MASALAH PERUBAHAN iklim dan pemanasan global (global warming) bukan masalah Indonesia saja, melainkan juga masalah dunia. Berkali-kali masalah ini dibahas di tingkat internasional untuk mencari jalan keluar cara mengatasinya.
Namun, berkali-kali juga negara-negara tersebut, yang mengikuti konferensi—khususnya negara besar yang berpengaruh—belum sepakat mengambil keputusan strategis dan mendasar sehingga penanganan untuk menekan emisi karbon di tingkat internasional sementara waktu mandek (stagnan).
Dalam Pertemuan G20 di Roma tahun lalu, misalnya, China membidik nol emisi pada 2060, padahal PBB memberi tengat waktu sebelum 2050. Polutan-polutan besar lainnya seperti India dan Rusia malah tak mau terpaku pada tengat waktu tersebut.
Sementara itu, produksi emisi karbon dunia terus meningkat. Akibatnya, pemanasan global yang meningkatkan suhu bumi 1,5 derajat Celcius belum mampu ditekan, bahkan cenderung menaik.
Goddard Institute for Space Studies (GISS), lembaga penelitian semesta milik NASA, mencatat suhu bumi naik 0,8 derajat celcius sejak 1880, seratus tahun setelah dimulainya Revolusi Industri, ketika era pertanian berubah menjadi pengolahan barang di pabrik.
Dua pertiga kenaikan tertinggi dimulai sejak 1975 sebesar 0,15-0,2 derajat Celcius per dekade. Dan 2020 disebut oleh Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) sebagai tahun terpanas kedua sepanjang sejarah setelah 2016.
Sedangkan pada Juli 2023—ya, tahun ini—menjadi bulan terpanas di muka bumi sepanjang 120.000 tahun terakhir. Fakta ini membikin sekjen PBB mengeluarkan pernyataan bahwa masa pemanasan global telah usai. Kini kita berada di tahap baru terkait fenomene perubahan iklim. Hari ini, bukan lagi pemanasan global, tetapi telah berubah menjadi “pendidihan global”.
Ancaman Nyata
Pemanasan global dan perubahan iklim telah terbukti nyata. Menjadi ancaman keberlangsungan hidup makluk di bumi. Tentu kita masih ingat gelombang panas mematikan yang terjadi pada 2015 dan menewaskan ribuan orang di India dan Pakistan. Atau yang lebih dulu, pada 2010 dilaporkan 55 ribu orang tewas karena gelombang panas di Rusia—tiap hari 700 orang tewas di Moskow karenanya.
Di Timur Tengah dan Teluk Persia, pada 2015 indeks panas mencatat suhu tertinggi mencapai 72 derajat Celcius. David Wallace-Wells, penulis buku Bumi yang Tak Dapat Dihuni: Kisah tentang Masa Depan, mengatakan “dengan baik hati mengingatkan bahwa beberapa puluh tahun ke depan, ibadah haji akan menjadi sangat berat secara fisik bagi kaum Muslim.”
Di Irak, di tengah gelombang panas yang memanggang Timur Tengah selama beberapa bulan pada 2016, suhunya melebihi 37 derajat celcius pada bulan Mei, 43 pada Juni, dan 48 pada Juli—suhu turun di bawah 37 derajat hanya pada malam hari. Pada 2018, suhu tertinggi yang pernah tercatat pada April terjadi di Pakistan dan bagian tenggara.
Udara panas yang terjadi akibat perubahan iklim sebagai dampak dari pemanasan global memang bukan dongeng atau mitos—seperti yang diyakini mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Kita merasakannya, walaupun belum “separah” cerita-cerita dari negeri-negeri yang jauh tadi.
Banyak orang menyepelekan persoalan ini, seeakan-akan perubahan iklim terjadi secara “alami”, buka karena ulah manusia; seakan-akan perubahan iklim dan pemanasan global tidak memiliki hubungan. Bahwa seakan-akan kekayaan dapat menjadi benteng untuk melindungi kita dari ancaman pemanasan global. Teknologi yang canggih akan menyelamatkan hidup manusia.
