SEJAK wuku Galungan hingga Pahang, euforia Galungan akan masih terasa. Bukan hanya karena penjor-penjor masih berdiri tegak sepanjang waktu itu, tetapi juga karena banyak barong yang nglawang hingga sudut-sudut tersempit desa. Mulai dari barong ket, barong macan, barong kucit, barong landung yang menjadi sesuhunan hingga barong anak-anak merangsek masuk desa.
Nglawang kemungkinan besar berasal dari kata lawang yang berarti pintu. Oleh sebab itu, kata nglawang berarti berkeliling desa untuk menarikan barong ke depan pintu-pintu rumah warga. Untuk apa menarikan barong ke pintu-pintu rumah warga?
Sejauh pelacakan terhadap karya-karya sastra yang mewacanakan Galungan-Kuningan seperti pustaka Sundarigama, Aji Swamandala, dan Tutur Aji Jaya Kasunu, tradisi nglawang memang tidak disebutkan. Namun demikian, melalui pustaka-pustaka itu kita mengetahui bahwa hari Galungan-Kuningan merupakan momentum turunnya Sang Hyang Kala Tiga yang berubah menjadi Bhuta Galungan ke dunia. Agar tidak mengancam keselamatan manusia, beliau diberikan berbagai persembahan ketika panampahan. Dengan sesajen itu, Bhuta Galungan menjadi somya ‘tenang’ serta tidak mengganggu aktivitas manusia.
Pada saat yang bersamaan, palawatan Ida Bhatara [bhatara: pelindung]yang berupa barong ditarikan keliling desa hingga di depan pintu rumah warga. Tujuannya untuk ikut meruwat ‘menetralkan’ kekuatan negatif yang potensial muncul dari Bhuta Galungan yang sedang berkeliling mencari mangsa.
Sumber Sastra
Kisah peruwatan melalui seni pertunjukan dijelaskan dengan sangat terang dalam pustaka Śiwāgama karya Ida Padanda Made Sidemen. Karya sastra yang ditulis atas permintaan Raja Badung (Sri Bandana Raja) pada tahun 1938 Masehi itu menguraikan secara simbolis-filosofis genetika pemikiran bahwa seni pertujukan di Bali salah satunya berfungsi sebagai ruwatan.
Cerita dimulai dari dialog antara Kumara dengan Parwati tentang hutang budi seorang anak kepada orang tuanya. Dalam diskusi itu, Kumara menyatakan bahwa hutangnya kepada Siwa seperti memenuhi langit. Ia juga menegaskan, ibu Parwati hanya sebagai jalan baginya untuk lahir sebagai putra Siwa.
Pernyataan Kumara langsung membuat Parwati murka karena merasa dilecehkan oleh putra yang dikandungnya sendiri. Oleh sebab itu, shakti Siwa tersebut kemudian meminta darah, daging, dan kulit serta berbagai aspek pradhana yang telah diberikannya kepada Kumara. Saat itu juga ia ingin menguliti anaknya.
Ketika Parwati dalam puncak kemarahan, beliau mencekik leher Kumara dengan kuku runcingnya. Darah yang menetes dari leher Kumara dihisapnya. Hampir saja Kumara tewas. Ia berhasil selamat karena Siwa tahu putranya dalam bahaya lalu menolongnya. Sementara itu, atas perilakunya yang bengis, Siwa mengutuk Dewi Parwati menjadi Panca Durga. Meski diiringi dengan tangisan, Parwati tidak bisa menolak kutukan Siwa sebagai jagatpati ‘raja dunia’. Dalam wujud yang menakutkanlah Panca Durga turun ke dunia.
Sementara Dewi Parwati dalam wujud Bhairawi Durga pindah dari satu kuburan ke kuburan lain di dunia, Shiwa yang ada di kahyangan tak kuasa menahan rindu yang menderu di dalam dirinya. Dengan kekuatannya, Shiwa mengutuk diri menjadi Kala Rudra yang tak kalah menakutkan dengan Panca Durga. Setelah berkeliling di seantero dunia, Kala Rudra menemukan Panca Durga di suatu kuburan. Dengan penuh hormat Shiwa dalam wujud Kala Rudra menemui Parwati yang berwujud Panca Durga.
Sanggama semesta pun dilakukan Shiwa-Parwati yang sudah lama mengekang rindu di dalam kalbunya. Dari pertemuan ini lahirlah Kalika, Kaliku, Yaksa, Yaksi, Bhuta Dengen, Babai, Jukih, dan raksasa lainnya yang tidak henti-hentinya menyebarkan gering, sasab, dan mrana dalam setiap tapak jalan yang dilaluinya.
Seni sebagai Ruwatan
Menyikapi keadaan di atas, Sang Hyang Tri Samaya yaitu Brahma, Wisnu, dan Iswara sangat khawatir. Sebab, tidak sedikit wilayah yang dilanda musibah akibat kelahiran putra Panca Durga dengan Kala Rudra. Di sisi lain, ketiga dewata itu juga tahu betul bahwa kekuatan mereka pasti tidak akan mampu menandingi Siwa-Uma dalam wujud ugra-nya.
