DALAM REALITA sosial di masa kini, kita sudah tak asing dengan sistem yang tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Ungkapan “lu punya duit, lu punya kuasa” yang belakangan diviralkan oleh remaja gondrong dengan sapaan Bayem Sore itu tak dapat dipungkiri memang benar adanya.
Dengan hak istimewa yang dimiliki seseorang secara finansial, jabatan, maupun relasi, maka segala urusan dapat terselesaikan dengan mulus. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki privilese tersebut harus menerima konsekuensinya.
Realita sosial tersebut dibingkai dalam pertunjukan “Opera Ikan Asin” yang disuguhkan oleh Teater Alam pada Selasa (15/08/23) di Taman Budaya Yogyakarta.
Opera ini digelar dalam rangka merayakan hari lahir Teater Alam yang ke-51 dengan sutradara Puntung CM Pudjadi, serta asisten sutradara Ronny AN. dan Bambang KSR. Dengan menggandeng para aktor dan aktris seperti Meritz Hindra, Hadjar Pamadhi, Nunung Rieta, Oka Swastika, Anastasia, Jack Sofian, Pristiani Dewi, Yans Haryo, serta pemain-pemain lainnya, pementasan ini sukses dilaksanakan tanpa suatu hambatan yang berarti.
“Opera Ikan Asin” sendiri merupakan opera gubahan Nano Riantiarno yang disadur dari “The Threepenny Opera” (1928) karya Bertolt Brecht yang juga merupakan saduran dari “The Beggar’s Opera” (1728) karya John Gay.
Secara garis besar, opera ini menceritakan tentang Mekhit alias Mat Piso, si raja bandit yang menikahi Poli Picum tanpa restu dari ayah Poli, Natasasmita Picum. Hal itu membuat Natasasmita memiliki dendam terhadap Mekhit dan mengupayakan berbagai cara untuk menangkapnya. Lika-liku penangkapan Mekhit pun menjadi alur cerita yang menarik untuk diikuti, meski pada akhirnya ia dibebaskan dari tiang hukuman gantung yang semakin membuktikan bahwa hukum dapat dibeli dengan uang.
Cerita diawali dengan kemunculan tokoh Natasasmita Picum, ayah Poli yang merupakan pemilik dari Juselormis (Juru Selamat Orang Miskin), perusahaan yang mengakomodir kegiatan para pengemis, mulai dari pembagian wilayah hingga pembagian hasil mengemis. Singkatnya, Natasasmita Picum adalah seorang juragan pengemis.
Opera ini mengambil latar tempat di Yogyakarta, dilihat dari peta wilayah kekuasaan Natasasmita dan lokasi “Sarkem” yang disebutkan beberapa kali. Adapun latar waktunya diperkirakan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, ditandai dengan penggunaan mata uang gulden.
Pada adegan tersebut, Natasasmita mengumpulkan para pengemis-pengemisnya untuk dimintai hasil dari pekerjaan mereka. Ia murka karena hasil yang didapat tidak sesuai yang diharapkan. Tiba-tiba muncul seorang lelaki yang berniat untuk menjadi ‘mitra’ dari perusahaan yang dipimpin oleh Natasasmita tersebut.
Rupanya untuk dapat direkrut menjadi pengemis oleh Juselormis tidak semudah itu. Calon pengemis harus membayar uang administrasi yang bisa dibilang tidak sedikit. Seluruh uang yang telah dikumpulkan lelaki itu selama bertahun-tahun pun tidak sampai setengah dari nominal yang disyaratkan. Setelah bergabung nantinya, pengemis juga harus membagi hasil kepada Juselormis sebanyak 60% dari hasil mengemisnya.
Adegan awal tersebut menggambarkan penindasan dan perbudakan yang sering dialami rakyat kecil. Mereka yang miskin akan semakin miskin dan yang kaya akan semakin kaya. Namun, permasalahan pengemis ini bukanlah hal yang mudah untuk diatasi. Ada yang mengatakan bahwa maraknya pengemis akibat kurangnya lahan pekerjaan.
