“TUNGGU SEBENTAR. Tinggal sedikit lagi selesai, ini masih mau merapikan besi-besi yang tak terpakai,” kata M. Najib, 26 tahun, ketika dihubungi di sela-sela kesibukannya menjadi tukang las di Denpasar.
Pada tahun 2016, pemuda kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur, itu datang ke Singaraja dengan tujuan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, karena situasi dan kondisi keuangannya tidak memberi kesempatan dirinya untuk leyeh-leyeh, maka terpaksa, mau tidak mau, selain kuliah, ia juga harus bekerja.
Mbah Najib—begitu ia akrab dipanggil—kini tercatat sebagai mahasiswa Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi, Universitas Pendidikan Ganesha, yang sedang menunggu jadwal wisuda.
Benar. Najib baru saja menyelesaikan tugas akhirnya pada bulan Agustus lalu. Artinya, ia menyelesaikan kuliah sampai 14 semester, tujuh tahun lamanya. Hal ini bukan tanpa sebab, seperti yang sempat disinggung di atas, ia memilih menunda kelulusannya karena ia sibuk mencari uang untuk memenuhi kebutuhannya selama hidup di Singaraja.
“Aku kuliah sambil kerja—untuk mencukupi biaya hidup dari semester tiga. Maklum, anak rantau,” ucapnya, kepada tatkala.co, Senin (04/09/2023).
Selama menjadi mahasiswa perantauan, ia mengaku harus memanage keuangannya dengan sangat teliti. Ia juga mengatur kebutuhan hidup dan kebutuhan kuliahnya dengan sangat rinci.
Najib menjelaskan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama di Singaraja, ia kerap bekerja apa saja, asal mendapatkan upah. Mahasiswa pecinta sholawat nabi itu mengaku pernah bekerja sebagai pelayan di warung lalapan, jual sempol, menjadi tukang las panggilan, sampai mencuci mobil dan membersihkan rumah dosen. “Selama ada cuan, ya digas aja,” katanya, sembari tertawa.
Salah satu pekerjaan yang paling lama digeluti Najib—dan menghasilkan banyak uang, tentu saja—adalah menjadi tukang las panggilan.
Ia bercerita, keahliannya dalam hal mengurus rumah, berjualan, dan sebagai teknisi elektronik, khususnya tukang las, didapatkannya saat masih SMA di salah satu pondok pesantren di Lamongan, Jawa Timur. Apa yang ia dabatkan dari pondok pesantren itulah yang membantunya bertahan hidup di Singaraja.
“Jadi biasanya orang mondok itu dapat ilmu agama, tapi aku justru mendapat ilmu untuk hidup,” terangnya sambil bercanda.
Selama ini Najib jarang—bahkan nyaris tidak pernah—meminta kiriman uang dari orang tuanya di Bojonegoro kecuali sangat kepepet. Ia lebih baik berhutang kepada teman atau saudaranya daripada harus merepotkan kedua orang tuanya.
“Untungnya ada kerjaan di sini [Singaraja], jadinya aku tidak pernah meminta kiriman uang dari orang tua, bahkan aku yang sering ngirim uang ke rumah, kalau ada rezeki lebih. Alhamdulillah,” ujarnya, bersyukur.
Bukan saja memiliki keahlian teknis pekerjaan, Najib juga memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik. Ia tak mau membatasi pergaulan. Dan dalam beberapa hal, ia meyakini itu dapat menolongnya. Atas kemampuannya tersebut, selain memiliki banyak teman, ia juga menjalin kedekatan dengan beberapa dosen di kampusnya. Oleh karena itu, ia kerap mendapat pekerjaan dari dosen-dosen tersebut.
Najib mengaku, salah satu dosen Undiksha yang dekat dengannya adalah I Putu Gede Parma—dosen Fakultas Ekonomi sekaligus Ketua KNPI Buleleng. Kedekatannya dengan doktor lulusan pariwisata tersebut dimulai ketika ia masih aktif di organisasi eksternal kampus, dulu.
“Tahu Pak Parma, kan? Itu bosku. Untung ada beliau yang sering ngasih kerjaan. Jadi kalau beliau menelpon, aku langsung berpikir, rezeki akan segera tiba,” ucapnya dengan logat Jawanya yang khas.
