MESKI SEBAGAI orang Jawa yang tumbuh besar di Bali, tapi saya tak merasa benar-benar jauh dari Jawa. Entah dari budaya, bahasa, maupun makanannya. Sebab, di sini—di Singaraja—saya masih dapat menemukan “Jawa” itu sendiri. Misalnya, di rumah makan yang diberi nama daerah-daerah di Jawa, para pedagang di pasar, dan tentu saja di kontrakan, tempat tinggal saya yang notabene diisi orang-orang Jawa.
Menjadi orang Jawa di tanah rantau bagi saya tak begitu sulit untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, meskipun tetap tak bisa mengubah gaya bahasa Indonesia saya yang masih medhok. Tapi tak apa, toh, saya memang orang Jawa, kan?
Saya akui, orang Jawa memang ada di mana-mana, bahkan di seluruh Indonesia. Hal tersebut, dalam konteks yang lebih gawat, ini bisa saja dianggap “penjajahan” secara halus atau kecil-kecilan. Bukan saja secara fisik, orang Jawa juga telah “menjajah” secara kebudayaan. Salah satunya adalah melalui lagu-lagu Jawa, khususnya lagu-lagu yang bagi sebagian orang dianggap sebagai dangdut modern.
Ya, ambil contoh saja di Kota Singaraja. Hampir sebagian besar masyarakat di Singaraja—setidaknya yang dekat dengan saya—sekarang tahu, bahkan hafal dengan lagu-lagu Jawa yang terkesan melankolia itu. Meskipun saya yakin, hanya ada sedikit orang Singaraja yang paham ari lagu berbahasa Jawa.
Banar. Setelah sempat beberapa tahun terakhir lagu-lagu bernuansa campursarian Didi Kempot menjamur dari kalangan muda dan tua, kini muncul pula penyanyi-penyanyi baru yang hadir dengan membawa nuansa Jawa modern, mencampurkan unsur pop, dangdut, keroncong, dan jazz dalam satu lagu.
Akibat dari meledaknya lagu-lagu dangdut Jawa yang mungkin sampai ke seluruh Indonesia itu, membuat adanya pergeseran selera musik di kalangan masyarakat. Bukan saja berpengaruh terhadap selera musik, tapi hal tersebut juga diiringi dengan lunturnya kreatifitas—maksudnya banyak musisi yang akhirnya ikut-ikutan tren tersebut.
Seperti di Singaraja, misalnya. Belum lama ini muncul satu sosok penyanyi pendatang baru bernama Bagus Wirata, yang terkenal dengan hok a hok e nya. Penyanyi yang terkenal sejak tahun 2021 itu memang sedang naik daun dengan gaya dangdut ukulelenya. Dan bohong rasanya kalau penembang lagu Magelang Rindu dan Demen Pedidi itu tak meniru lagu-lagu koplo Jawa.
Ya, lagi-lagi dangdut koplo. Padahal, bukankah di Bali sudah ada gaya bermusik dengan nuansa Pop Balinya? Seperti misal, lagu Kamu sing Nawang milik Leeyonk Sinatra, atau lagu-lagu AA Raka Sidan dengan Song Brerong sebagai tembang hitsnya. Dan tentu masih banyak musisi Bali dengan khas Pop Balinya. Tapi entah alasan apa yang membuat Bagus Wirata memilih gaya bermusik yang sekilas mirip dengan gaya dari Denny Caknan Dkk.
Lalu, yang jadi pertanyaannya adalah, mungkinkah masyarakat Indonesia di luar Bali mengonsumsi lagu-lagu dangdut ukulele Bagus Wirata seperti lagu-lagu dangdut Jawa dari Denny Caknan Dkk? Oh maaf, untuk hal ini saya belum bisa menjawabnya.
Tetapi, terlepas dari itu semua, dunia musik kita seolah sedang menuju ke arah keseragaman genre, meski masih ada beberapa musisi yang menampilkan genre yang berbeda.
***
Sekarang, lagu-lagu Jawa menjadi trend tentu tidak bisa dipisahkan dengan peran media sosial. Sebab, media sosial memberikan ruang yang begitu luas untuk para Musisi mengenalkan karya-karya mereka dengan sangat mudah dan cepat.
Berbeda dengan musisi-musisi era 90-an yang harus masuk label musik tertentu agar bisa mendistribusikan karya-karyanya ke khalayak yang lebih luas. Jadi, mulai dari proses rekaman, kemudian advertising company, sampai pada tahap publishing company, musisi era 90-an tak bisa melakukannya sendiri.
Namun, sebaliknya, musisi zaman sekarang dapat melakukan hal tersebut hanya dengan seorang diri—dengan kecanggihan teknologi. Bahkan, untuk proses marketing pun, mereka sudah sangat mudah karena memiliki kanal YouTube–nya masing-masing.
