SEJAK INDONESIA mengalami hyperinflasi pada 1967, saat Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita hanya senilai $53; saat negara ini begitu melarat dan menjadi negara paling miskin di Asia; saat itulah, MPRS mencabut mandat Soekarno (Orde Lama) sebagai presiden dan menunjuk Soeharto (Orde Baru) sebagai pejabat presiden.
Pada tahun setelah goro-goro G30S-PKI itu, menurut data yang dirilis oleh World Bank, Indonesia berada di peringkat ke-3 sebagai negara termiskin di dunia (peringkat 1 di Asia), tepat satu tingkat di bawah Mali dan sejajar dengan negara-negara Afrika.
Kita lebih miskin dari India, Vietnam, bahkan negeri konflik macam Afghanistan. Gejolak politik dan ekonomi yang berujung pada kemiskinan membuat rezim Orde Lama dipaksa mundur dan diganti dengan rezim Orde Baru.
Namun, memiliki pemimpin baru nyatanya juga tidak membawa Indonesia menjadi lebih baik. Jatuhnya Seokarno dan didapuknya Seoharto menjadi presiden harus dibayar mahal dengan mengorbankan demokrasi. Pada 15 Januari 1974, saat mahasiswa melakukan demonstrasi yang berujung kerusuhan besar, Orde Baru mulai menampakkan wajah aslinya.
Peristiwa yang dikenal dengan istilah Malari—malapetaka 15 Januari—itu berawal dari rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei ke Indonesia dan juga kisruh investasi asing saat itu. Jumlah korban peristiwa Malari adalah 11 orang tewas, 137 orang luka-luka, dan 750 orang ditangkap.
Setahun setelah peristiwa tersebut, jauh di Desa Bila, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali, tepatnya pada 15 November 1975, bersamaan dengan para pemimpin Perancis, Jerman Barat, Jepang, Italia, Inggris, dan Amerika Serikat memulai pertemuan puncak ekonomi mereka di sebuah kastil 30 mil dari Paris dan Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL) kembali menggunakan nama Korps Marinir, Dek Cita dilahirkan.
Dek Cita memiliki nama lengkap Kadek Cita Ardana Yudi. Ia lahir dari pasangan Ketut Pasar dan Nyoman Ranis. Ketut Pasar, bapaknya, selain sebagai petani, pada 1962 juga terpilih menjadi Kelian Subak—orang yang memimpin sistem pengairan sawah (irigasi) untuk bercocok tanam padi di Bali—di Desa Bila.
(Pada tahun itu, Indonesia sedang mengalami inflasi sampai 100% (year-on-year). Pemerintah secara serampangan mencetak uang untuk membayar utang dan mendanai proyek-proyek megah seperti Monas di Jakarta.)
“Saya lahir dari keluarga petani yang sederhana dan lumayan cukup pada masa itu. Pada tahun 1986-1994, bapak terpilih menjadi Kepada Desa Bila,” ujar Dek Cita, saat diwawancarai tatkala.co, Jumat (8/9/2023) sore.
Dek Cita adalah seorang advokat sekaligus politisi Partai Kebangkitan Nusantara (PKN). Jauh sebelum menjadi ahli hukum dan terjun di dunia politik, dulu Dek Cita adalah seorang aktivis mahasiswa yang berpengaruh di Bali.
Pria lulusan S1 Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana itu mengaku mulai tertarik menjadi aktivis mahasiswa sejak terpilih menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Biologi pada 1994 dan setelah membaca buku Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. “Rasanya belum menjadi aktivis mahasiswa kalau belum membaca buku itu,” katanya, sembari tertawa.
Catatan Seorang Demonstran (1983) merupakan buku harian Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa angkatan ’66 yang menjunjung tinggi idealismenya sampai wafat. Gie—sebagaimana judul film karya Riri Riza tahun 2005—menulis buku harian sejak duduk di bangku SMP. Saat itu dia baru berumur 15 tahun.
Gie menulis sampai dengan tanggal 10 Desember 1969, atau 6 hari sebelum kematiannya. (Daniel Dhakidae, yang ikut menyiapkan buku ini saat pra cetak mengatakan bahwa dalam buku ini catatan harian terakhir yang termuat adalah pada tanggal 8 Desember 1969.)
“Membaca buku itu membuat saya sadar, terkadang apa yang kita lakukan sekarang mungkin akan berdampak besar di kemudian hari, entah untuk diri sendiri, maupun untuk orang-orang di sekitar kita,” terang alumni SMA Negeri 3 Singaraja itu.
