SETELAH mendengar dan mendapatkan tiket pertandingan uji coba antara Timnas Indonesia U-17 melawan Barcelona Juvenil A, saya bergegas datang dengan antusias. Dua jam sebelum pertandingan dimulai, sekitar pukul 18.00 WITA, saya sudah berada di tribun utara Stadion I Gusti Ngurah Rai, Bali. Lengkap mengenakan jersey Indonesia berwarna hitam.
Di menit-menit awal pertandingan, saya sudah geleng-geleng kepala. Pola permainan Barcelona Juvenil A tak jauh berbeda dengan Barcelona (betulan) besutan Xavi Hernandes. Entah karena permainan mereka yang bagus atau permainan Timnas Indonesia U-17 yang kurang maksimal.
Barcelona Juvenil A merupakan tim muda yang dimiliki klub Barcelona yang berbasis di Catalunia, Spanyol. Dari segi usia, Barcelona Juvenil A ini diisi oleh para pemain yang berusia di bawah 19 tahun, sehingga sering pula dijuluki sebagai Barcelona U-19. Barcelona Juvenil A adalah bagian tak terpisahkan dari klub Barcelona yang sudah berkelas dunia.
Dari segi taktikal permainan, Barcelona Juvenil A sungguh menawan. Sebagai pemain yang masih dihuni usia muda, mereka malah jarang mengandalkan kekuatan individu, adu lari, misalnya.
Bukan hanya pola permainannya saja yang membuat saya tertarik, tapi 3 pemain berposisi gelandang tengah dengan nomor punggung 6 Daniel Avila Marmol; nomor punggung 10 Cristobal Monoz Lopez; dan nomor punggung 8 Brian Farinas Perez. Mereka bertiga layaknya pemain kondang lini tengah Barcelona macam Frenkie de Jong, Sergio Busquets, Gavi/Pedri.
Cara bermain mereka sangat dewasa. Aliran bola tak melulu langsung menuju pemain depan—saya menyebut mereka sedang memainkan tiki-taka. Daniel, Cristobal dan Brian selalu berusaha mengutamakan umpan-umpan pendek, mereka juga pandai mengatur jarak antara pemain satu dengan pemain lainnyan sehingga selalu berdekatan.
Misalnya saat terjadinya gol pertama di menit ke-25, gelandang tengah Barcelona Juvenili A membentuk sebuah formasi segitiga di dekat pemain yang memegang bola.
Barangkali tujuan dibentuknya segitiga itu agar sang pemegang bola memiliki dua opsi untuk memberikan bola ketika akan mengoper atau umpan terobosan.
Selain gelandang tengah, posisi sayap kiri pemain bernomor punggung 7 Nil Caldero Soteres juga bermain sangat efektif.
Padahal, pemain yang menggunakan ban kapten tersebut memiliki kecepatan dan dribbling yang mumpuni. Tapi efektivitas yang menghantarkan permainan tim jauh unggul.
Pergerakan pemain depan nomor punggung 9 Hugo Alba Silveira juga menarik. Terlepas peluang yang gagal ia konversi menjadi gol pada menit ke-2, ia sering lari-lari tanpa bola sehingga menarik lini pertahanan Indonesia.
Berbeda halnya dengan Timnas Indonesia U-17. Permainan garuda muda serba kebingungan saat mendapatkan bola. Tidak banyak yang bisa dikomentari sebab dalam pertandingan tersebut para pemain benar-benar mati kutu baik secara tim maupun individu.
Malah ada hal yang terbalik saya lihat dari segi permainan. Pemain Indonesia U-17 malah sering menggunakan umpan panjang padahal secara postur kalah jauh. Oh, saya lupa, bukankah ini pola lama Timnas Indonesia?
Adopsi Tiki-Taka ala Blaugrana
Siapa yang tidak mengenal klub sepak bola bernama Barcelona, sebuah klub yang mempunya orientasi bermain tidak hanya soal kemenangan lebih dari itu.
Tiki-Taka adalah ciri khas permainan Blaugrana, seorang mantan pelatih Barcelona bernama Pep Guardiola yang memperkenalkan filosofi permainan tersebut. Akan tetapi, tiki-taka ala Guardiola sebenarnya hanya menyempurnakan gaya permainan total football ala Frank Rijkaard yang juga dulunya adalah pelatih Barcelona.
Taktik bermain total football pun disebutkan berawal dari ide permainan Johan Cruyff saat menangani Blaugrana. Termasuk Johan Cruyff adalah seorang yang mencetuskan pola build up yang hari ini sedang ramai dipakai oleh strategi pelatih.
Sederhananya, tiki taka adalah pola permainan dari kaki ke kaki, mengandalkan umpan dan pasing pendek. Memegang bola selama mungkin walau terkesan membosankan.
Sebenarnya, menurut hemat saya, pola permainan tiki-taka ini sangat cocok jika digunakan oleh pemain yang mempunyai postur tubuh di bawah rata-rata seperti pemain-pemain yang berasal dari Benua Asia termasuk Indonesia—dengan alasan sederhana: supaya tidak mengandalkan umpan panjang atau bola panjang.
Umpan panjang sendiri adalah umpan yang ditujukan secara spesifik untuk satu pemain, sementara bola panjang adalah umpan yang ditujukan kepada zona tertentu dengan sang pemain yang akan mengejar umpan tersebut.
Tapi saya kira garuda muda mendapatkan sebuah pembelajaran yang sangat berharga. Minimal soal pola permainan dan mentalitas karena Barcelona Juvenil A banyak melahirkan pemain-pemain kelas dunia.[T]