Di sisi lain, memang ada orang-orang yang pada dasarnya memiliki ‘mental pengemis’. Lahan pekerjaan sudah diberikan, tetapi ujung-ujungnya kembali lagi menjadi pengemis. Mungkin mereka berpikir “untuk apa kerja susah-susah, orang tinggal angkat tangan dan memasang wajah melas saja sudah bisa dapat duit”.
Bahkan banyak kisah-kisah kesuksesan dari para pengemis yang memiliki pendapatan lebih besar dari orang-orang yang bekerja dengan pekerjaan konvensional. Dengan kata lain, kita tidak bisa lagi menganggap pengemis sebagai orang yang tidak punya pekerjaan, sebab menjadi pengemis itulah pekerjaan mereka.
Meski begitu, perbudakan dalam dunia pengemisan juga sudah menjadi rahasia umum, di mana ada seseorang yang berkuasa dibalik para pengemis-pengemis yang kita temui di jalanan, seperti yang digambarkan oleh tokoh Natasasmita. Pengemis-pengemis yang tidak terdaftar di bawah Juselormis, tidak boleh menjalankan operasinya di wilayah kekuasaan Juselormis.
Hasil yang didapatkan dari jerih payah mengemis mereka pun, sebagian besar harus diserahkan kepada si juragan. Mereka yang tidak memiliki pilihan lain, akhirnya mau tidak mau terjun ke dalam jurang penindasan tersebut. Sama seperti si lelaki yang ingin bergabung menjadi ‘mitra’ Juselormis tadi, setelah negosiasinya perihal bagi hasil dengan Natasasmita gagal, ia pun tak memiliki pilihan untuk mengikuti aturan serta bertekad untuk menjadi pengemis yang baik dan ‘profesional’.
Adegan berikutnya memunculkan istri dari Natasasmita, yang tak lain adalah ibu Poli, untuk mengabarkan bahwa Poli telah menikah dengan seorang lelaki bernama Mekhit. Mendengar itu, Natasasmita menunjukkan reaksi tidak senang. Sebagai orang tua, terdapat kekhawatiran akan ditinggalkan oleh anak semata wayangnya, sehingga tidak ada yang merawatnya di hari tua nanti.
Pesta pernikahan Mekhit dan Poli / Foto: Dok. Rakhmat S.
Topik mengenai tanggung jawab anak terhadap kebahagiaan orang tua belakangan cukup sering dibicarakan, khususnya oleh anak muda. Bagi generasi lama mungkin kewajiban membahagiakan orang tua tidak perlu dipertanyakan lagi, alias sudah menjadi sesuatu yang “harus”.
Menurut pemaparan Rizky Anna, seorang mahasiswa S-1 Konseling Psikologi, dalam sebuah tulisan di plafrom Quora, kebahagian adalah tanggung jawab pribadi, termasuk kebahagiaan sebagai orang tua yang tidak bisa dibebankan kepada anak. Lagi pula, secara alami, ketika anak dididik dengan benar dan kasih sayang yang cukup, maka sudah pasti ia akan berupaya untuk selalu membahagiakan orang tuanya.
Selain alasan tersebut, hal lain yang membuat Natasasmita tidak senang adalah sosok lelaki yang menjadi pilihan dari anak perempuannya. Dialah Mekhit alias Mat Piso, si raja bandit kelas kakap yang kebal terhadap hukum. Mendengar kabar bahwa Mekhit telah memboyong anaknya, Natasasmita pun memendam dendam dan bertekad untuk menangkap Mekhit. Ia datang kepada kepala polisi yang bernama Kartamarma untuk mengadukan hal tersebut.
Namun, rupanya Kartamarma adalah sahabat dekat Mekhit. Hal tersebutlah yang membuat raja bandit tersebut kebal hukum. Selama ini kedua sahabat tersebut menjalankan simbiosis mutualisme, dimana Kartamarma akan mengabari jika akan ada penggerebekan, dan Mekhit selalu memberi setengah dari hasil operasinya kepada Kartamarma sebagai upeti. Kerja sama antara penegak hukum dan penjahat tersebut menggambarkan potret hukum yang bisa dibeli, dimana hal tersebut tentu saja masih aktual di masa sekarang.