Karier Dek Cita sebagai aktivis mahasiswa tidak berhenti sampai di situ, pada tahun yang sama, ia juga dipercaya sebagai penanggung jawab Majalah Leucopsar, majalah mahasiswa jurusan Biologi UNUD. Dan berkat kesuksesannya memimpin mahasiswa di jurusannya, pada 1995 ia terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa FMIPA UNUD.
Selain aktif sebagai aktivis mahasiswa non-agama, Dek Cita juga aktif di organisasi mahasiswa keagamaan. Pada tahun 1994–1997, ia tercatat sebagai anggota FPMHD (Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma) UNUD dan pada 1995–1998 sebagai kader KMHDI (Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia) Bali.
Pada 1998, saat menjelang jatuhnya rezim Orde Baru, Dek Cita ikut terlibat dalam memperjuangkan demokrasi. Pada saat itu, demonstrasi terus berlangsung setelah Presiden Soeharto turun dan menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Mahasiswa di Bali menuntut agar jejaring politik lokal yang saat itu berkuasa untuk mengundurkan diri. Salah satunya aksi puluhan ribu massa di gedung DPRD Bali yang berakhir dengan adanya pernyataan mundur dari Ketua DPRD Bali saat itu, Ketut Sundria.
“Kita tahu di masa Orde Baru demokrasi ‘dikebiri’. Kebebasan berserikat dan berpendapat diatur oleh negara. Dan sebagai seorang insan akademis, pada saat itu, kami beramai-ramai turun ke jalan menuntut hak-hak warga negara yang dibatasi,” kenang Dek Cita.
Pada tahun 2002, setelah melewati jalan terjal menjadi mahasiswa pergerakan, Dek Cita akhirnya lulus dan meraih gelar sarjana S1-nya. Sejalan dengan itu, ia bekerja sebagai Unit Manager Divisi Executive Asuransi Bumi Putra. Selesai di Bumi Putra, sampai tahun 2003 Dek Cita bekerja di Finansial Consultant pada Aliianz Life Insurance.
Terlibat Langsung dalam Politik
Tak terbayangkan oleh siapa pun bahwa Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur—sebagaimana ia lebih umum dikenal—dapat mengumpulkan cukup suara untuk dapat terpilih sebagai presiden pada tahun 1999.
Bagaimanapun, dalam pemilihan umum bulan Juni, Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati memenangkan lebih dari sepertiga suara. Partai Gus Dur sendiri—Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)—memperoleh kurang dari 13 persen suara, separo lebih sedikit dari yang diperoleh partai milik Habibie, Partai Golkar.
Narasi di atas ditulis oleh Greg Barton dalam prolognya di buku Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, buku yang ditulisnya dan terjemahannya diterbitkan LKiS tahun 2003.
Selang beberapa menit setelah voting pemilihan Presiden Republik Indonesia tahun 1999 selesai disiarkan langsung dari Jakarta Pusat, dengan kemenangan Gus Dur, masyarakat pendukung PDI-P di Bali, khususnya di Buleleng, mulai bereaksi negatif, seperti—meminjam istilah Prof. I Made Pageh—”Raja Singa” yang selama ini ”tertidur nyenyak” terbangun dan ngamuk, membumi-hanguskan berbagai fasilitas umum di Buleleng.
Di tengah sisa riak kerusuhan politik tersebut, menjelang Pemilu 2004, Dek Cita mendaftar dan lolos sebagai anggota KPU Kota Denpasar periode 2003–2008. Ini adalah awal ia terlibat dalam dunia politik secara langsung.
Tahun itu, sebagai anggota penyelenggara pemilu, Dek Cita termasuk orang yang berani. Mengingat, kondisi politik di Bali tahun itu memang sedang mencekam. Namun, berkat pengalaman dan pengetahuannya tentang politik dan sebagai seorang mantan aktivis mahasiswa, ia sudah tak heran dan kaget dengan kondisi demikian.
“Sebagai penyelenggara pemilu kami harus siap dengan kondisi apa pun. Dan benar, tahun 2000-an kondisi politik di Bali memang mencekam,” kenang Dek Cita.