Ledakan musik dangdut Jawa juga dipengaruhi oleh budaya kekinian para pengguna media sosial seperti Instagram maupun Tiktok. Sebab, konten-konten yang dihadirkan dari algoritma kedua media sosial ini biasanya menggunakan backsound lagu-lagu dangdut koplo Jawa.
Banyak influencer media sosial kerap menggunakan backsound lagu jawa pada setiap kontennya. Seperti Nopek Novian dan Agus Kotak, misalnya, yang kerap membagikan konten-kontennya dengan berisikan lagu-lagu Jawa pada akhir videonya. Karena hal tersebutlah, menjadikan lagu dangdut Jawa cepat menjadi populer di kalangan anak muda zaman sekarang, di seluruh Indonesia.
Salah satu musisi dangdut Jawa yang terkenal ialah Denny Setiawan atau lebih terkenal dengan nama panggung Denny Caknan. Penyanyi yang karier bermusiknya melejit lewat single lagu yang berjudul Kartonyono Medot Janji itu hadir dengan membawa nuansa perubahan gaya musik dangdut Jawa yang tampak lebih modern.
Sebab, lagu-lagu yang ia hidangkan bak memberi angin segar kepada penikmat lagu-lagu Jawa setelah kehilangan alm. Didi Kempot—atau yang lebih di kenal sebagai The Godfather of Broken Heart, sang maestro campursari itu.
Oh, tunggu, saya lupa. Dari tadi saya menyebut “dangdut Jawa” padahal apa yang dibawakan Denny Caknan dkk—apalagi Bagus Wirata—itu bukan dangdut.
Hal tersebut pernah disampaikan oleh Mahfud Ikhwan dalam esainya yang berjudul Pop Cengeng, Didi Kempor, dan Para Penerusnya (Jawa Pos (28/08/23). Kata Mahdud,karena kecintaan Denny Caknan Dkk kepada Didi Kempot, itu justru malah menjauhkannya dari pakem dangdut yang dibawakan Rhoma Irama, Evie Tamala, atau Hamdan ATT. Bahkan, Denny dkk, justru terkesan lebih condong kepada lagu-lagu pop cengeng Rinto dan Obbie, atau Arie dan Yongky. Saya sepakat dengan pendapat ini.
***
Tetapi, terlepas dari itu semua, sekali lagi, lagu-lagu Jawa memang telah menjadi semacam virus yang menjalar begitu cepat. Penggunaan lirik sederhana dan kosakata sehari-hari, membuat lagu-lagu Denny Caknan, Guyonwaton, NdarboyGeng, Happy Asmara dan penyanyi Jawa lainnya, dengan cepat menjadi familiar di telinga para pendengar.
Sebab, merayakan kegundahan hati dengan lagu-lagu Jawa dan lirik yang mudah dipahami, akan menjadi sebuah perayaan sakit hati yang sangat totalitas dan menyesakkan.
Banyak teman yang saya temui di media sosial sedang memutar atau menggunakan lagu-lagu Jawa hits kekinian sebagai musik latar video atau foto mereka. Seperti teman di Pulau Kangean yang memberi kabar kepada saya bahwa lagu Guyonwaton yang berjudul Dumes enak untuk didengar. Lantas dengan sedikit mengejek saya bertanya kepadanya, “Emang kamu paham artinya?” Jawabannya sudah dapat ditebak: “Jelas tidak dong!”
Tampaknya untuk menikmati lagu-lagu Jawa tak melulu harus paham artinya dahulu—untuk bisa membuat badan bergoyang di setiap alunannya. Toh tahun lalu, waktu HUT RI Ke-77 ketika Farel, penyanyi cilik asal Banyuwangi itu, berhasil menggoyang Istana dengan tembang Ojo Dibanding-bandingke. Seolah-olah pada saat itu semua masalah negara terselesaikan dengan irama musik dangdut koplo Jawa.
Bahkan kemarin, saat acara pelepasan wisuda Universitas Pendidikan Ganesha, Gedung Auditorium bergoyang heboh ketika seorang wisudawan menyanyikan lagu Rungkad di hadapan Rektor, jajaran senat Undiksha dan calon wisudawaan lainnya. Namun, sepertinya tetap sama—seperti teman saya yang berasal dari Kangean tadi—mereka sama-sama tidak paham betul arti dari lirik lagu tersebut. Barangkali efek “penjajahan” itu nyata adanya.
Akhirnya, sudah 7 tahun saya hidup di Singaraja. Dalam kurun waktu yang tak bisa dibilang sebentar itu, justru jiwa kejawaan saya malah menjadi-jadi. Sebab, semakin saya jauh dari tanah kelahiran, saya malah menemukan Jawa tumbuh subur di sini.
Pada saat saya mulai menulis tulisan ini pun, seorang tetangga sedang memutar lagu Denny Caknan yang berjudul Sanes, lagu ciptaan Andry Priyanta itu. Dan, tentu saja, sambil menulis saya juga menggoyang-goyangkan jempol kaki secara perlahan, supaya tidak ketahuan teman yang sedang bekerja…. Asoyyy.[T]