Bandara Internasional Brussels. Kedua, ledakan besar terjadi lagi di kereta yang meninggalkan stasiun metro Maalbeek. Sementara serangan ketiga berbuah gagal, pelaku melarikan diri dari bandara tanpa meledakkan bomnya, yang nantinya ditemukan saat penggeledahan berlangsung.
Aksi keji ini mengakibatkan sekitar 32 orang tewas, lebih dari 300 orang mengalami luka-luka, dan nyaris seluruh warga Belgia melumpuhkan kepercayaannya atas komunitas Islam dan etnis Timur Tengah—mereka kembali menyecap trauma kolektif jangka panjang dan melanggengkan kembali stereotip prematur.
Dari sanalah, film Ma Gueule tahun 2022 lahir dan bereaksi. Film pendek produksi Belgia yang disutradarai Grégory Carnoli dan Thibaut Wohlfahrt tersebut berupaya menjadi, entah sintesis fenomenologi atau sekadar gambaran congkak atas stereotip prematur yang mengakar kuat di jantung eropa, khususnya Belgia modern ini.
Ma Gueule adalah salah satu film pendek yang diputar dalam Minikino Film Week ke-9; Bali International Short Film Festival. Film tersebut menjadi bagian screening program Surprise! yang ditayangkan Singaraja Menonton (kolaborator Minikino) di Warung Kopi DeKakiang Singaraja, Buleleng, pada Sabtu 16 September 2023, bersamaan dengan beberapa film pendek lainnya yaitu Kakak Jenggot, Garek, At Littele Wheelie Three Days Ago, Safe as Houses, dan Its You.
Pemutaran film Ma Gueule serangkaian Minikino Film Week ke-9; Bali International Short Film Festival, di Warung Kopi DeKakiang Singaraja, Buleleng, Sabtu 16 September 2023 | Foto: Dok. Singaraja Menonton
Ma Gueule menguntit perjalanan sehari semalam seorang pria 35 tahun bernama Stéphane Terrazi. Ia belum lama pindah ke Brussels bersama keluarganya. Di sana dua orang teman lamanya menyeretnya menonton pertandingan bola di sebuah bar, kemudian berlanjut dugem di kelab malam. Namun sesampainya di depan kelab malam, Stéphane mengalami kejadian tak menyenangkan—ia dilarang masuk karena beberapa alasan. Dan tepat pada malam itu pula, ia tertahan di satu absurditas ketakutan dan prasangka yang berlebih.
Arabphobia dan Trauma Kolektif
Konflik berawal dari Stéphane yang dilarang masuk ke kelab malam oleh petugas di sana menunggui temannya keluar, ia berkeliling parkiran sembari gelisah tak menentu. Ia berkaca di spion mobil, mengelus-ngelus kepala botaknya dan janggut panjangnya (betapa Timur Tengahnya ia), sampai dua orang berseragam polisi datang menciduknya dan menuduhnya hendak melakukan tindakan kriminal.
Kita akan melihat momen itu dengan perasaan curiga. Tanpa tedeng aling-aling, kedua polisi memborgolnya dan menginterograsinya seakan Stéphane adalah buronan teroris yang jejaknya sudah menghilang lama. Ia dipersekusi—diperlakukan buruk secara sistemik, sampai kita merasakan bahwa Ma Gueule bukanlah soal individu yang terdzolimi, namun di luar dari itu.
Bila kita membaca lagi dengan baik bagaimana Ma Gueule menuturkan kisahnya, kita akan memahami bahwa film ini, utamanya bukan saja tentang seorang pria yang dituduh setengah arab yang menjadi korban prasangka dini kedua polisi, tapi juga kedua polisi yang mana adalah representasi ideal sosial masyarakatnya tidak bisa menekukkan trauma kolektifnya atas dinamika Timur Tengah dan rentetan peristiwa ekstrimisme yang kahar melanda.