Dengan kecerobohan Mekhit serta penghianatan Yeyen, mantan pacar Mekhit yang akhirnya menjadi pelacur, ia pun berhasil ditangkap oleh anak buah Kartamarma di sebuah rumah bordil. Di dalam tahanan, seorang perempuan mendatangi Mekhit.
Dia adalah Lusi, mantan kekasih Mekhit yang merupakan putri dari sang kepala polisi, Kartamarma. Rupanya selain bandit kelas kakap, Mekhit juga seorang buaya kelas kakap, alias playboy. Lusi yang pada awalnya mencaci maki karena telah ditinggalkan, akhirnya kembali luluh oleh bujuk rayu si raja bandit tersebut. Lusi pun membantu Mekhit keluar penjara dengan mencuri kunci dari sipir yang sedang tertidur.
Rumah bordil tempat Mekhit ditangkap/ Foto: Dok. Rakhmat S.
Natasasmita kembali mendesak Kartamarma untuk menangkap Mekhit. Kali ini ia mengancam akan mengerahkan pasukan pengemisnya untuk mengacaukan acara pelantikan Gubernur Jenderal. Kartamarma pun tak punya pilihan. Lagi-lagi bukannya bersembunyi, Mekhit kembali tertangkap di rumah seorang perempuan dengan julukan “si mata bola”. Mekhit kembali dimasukan ke penjara dan akan dijatuhi hukuman gantung pada saat pelantikan Gubernur Jenderal.
Di dalam sel tahanan, praktik suap menyuap kembali terjadi. Polisi yang pada awalnya melarang siapa pun mengunjungi Mekhit, melonggarkan aturannya karena sekantong uang yang diberikan padanya. Poli yang datang berkunjung pun sudah menyiapkan “sogokan” untuk sang polisi penjaga. Semakin besar nominalnya, semakin lama pula durasi yang diberikan untuk berkunjung.
Dalam situasi genting tersebut, Mekhit mendesak anak buahnya untuk mendapatkan uang sebesar 500 gulden yang akan diserahkan kepada polisi agar ia bisa dibebaskan. Namun, dikarenakan adanya pelantikan Gubernur Jenderal, maka semua bank di kota tutup, anak buah Mekhit pun tidak memiliki kesempatan untuk merampok.
Tibalah saatnya hari eksekusi, tiang gantung sudah dipersiapkan. Semua orang berkumpul untuk menyaksikan akhir hidup sang raja bandit. Anak buah, mantan-mantan Mekhit, dan perempuan-perempuan di rumah bordil menunjukkan ketidakrelaan yang amat dalam. Polisi menuntun Mekhit menaiki tangga tiang gantung dan melilitkan tali di lehernya. Sesaat sebelum nyawa Mekhit melayang, datang seseorang yang membawa surat keputusan dari Gubernur Jenderal. Isi surat tersebut menyatakan bahwa Mekhit bebas dari segala tuduhan. Hal ini menggambarkan titah penguasa yang dapat memutarbalikan keputusan pengadilan bagi pihak-pihak yang memiliki hak istimewa.
Opera ini berhasil mengemas kritik yang ditujukan kepada kaum kapitalis yang selalu menghalalkan berbagai cara demi kepentingan pribadinya, tanpa memedulikan kaum yang tertindas.
Meski sumber awal naskah ini ditulis pada tahun 1728, potret sistem negara yang berpihak pada pemegang modal masih tetap aktual hingga saat ini. Hukum seakan bisa dibeli, suap menyuap pun sudah menjadi hal biasa. Opera ditutup dengan pernyataan:
“Apa pun yang berasal dari istana, mampu berdiri di atas hukum, bahkan sanggup mengubah keputusan hakim”. [T]