Selain mendapat pekerjaan dari para dosen, Najib juga kerap menerima pesanan dari orang-orang Singaraja seperti kursi, meja, dan booth container. Dan ia bersyukur karena selama proses skripsian ia mendapat tawaran untuk ngelas pagar rumah milik salah seorang teman di Singaraja. “Untung saja pas skripsian ada kerjaan ngelas, jadinya untuk biaya skripsian, aku tidak terlalu ambil pusing,” katanya.
Berbeda dengan Najib, Muhammad Addinu Farhan, mahasiswa asal Banyuwangi, memutuskan untuk berhenti dari tempat kerjanya sebagai tenaga pengajar di salah satu SMP swasta di Buleleng. Ia harus fokus menyelesaikan skripsinya yang hampir tak tersentuh itu.
“Aku kemarin kerja sebagai tenaga pengajar ‘pembantu’ di salah satu SMP swasta di Buleleng. Karena semester sudah memasuki fase kritis, jadinya aku resign dari sekolah. Tujuannya biar bisa fokus skripsian,” ujarnya, kepada tatkala.co, Selasa (05/09/2023).
Tampaknya, keputusannya untuk berhenti sebagai guru “pembantu” dengan tujuan agar fokus skripsian tidaklah berjalan sesuai rencana. Pasalnya, setelah ia memutuskan keluar dari sekolah tempatnya mengajar, pemasukannya jadi macet dan malah kesusahan untuk memenuhi hidup dan biaya skripsian.
“Jadi sekarang aku memutuskan jadi driver ojek online,” ungkapnya.
Dino—panggilan akrabnya—memutuskan menjadi driver Grab sejak tahun 2022 sampai sekarang. Ia merasa, menjadi seorang driver rasanya lebih fleksibel daripada menjadi guru. Dengan begitu, Dino bisa dengan mudah membagi waktu antara bekerja dan mengerjakan tugas akhir. “Biasanya pagi skripsian ke kampus, sorenya ngegrab,” terangnya, sambil menisap rokoknya.
Saat ini Dino sudah menginjak semester 13. Maka dari itu, di sela-sela kesibukannya menerima pesanan “sesuai aplikasi”, ia juga selalu menyempatkan diri untuk menyelesaikan revisian skripsinya. Akibatnya, Dino harus rela mengurangi jatah istirahatnya.
Mahasiswa perantau yang berasal dari Blok Agung itu, untuk menyiasati biaya pengeluaran supaya lebih sedikit, ia memilih menyewa rumah kontrakan bersama teman-temannya di Sambangan, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng.
“Lumayan, jatuhnya lebih murah. Kalau kos sendiri perbulan 600 ribu; kalau ngontrak, pertahun hanya 6 juta. Itupun di bagi enam orang,” jelasnya.
Selain Najib dan Dino, mahasiswi bernama Ana—bukan nama asli—juga harus rela mengorbankan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mengambil pekerjaan-pekerjaan survei. Mahasiswi kelahiran Lombok Timur, NTB, itu kerap mendapat pekerjaan survei dari seniornya di organisasi mahasiswa eksternal kampus yang diikutinya.
“Biasanya saya mendapat pekerjaan survei kepuasan masyarakat sampai survei elektabilitas politik,” terangnya, kepada tatkala.co, Selasa (5/9/2023) siang.
Ana mengaku, biasanya saat menjelang pemilu atau pilkada, bersama beberapa temannya ia akan sibuk merekap data-data hasil kuesioner yang telah disebarkan di masyarakat. Selama ini, Ana sudah banyak mengerjakan survei dari banyak lembaga survei, di antaranya seperti Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA.
Meski nasib Ana lebih beruntung daripada Najib dan Dino, ia sebenarnya juga tidak mau selalu tergantung dengan uang kiriman dari orang tuannya. “Sebenarnya setiap bulan saya dapat kiriman dari orang tua, tapi semakin dewasa rasanya tidak enak aja,” ujarnya, sambil tertawa.
Apa yang dilakukan Najib, Dino, maupun Ana, merupakan sedikit contoh dari banyaknya mahasiswa perantau di Singaraja dalam bertahan hidup.
