TIDAK MUNAFIK, saya juga pernah melakukannya: bergunjing. Saat bertemu sahabat atau kerabat, membicarakan orang lain. Nikmat sekali, rasanya kita manusia paling baik, tanpa cacat-cela. Orang lain yang kita bicarakan tak ada baiknya. Tampak selalu buruk di mata kita.
Bergunjing kini seakan menjadi hal yang wajar; saat makan bersama kawan sekantor, misalnya. Topik pembicaraan lebih banyak tentang orang lain; A yang begini atau B yang begitu, atasan begini atau bos begitu. Makan yang dalam budaya ketimuran –dulu—adalah aktivitas yang “sakral” pun kini ternodai dengan energi negatif ketika sambil membicarakan orang lain.
Atau, di kompleks perumahan juga rumah kos, bergunjing seakan menjadi “healing”, pelepasan emosi, yang tersalurkan dalam perbincangan. Tak hanya perempuan, juga laki-laki. Bergunjing tak mengenal jenis kelamin juga usia. Anak-anak yang sering melihat dan mendengar orang tuanya bergunjing tentu akan meniru kebiasaan itu saat mereka dewasa nanti.
Bergunjing juga bisa dilakukan secara virtual, di media sosial melalui fitur komentar atau pesan, selain grup-grup WhatsApp yang begitu mudah dibuat tanpa peraturan yang ketat, digemari banyak orang untuk bisa mengobrol tentang berbagi hal sesuai minat dan keperluan kita.
Seorang guru spiritual, menyusun sembilan pedoman perilaku untuk paguyubannya. Hal pertama, “tidak membicarakan orang lain terutama saat mereka tidak ada”. Ini tentu bukan tanpa alasan. Bergunjing bisa menimbulkan konflik, terutama, saat misalnya omongan kita tentang orang lain disampaikan kepada orang yang kita bicarakan.
Atau, karena menulis postingan atau juga story tentang perasaan kita, orang lain menjadi tersinggung karena dirasa menyangkut dia. Juga, kebisaan “saling sindir” melalui media sosial yang berujung kericuhan. Perseteruan bisa timbul karena ucapan yang salah. Lidah tidak bertulang, kata pepatah lama yang sekarang banyak dilupakan.
Jika pun terlibat dalam perbincangan, baiknya membicarakan sesuatu yang baik saja; kemajuan pekerjaan, ide usaha, hobi atau hal-hal yang menyenangkan—tidak melibatkan kehidupan orang lain. “Peduli” dan “nyinyir” agak sulit dibedakan pada masa sekarang. “Healing” bisa dilakukan bukan dengan bergunjing—merusak hati, dalam arti kiasan dan sesungguhnya. Ingatkan saya juga, jika bertemu kalian lalu jatuh dalam pergunjingan.[T]