Sebab sejak 2004, kompilasi serangan ekstrimisme Arab atau Islam cukup membanjir di sekujur Eropa, dalam hal ini lebih khusus Eropa Barat. Bom di London, Paris, Nice, Brussels, dan Berlin, membuat fenomena ini menjadi perhatian utama masyarakat di sana, untuk lebih terbiasa bersikap was-was. Bahkan tak dinyana, ada posisi yang hampir sejajar antara etnis Timur Tengah dan orang-orang kulit hitam dalam pandangan masyarakat Eropa kulit putih—sekurang-kurangnya keduanya adalah biang keladi dari kriminalisasi tingkat semenjana sampai internasional, dan selalu ditempatkan di garis-garis batas suudzon dan husnudzon.
Fakta bahwa Stéphane mengalami penolakan sepihak ketika memasuki kelab malam oleh para pegawai bukan hanya karena alasan ia tak membawa kartu idenditas formal, tapi ia juga memiliki keterkaitan masa lalu dengan tindakan-tindakan kriminalnya—meski pada masa kini ia telah membenahi hidup dan mencintai keluarga kecilnya, adalah gambaran tegas seperti apa posisi keyakinan masyarakat akan keberadaan teror-teror berdampak negatif di negaranya.
Trauma kolektif ini kian menarik saat sang sutradara sendiri, Grégory Carnoli, mengalami banyak perundungan dan marjinalisasi etnis di kehidupan nyata, “Saya orang Italia tetapi saya memiliki darah Arab. Film ini terinspirasi oleh anekdot kehidupan yang saya alami selama kurang lebih 2 dasawarsa terakhir dan menyusunnya dalam satu malam untuk menyoroti rasisme, kejahatan rasial, dan paranoia orang-orang dalam situasi tertentu,” begitu yang ia sampaikan sendiri di dalam wawancaranya dengan Sudinfo, sebuah portal berita kontemporer Belgia.
Di sana ia mencoba melihat dan mewartakan bagaimana nantinya sebuah trauma di negaranya telah bertransformasi menjadi “waham” yang juga tentu mempunyai dampak negatif bagi komunitas diaspora yang masih dipandang sebelah mata.
Walau isu trauma kolektif demikian telah dibabarkan Paul Haggis 15 tahun yang lalu melalui Crash dengan kompleksitas multiplot tinggi yang mencerabuti kejahatan dan paranoia hyper orang kulit putih terhadap orang kulit hitam dan etnis-etnis asia di Amerika, tetap saja isu ini menjadi menarik dalam kepadatan kisah dari Ma Gueule. Ma Gueule dengan sadar memberikan ruang bagi kita untuk mencoba mengerti bahwa sebuah trauma kolektif benarlah berangkat dari pendasaran yang jelas lagi kuat.
Bentuk main hakim sendiri memang terasa nyata ketika Stéphane berulang kali mengaku kepada kedua polisi bahwa ia bukanlah orang Tunisia, bukanlah orang Maroko. Namun pada saat yang sama, hantu-hantu ekstrimisme juga terasa nyata ketika di penghujung durasi, ada sekuen di mana keluarga diaspora Arab menanti kedatangan anak lelakinya yang diduga kuat terjerumus ke dalam kelompok ekstrimisme yang cikal bakal memerangi kekafiran di daratan sejuk Eropa Barat.
Ma Guele bergerak dalam dua sungai perspektif yang berbeda—melahirkan tafsir jamak dan konklusi bahwa kehidupan tidaklah hitam putih. Kita tak bisa dengan mudah mengatakan kedua polisi dan para pekerja kelab malam sebagai orang yang rasis, dan kita juga tak bisa melihat Stéphane terus menerus dikambinghitamkan meski ia punya rekam jejak yang dapat diendus sejauh mungkin. Artinya, tak ada benar dan tak ada salah di luar sana. Kita tak lagi mengerti tolak ukur kebenaran dan kita tak lagi memahami tolak ukur kesalahan. Ma Gueule adalah potret yang ambigu tentang apa dan bagaimana post truth beroperasi dalam kehidupan pascamodern tanpa makna. [T]
- BACA ulasan film lainnya dari penulis AZMAN H BAHBEREH