Namun kita lupa, atau barangkali terlena, bahwa teknologi bernama AC—dan kipas angin—sudah mengonsumsi 10% listrik global. Bahkan pada 2050 permintaan AC diperkirakan berlipat tiga, atau malah berlipat empat. Penelitian lain memberi perkiraan bahwa di seluruh dunia akan ada sembilan miliar lebih alat pendingin beraneka jenis. Dan menurut perkiraan, dunia akan menambah 700 juta unit AC pada 2030. Fantastis!
Lantas, bagaimana dengan negara kita, Indonesia?
Verisk Maplecroft, lembaga analisis bisnis global, dalam rilisnya pertengahan Mei tahun lalu, menyebut Jakarta sebagai kota dengan bahaya lingkungan terbesar dan paling rentan terhadap perubahan iklim. Selain Jakarta, Surabaya dan Bandung masing-masing berada di posisi keempat dan delapan untuk kota di Indonesia.
Optimisme Indonesia
Pada Minggu, 31 Oktober 2021, di La Nuvola, Roma, Italia, Presiden Joko Widodo menyampaikan pendapatnya dalam KTT G20 sesi II dengan topik perubahan iklim, energi dan lingkungan hidup.
Tampaknya Pak Jokowi sangat percaya diri. Ia mengatakan, “Indonesia memiliki arti strategis dalam menangani perubahan iklim. Posisi strategis tersebut kami gunakan untuk berkontribusi.”
Sama halnya dengan Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kita, Siti Nurbaya, tampaknya juga sangat percaya diri bahwa Indonesia dapat menjadi contoh mengatasi perubahan iklim.
Pada siaran pers—setelah KLHK melakukan, meminjam istilah siaran pers-nya, kick off G20 on Evironment Deputies Meeting and Climate Sustainability Working Group (EDM-CSWG)—Februari lalu, Nurbaya mengatakan, “Kita tunjukkan bahwa Indonesia memiliki arti bagi dunia, terutama dalam konteks Environment and Climate Sustainability, karena kita bangsa pekerja, pemikir, antisipatif, inovatif, responsif.”
Dan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, berjanji menjalankan peran co-chair secara optimal—setelah dirinya menjadi co-chair The Coalition of Finance Minister for Climate Action 2021-2023—bersama Finlandia melalui pengurangan emisi yang sudah ditetapkan dalam kontribusi nasional yang ditetapkan (NDC) di PPB sebesar 29% dengan usaha sendri, dan 41% dengan bantuan internasional pada 2030.
Apakah kepercayaan diri itu benar-benar didukung komitmen yang kuat (ajeg) atau hanya untuk menjaga cintra di depan dunia internasional? Pasalnya, kerusakan lingkungan di Indonesia juga sangat serius.
Deforestasi dan deagrarianisasi masih masif. Lihat saja hutan Papua, melalui PP No 26/2008, Perpres 5/2008, PP No 18/2010, 1.23 juta hektar dikonversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan sawit—atau di masa SBY lebih dikenal dengan program MIFEE (Merauke Integrated Food & Energy Estate).
Atau lihat Tuban, Jawa Timur, lahan pertanian produktif seluas 841 hektar terancam beralih fungsi akibat pembangunan kilang minyak milik PT Pertamina. Dan masih banyak contoh di daerah-daerah di Indonesia.
Presiden Joko Widodo—yang notabene alumni Fakultas Kehutanan UGM—acap kali mendapat kritik saat ia menjadi sponsor UU Cipta Kerja yang dinilai lebih mengutamakan bisnis ekstraktif dan menyisihkan manajemen kehutanan—yang ditulisnya sendiri dalam buku Darurat Hutan Indonesia: Mewujudkan Arsitektur Baru Kehutanan Indonesia yang terbit tahun 2014.