Memecah kebuntuan ini, Hyang Iswara berinisiatif membuat wayang kulit yang diukir untuk dipentaskan dengan lakon cerita salampah laku Bhatara Guru. Dengan bantuan seorang raja bernama Sri Batatipati, berbagai sesajen seperti caru pancasia, sate lilit, sate asem, dan yang lainnya juga dipersembahkan di hadapan Kala Rudra dan Panca Durga. Tepat ketika menikmati sesajen yang dihaturkan Raja Batatipati, Hyang Iswara memainkan wayang didampingi oleh Bhatara Brahma dan Wisnu. Kisah indah Siwa dan Parwati selama mengemban tugas sebagai renaming rat ‘ibu-ayah semesta’ yang dimainkan oleh Hyang Iswara menyebabkan kedua dewata itu mulai sadar hakikat tugas yang diembannya di tiga dunia.
Meski sudah berhasil membangkitkan kesadaran Siwa-Parwati, kedua dewata ini belum kembali sepenuhnya dalam wujud kedewataannya. Di suatu kuburan bernama Kaliasem- tempat pembuangan mayat Kerajaan Galuh, Kala Rudra dan Panca Durga kembali bertemu. Pertemuan ini segera disusul oleh Hyang Tri Samaya. Saat itulah Hyang Iswara berubah menjadi Swari, Brahma menjadi Peret, dan Wisnu menjadi Tekes. Ada yang menduga Swari adalah wujud barong, Peret sama dengan Telek, dan Tekes adalah Topeng Keras. Ketiga dewata ini kembali menarikan dan menyanyikan kisah kearifan Bhatara Guru pada masa lalu sebelum berubah menjadi Kala Rudra.
Usaha Hyang Tri Samaya untuk yang kedua kalinya ini ternyata tidak gagal. Hyang Siwa dan Parwati kembali ke wujud semula yang santa rupa ‘tenang damai’ setelah melihat tari-tarian yang dimainkan oleh Brahma, Wisnu dan Iswara. Siwa dan Parwati kembali ke Siwalaya.
Kisah yang disarikan dari pustaka lontar Śiwāgama di ataslah yang dijadikan sumber sastra keberadaan tradisi nglawang yang ada di Bali. Dalam khazanah naskah lontar Bali, fragmen di itu juga sering disebut dengan Tutur Barong Swari. Perjalanan barong yang berusaha menari keliling desa hingga ke pintu-pintu masuk rumah (lawang) tidak berbeda dengan Hyang Tri Samaya yang mencari Siwa dalam wujud Kala Rudra dan Parwati dalam wujud Panca Durga di dunia. Sementara itu, tarian barong di depan rumah sama dengan Hyang Tri Samaya yang memainkan wayang dan tarian untuk mengembalikan kesadaran Siwa-Parwati terhadap hakikat tugas beliau di dunia.
Ramya ‘elok-indah’ tarian baronglah yangdiniatkan dengan tulus untuk meruwat Bhuta Galungan sehingga bertransformasi menjadi somya ‘tenang dan damai’.
Realita
Spirit nglawang sebagai aktivitas panyoma Bhuta dan Kala inilah yang mestinya menggerakkan setiap ayunan langkah para seniman ketika berkeliling dari satu desa ke desa lainnya.
Nglawang tidak sama dengan aktivitas ‘ngamen’ yang memang memiliki tujuan utama meraih cuan untuk mengisi cawan hidup pemainnya. Apabila hal itu yang menjadi orientasi utama maka tidak jarang kita melihat perkelahian antarpenari barong ketika nglawang di suatu desa. Di samping itu, sekaa seniman yang menjadikan materi sebagai orientasi biasanya tidak akan bertahan lama. Bahwa para seniman memerlukan materi untuk pangupa jiwa, itu pasti adanya. Namun, aktivitas berkesenian yang dilakukan dengan totalitas tanpa syarat biasanya akan membuat seorang seniman memiliki kualitas. Pada titik itu, tanpa diminta sekalipun, materi akan ditemukan tanpa mencari (amanggih tan sangking pinet).
Untuk meyakinkan hal itu, mari kita baca petikan pustaka Śiwāgama yang ditulis oleh Ida Padanda Made Sidemen di bawah ini.
Kunang ikang magawe hayu tan wruh pwa sira, i sang amukti gawenya hayu, apan tan dadi sira tumumêmung hayu, ri hayu ni gawenya. Yeka tumut mangiring (Pustaka Śiwāgama, sargah 18).
Terjemahan.
Seseorang yang berbuat baik meskipun ia tidak tahu bagaimana seseorang menikmati pahala kebaikannya, ia tidak bisa melepaskan diri dari pahala baik sebagai akibat perbuatan baiknya. Kebaikan itu selalu menyertainya.
Kunang ikang wwang magawe hala, tan wruh pwa sira, i sang amukti gawenya hala, apa tan dadi sira tumêmung hala, ri hala ni gawenya, yeka tumut mangiring. (Pustaka Śiwāgama, sargah 18).
Terjemahan.
Seseorang yang berbuat buruk meskipun ia tidak tahu bagaimana seseorang menderita akibat perbuatan buruknya, ia tidak bisa melepaskan diri dari pahala buruk akibat perbuatan buruknya. Keburukan itu selalu menyertainya.
Demikianlah pustaka Śiwagāma meyakinkan kita bahwa tiada perbuatan yang tanpa hasil. Berbagai pustaka menyebutkan, tan hana karma tan paphala. Sebagai penutup, kembali pada hubungan tradisi nglawang dan seniman, di tengah-tengah euforia Galungan-Kuningan yang pasti datang saban enam bulan, mari kita jadikan ritus nglawang sebagai bagian dari usaha merawat tradisi sekaligus meruwat jagat, baik di luar maupun di dalam diri. [T]
- Klik BACA artikel lain dari penulis PUTU EKA GUNA YASA