Pada saat teman-teman mereka menikmati masa kuliahnya dengan liburan, menikmati hiburan (party), mereka lebih memilih untuk mandiri dan mencicipi dunia kerja terlebih dahulu sebelum menyelesaikan pendidikan dan benar-benar terjun di dalam dunia kerja yang sesungguhnya.
Biaya Hidup di Singaraja
Sebagai sebuah kota, mengacu pada artikel yang diterbitkan oleh bfi.co.id, Singaraja termasuk ke dalam kategori daerah dengan biaya hidup termurah. Hal ini didasarkan atas Survei Biaya Hidup (SBH) tahun 2018 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Artikel berjudul 10 Kota dengan Biaya Hidup Termurah di Indonesia itu menempatkan Singaraja di peringkat ke-10 sebagai kota dengan biaya hidup termurah, yakni 3,11 juta per bulan untuk satu keluarga.
Peringkat tersebut di atas Kota Probolinggo, Sibolga, Purwokerto, Cirebon, Metro, Solo, Yogyakarta, Kudus, dan Banyuwangi—yang menempati peringkat pertama dengan biaya hidup termurah di Indonesia dengan kisaran 3,03 juta untuk satu keluarga yang berisi 4 orang.
Jika dibandingkan dengan Surabaya misalnya, merujuk pada artikel di bayarind.id, biaya hidup di Singaraja jauh lebih murah. Sebagai kota yang masuk dalam jajaran kota terbesar di Indonesia, biaya kos di Surabaya mencapai 700 ribu per bulan. Dan biaya pendidikan, harga makanan, dan transportasi juga terbilang lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Jawa Timur.
Sedangkan di Singaraja, untuk biaya sewa kos kisaran 500 ribu perbulan—meskipun untuk sebagian mahasiswa, harga tersebut masih tergolong tinggi. Maka dari itu banyak mahasiswa yang memilih kos yang jaraknya sedikit lebih jauh dari kampus. Karena semakin jauh dari kampus, maka harga sewanya menjadi sedikit murah—bahkan ada yang 300 ribu perbulan.
Namun, ada juga mahasiswa yang lebih memilih untuk menyewa satu rumah dengan cara ngontrak selama satu tahun bersama teman-temannya, agar biaya tempat tinggal menjadi lebih ringan, seperti yang dilakukan oleh Dino dan rekan-rekannya.
Untuk biaya makan di Singaraja juga tergolong murah. Anda masih bisa menemukan nasi jinggo dengan harga 5 ribu dan menikmati nasi kuning yang tidak sampai merogoh kocek. Banyaknya penjual makanan murah di Singaraja membuat mahasiswa bisa agak sedikit mengirit biaya.
Seperti Oktavian, misalnya. Mahasiswa perantau dari Blitar, Jawa Timur, itu, dalam urusan makan, ia tidak terlalu khawatir. “Untuk sarapan ada nasi pecel dengan harga 7 ribu, makan sore bisa beli nasi bungkus harga 10 ribu, dan kalau malam lapar, ada nasi kuning yang masih bisa di beli dengan harga 5 ribu,” ujarnya, kepada tatkala.co saat ditemui di kontrakannya di Sambangan, Senin (4/9/2023). Jadi, bisa dipastikan, untuk biaya makan di Singaraja perharinya tidak lebih dari 30 ribu.
Menurut mahasiswa yang akrap dipanggil Vian itu, hal terboros yang pernah dilakukan selama menjadi mahasiswa di Singaraja adalah saat ia memilih menyewa kos sendiri di awal-awal pertama masuk kuliah. “Dulu aku ngekos sendiri, jadinya pengeluaran terasa lebih banyak,” sesalnya.
Atas pengalaman tersebut, saat ini ia memilih untuk menyewa satu rumah dengan cara mengontrak bersama rekan-rekannya, seperti yang dilakukan Dino dkk.
Namun, meski tergolong sebagai kota dengan biaya hidup murah, bagi beberapa mahasiswa perantauan yang tidak mau merepotkan orang tua, Singaraja tetaplah kota yang memiliki tekanannya sendiri, seperti kota-kota lainnya di seluruh Indonesia.[T]
Baca juga artikel terkait LIPUTAN KHUSUS menarik lainnya DI SINI