Empat tahun setelah Susilo Bambang Yudhoyono memenangkan Pemilu 2004 dan terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia—setelah mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi; Wiranto dan Salahuddin Wahid; Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo—Dek Cita terpilih sebagai Ketua KPU Kabupaten Buleleng periode 2008-2013. Dan setelah menamatkan kariernya di KPU, dari 2013 sampai 2018, selama lima tahun, ia dipercaya sebagai tenaga ahli Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Tak ingin hanya terlibat sebagai penyelenggara pemilu, setelah menjadi tim ahli DPR RI, pada tahun 2018 Dek Cita bergabung dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)—partai yang dirintis oleh Jend. TNI (Purn) Wiranto bersama para tokoh nasional seperti Dr. Fuad Bawazier, Yus Usman Sumanegara, dan beberapa pensiunan TNI, yang menggelar pertemuan di Jakarta pada tanggal 13 November 2006.
Selama berkarier di Hanura, Dek Cita pernah menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua DPD Hanura Bali. Namun, pada tahun 2022, setelah menjadi bagian dari Hanura, ia memilih hijrah ke Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) dan menjadi Sekretaris Pimpinan Daerah PKN Bali.
Tetapi, selain aktif di dunia politik, Dek Cita juga melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Hukum Ngurah Rai Denpasar dan meraih gelar magister hukum pada tahun 2020. Atas gelar yang didapatnya tersebut, saat ini ia menjadi seorang advokat/Office Manager Berdikari Law Office.
Politik Keseimbangan
Seorang politisi idealnya juga sekaligus seorang pemikir—atau setidaknya memiliki pemikiran. Seperti zaman dulu, nyaris tak ada politisi yang tidak memiliki pemikiran. Nama-nama besar seperti Soekarno, Hatta, Natsir, Syahrir, Tan, Aidit, dll, semua memiliki pemikiran-pemikiran terkait bangsa dan negara—terlepas pro-kontra atasnya.
Begitu pula dengan Dek Cita, sebagai seorang politisi, ia memiliki pemikiran dan memandang bahwa politik adalah keseimbangan. Maksudnya, bahwa semua harus diatur sesuai porsinya masing-masing, seimbang, tidak berat-sebelah.
Ia mengaku, pikiran itu terinspirasi dari sosok Ketut Pasar, bapaknya, saat menjabat sebagai Kepala Desa Bila. Saat itu, katanya, bapaknya sering mendapat serangan dari lawan politik yang tidak suka dengan kebijakannya. Namun, alih-alih tersinggung, marah, atau balas menyerang, sikap bapaknya justru membuatnya kaget.
“Mendapat perlakuan seperti itu, bapak malah menjadikannya sebagai bahan pertimbangan. Dia malah mencoba mencari titik tengah atas apa yang dipersoalkan. Jadi, selama menjabat, bapak selalu menempatkan diri di tengah—benar-benar di tengah—menjadi penyeimbang,” jelasnya.
Dek Cita bercerita, politik di Bali tahun 80an, khususnya di Bila, terkesan sangat kaku. Persaingan atau pertarungan politik—untuk tidak mengatakan permusuhan—dipelihara secara turun-temurun.
“Pada saat bapak terpilih sebagai kepada desa, beberapa orang menuduhnya memiliki ilmu nyethik, bisa meracun,” ungkap Dek Cita. Dari bapaknya, ia mendapat pengalaman dan pelajaran tentang bagaimana sikap menjadi seorang politisi. Ia bahkan sampai mengerti bagaimana gestur orang-orang yang mendatangi rumahnya, dulu.
“Tapi bapak menganggap itu semua sebagai bentuk keseimbangan. Artinya, seberapa banyak orang yang menyukai kita, segitu juga orang yang tidak suka dengan kita,” imbuhnya, menjelaskan.
Puncak dari kesadarannya atas politik keseimbangan itu setelah mendengar cerita tentang bagaimana bapaknya terpilih sebagai kepala desa tahun ‘86 dengan kemenangan yang tipis. Bapaknya berkata, “Pemimpin itu tidak harus menang secara mutlak. Karena kalau mutlak ia bisa sombong dan semena-mena menggunakan kekuasaannya.” Kata-kata itu yang memantik dirinya untuk menjadi seorang politisi.
Pada akhirnya, Dek Cita menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah bentuk keseimbangan. Dalam demokrasi, misalnya, adanya koalisi dan oposisi adalah bentuk kewajaran, keniscayaan, sebagaimana ada kanan dan kiri, hitam dan putih, panas dan dingin, pro dan kontra. Maka, demokrasi yang seragam baginya adalah bentuk kemunduran. Sebab, demokrasi hadir bukan untuk menyeragamkan , tapi untuk memberi kebebasan dalam kehidupan yang beragam.[T]
Baca juga artikel terkait TOKOH atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana