BALI, dan banyak wilayah lain di Indonesia, punya bahasa beragam dalam menyebut pengalaman ‘di luar nalar’, ‘tidak logis’, ‘gaib’. Niskala, menurut kamus besar bahasa Indonesia bermakna: ‘tidak berwujud; tidak berbeda; mujarad; abstrak’
Itu pula yang saya alami dan rasakan hampir tiga bulan lalu. Tangkapan layar ‘berita kehilangan’ diri saya yang dikirim kekasih di akun media sosialnya masih tersimpan rapi di komputer. Minggu pertama pada bulan Juni 2023. Ketika itu saya baru berhenti bekerja, kejadian yang amat menguras pikiran—pengalaman sama dulu juga demikian. Ada pola berulang pada diri saya. Kehilangan pekerjaan adalah sesuatu yang sangat berat: tidak hanya soal finansial, tetapi juga keseharian yang terganggu; kesulitan ekonomi pasti berdampak pada kondisi mental. Orang awam sekali pun pasti pernah mengalaminya. Hal yang sangat manusiawi sebagai manusia.
Jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari, saat ‘pesan-pesan’ gaib berikut suara di sekitar menyuruh saya meninggalkan kontrakan; mengambil tas, dompet, dan kunci sepeda motor lalu bergegas pergi ke arah timur kota. Bahan bakar tinggal setengah tangki—dan saya tahu SPBU tidak semuanya buka 24 jam. Saya lebih percaya ‘suara-suara’ gaib itu—memacu sepeda motor agak kencang, mengikuti truk dan mobil boks yang lewat dini hari tersebut. Tidak ada rasa takut atau waswas—saya merasa akan selalu dilindungi kekuatan dan entitas “gaib” yang menyuruh saya pergi. Tidak bisa ditunda atau ditawar-tawar lagi.
Jalanan saat itu sepi sekali. Hanya satu-dua kendaraan yang tampak. Namun, saat memasuki wilayah yang tidak lagi di kota—saya mendapati pasar yang ramai. Ada kegiatan adat di sana—di pinggir jalan saya dengan jelas membaca tulisan nama tempat yang sama dengan nama kota kelahiran saya. Tetapi ini di wilayah yang berbeda. Aneh, mungkin saja ini sebuah kebetulan.
Saya diyakini untuk terus melaju. Jalan di depan saya sunyi. Sekumpulan anjing bergerombol di depan saya. Agak riskan juga, karena mereka mengonggong keras. Laju sepeda motor saya kurangi, “suara” gaib menyuruh saya tidak berhenti. Aman. Saya bisa melewati anjing-anjing itu. Saya teringat cerita lama tentang sebuah tempat yang selalu dijaga anjing atau binatang penjaga lain. Mungkin di tempat tersebut seperti itu, pikir saya.
Hingga saya masuk ke tempat belajar yoga dan meditasi—modern, di tengah desa yang diapit sungai. Saat saya ada di tempat parkir, saya mendapati ada orang yang sedang menjemput tamunya. Sepertinya dia pemandu wisata atau supir kendaraan sewaan.
Setelah beristirahat duduk di sana sekitar satu jam, “suara-suara” gaib terdengar lagi. Ia menyuruh saya melanjutkan perjalanan, melewati jembatan di sungai. Kemudian masuk ke wilayah persawahan. Langit bertaburan bintang. Indah sekali. Saya sangat menikmati pemandangan itu. Tenang dan ikhlas. Hanya itu bekal saya di perjalanan dini hari tersebut.
Sawah luas terbentang di sana. Hingga akhirnya saya menemui beberapa rumah penduduk. Jalan kecil menghubungkan saya dengan jalan yang lebih besar. Agaknya ini di wilayah yang lain—mungkin jalan menuju kota. Pagi mulai menampakkan dirinya. Saya tetap terus berjalan.
Karena ponsel tidak saya bawa saat pergi dari rumah, tentulah saya tak bisa mencari tahu di mana saya berada. Hanya keterangan nama pada rambu lalu lintas yang memberi peta saya berada di mana. Saya tetap tenang dan berjalan kaki. Seorang ibu yang menyapu halaman rumah menanyakan saya dari mana dan hendak ke mana. Saya menjawab ingin ke padepokan guru spiritual yang saya ikuti sejak lama. Guru itu tinggal di destinasi turistik di sana.
Ia menyarankan saya menaiki angkutan umum, sembari memberi uang sekedarnya. Saya berterima kasih, lalu melanjutkan perjalanan. Angkutan umum jarang dan sulit dijumpai di sana. Berjalanan kaki menjadi satu-satunya cara, agar saya sampai di tempat yang ingin saya tuju.
Ada satu momen di mana saya merasa berputar-putar pada wilayah yang sama. Saya teringat perkataan mendiang ayah kandung saya yang pernah melarang keras agar saya tidak lagi keluar rumah terutama saat sebelum pukul 06.00 pagi. Baginya, sebelum waktu tersebut—alam masih dihuni banyak makhluk gaib—dan saya kini percaya apa yang pernah beliau sampaikan dulu.
Pada sebuah tempat—saya bertemu pria dengan penampilan trendi, “orang kota”. Bercelana sport, memakai sepatu, jam tangan. Agak aneh di desa yang sepi ada orang berpenampilan seperti itu. Langkahnya agak aneh, seperti orang yang belari, tapi juga berjalan. Lelaki itu menyapa saya ketika saya terus berada di belakangnya—agar tidak kehilangan arah lagi—berputar-putar, seperti di tempat sebelumnya.
Ia menyuruh saya mengikutinya, hingga sampailah kami di jalan dekat pasar. Dia bilang: “tunggu saya di pinggir jalan, ya! Saya mau bayar utang dulu di koperasi di dekat sini.” Pagi itu sekitar pukul 06.00 lewat sedikit. Tentu koperasi belum buka. Benar saja, ia berbalik lagi, berkata hendak menunggu kawannya untuk memimjam kendaraan agar bisa mengantar saya.
Saya bilang tidak usah repot-repot. Dia kemudian mengiyakan, lalu berjalan lagi ke jalan sepi yang saya yakin itu dekat dengan Pura Dalem—di Bali, ini kawasan sakral karena juga terdapat setra (kuburan).
Saya tidak merasa takut, karena dia begitu baik pada saya. Bahkan memberi saya uang untuk membeli minuman saat di jalan nanti. Tidak hanya seorang—saat “lari-lari” di jalan ada juga perempuan yang menghampirinya dan menanyakan siapa saya. Apakah mereka itu “memedi”/wong samar? Entahlah. Saya terus berjalan kaki dengan perasaan tenang. [T]
[Bersambung…]
Denpasar, 30 Agustus 2023, 00:54 WITA