UU Cipta Kerja menghapus luas minimal 30% hutan di sebuah daerah aliran sungai atau pulau untuk mencegah bencana. Sama dengan SBY, Jokowi memimpikan lumbung pangan atau yang lebih dikenal dengan istilah food estate dan mengorbankan hutan lindung.
Bukankah salah satu cara menurunkan emisi adalah melalui pengurangan deforestasi, reboisasi dan degradasi lahan? Lalu, apa yang harus dilakukan Indonesia untuk mengatasi pemanasan global?
Pertama, tentu saja pemerintah harus berkomitmen untuk terus mengurangi laju deforestasi. Jika merujuk data tahun 2020, laju deforestasi mencapai 146.000 hektare. Sementara deforestasi laten berupa lahan kritis dalam kawasan hutan pada 2018 mencapai 13,4 juta hektare. Dalam hal ini, pemerintah harus bersikap tegas terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit dan perusahaan pertambangan.
Ketegasan yang dilakukan Presiden Joko Widodo pada awal 2022 dengan mencabut 192 izin konsesi kehutanan yang bermasalah dan mencabut 2.078 izin pertambangan harus terus didukung. Kementerian, atau pejabab daerah harus sama-sama memiliki komitmen seperti Presiden.
Kedua, rehabilitasi hutan. Seperti yang dikatakan Presiden Jokowi sewaktu silaturahmi dengan dosen, alumni, dan mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM pada Desember 2017, seharusnya KLHK mampu membangun hutan asal dikerjakan secara detail dari hulu ke hilir. Mulai dari persemaian, penanaman, pemeliharaan sampai ke penebangan.
Akhir tahun 2021, Jokowi memaksa perusahaan kelapa sawit dan tambang untuk membangun persemaian. Kebijakan ini, tulis Pramono Dwi Susatyo dalam Komitmen Jokowi dalam Pembangunan Kehutanan, diterapkan untuk mendukung program kelestarian lingkungan. Hasil dari persemaian akan ditanam di lahan-lahan rawan banjir dan longsor. Ini pemikiran yang bagus.
Ketiga, pemerintah harus mulai serius mengembangkan tenaga alternatif seperti sinar matahari, air, dan angin. Panel-panel surya harus segera dipikirkan mulai dari produksi, regulasi, sosialisasi, hingga distribusinya ke masyarakat.
Daerah yang memiliki potensi arus air sungai yang deras didorong untuk memanfaatkannya sebagai pembangkit listrik, begitu juga dengan daerah yang memiliki potensi angin yang kencang.
Keempat, membuat regulasi yang tegas terhadap prilaku yang merusak lingkungan. Dari mulai perilaku yang kecil seperti membuang sampah sembarangan—di sungai, di laut, di mana-mana—sampai perilaku perusakan yang besar.
Kelima, dan ini yang terakhir, pengetahuan untuk menjaga lingkungan dan melestarikannya harus ditanamkan sejak dini kepada generasi muda dan masyarakat secara umum. Rasanya tidak berlebihan jika hal ini dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Bagaimana mengelola manajemen sampah; manajemen hutan; dan manajemen sungai dan laut. Sekolah-sekolah, universitas, ormawa kampus (intra maupun ekstra), menjadi ujung tombak dalam pelaksanaannya.
Dengan begitu, cita-cita Indonesia sebagai percontohan mengatasi perubahan iklim tidak hanya sekadar wacana—atau justru dianggap sebagai pencitraan di depan dunia internasional semata.
Karena semua masalah perubahan iklim itu kita tahu dan sadar bahwa kita—manusia—sendiri yang menyebabkannya, maka semestinya kita juga cukup bijak untuk selalu punya cara meyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan masa depan bumi ini. Dengan begitu kita akan selamat dari krisis yang lebih buruk dan bencana yang lebih besar.
Nenek-kakek moyang kita telah mewariskan mata air, jangan sampai kita malah akan mewariskan “air mata” kepada generasi yang akan datang. Indonesia masih ada waktu untuk melakukan itu.[T]