ABAD 21 sedang merangkak menapaki jalan peradaban yang cepat, buru-buru, berkelok, menanjak, penuh lubang jebakan zaman, dengan galau dan kilaunya sendiri. Dan Indonesia, sebagai sebuah negara yang merdeka, pada abad 20 sampai 21, sudah dua dekade menikmati demokrasi—walau dengan kenyataan pahit bahwa generasi saat ini mulai tak punya ingatan tentang peristiwa-peristiwa penting pada abad ke-20 yang mengantar Indonesia menuju gerbang demokrasi.
Pada akhir tahun 2022, terbit sebuah buku tentang sosok sastrawan, jurnalis, tokoh pembebasan dan pemikir, yang berjudul Membaca Goenawan Mohamad. Ya, buku yang berisi naskah dari 16 penulis itu mencoba menelisik secara mendalam pemikiran GM—begitu ia biasa dipanggil—dalam konteks pemikiran sastra, filsafat, dan demokrasi.
Buku yang diluncurkan sebagai salah satu wujud perayaan ulang tahun Goenawan Mohamad ke-80 pada tahun 2021 itu, pada Rabu (26/7/2023) sore, kembali didiskusikan di Ruang Lap Prodi FTV Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dalam mata acara Festival Seni Bali Jani 2023.
Diskusi buku yang menghadirkan Prof. Dr. I Wayan Adnyana—atau yang akrab dipanggil Prof. Kun—dan Arif Bagus Prasetyo sebagai pembicara dan Alif Iman sebagai moderator itu, dihadiri langsung oleh GM dan Ayu Utami.
Acara Temu Buku: Membaca Goenawan Mohamad—yang oleh Alif Iman disebut sebagai diskusi “GM yang dikenal dan yang tak dikenal”—banyak memberi pengetahuan tentang sosok GM yang dipandang dari banyak kacamata sampai kritik atas lebih-kurangnya Membaca Goenawan Muhamad (2022)—buku yang ditulis Rizal Mallarangeng, Nirwan Dewanto, Ayu Utami, Ulil Abshar Abdalla, dkk.
Dari kiri ke kanan: Made Sujaya, Arif Bagus Prasetyo, Prof. Dr. I Wayan Adnyana, dan Goenawan Muhamad
Ayu Utami, yang didapuk sebagai editor, sebelum diskusi diakhiri, mengatakan bahwa penerbitan buku ini bertujuan untuk kembali membangun ingatan generasi abad-21 atas peristiwa yang terjadi pada abad ke-20 seperti Perang Dunia dan Perang Dingin, misalnya.
Generasi masa kini diajak kembali membaca jejak peperangan tersebut pada rezim militer di lndonesia, penderitaan, serta semangatnya. Juga memperlihatkan bagaimana runtuhnya komunisme di tahun 1990-an.
Di balik itu, kapitalisme seolah menjadi penguasa, sehingga pers dan industri kreatif pun semakin dikuasai logika kapitalistis. Surat kabar bahkan televisi, tak lagi punya wibawa intelektual sebesar dulu, dan setiap orang bisa menjadi citizen journalist.
Pembacaan yang Meleset
Prof. Kun, Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar cum kurator seni rupa, berpendapat bahwa karya-karya GM selalu memiliki konteks waktu yang dinamis. Apa yang ditulis GM memiliki konteks waktu yang panjang—tak lekang oleh waktu, selalu relevan, katanya. “Sebab, pikiran-pikiran GM mengandung semacam rasa dan pandangan ke depan perihal peristiwa,” ujarnya.
Dalam acara temu buku sore tadi, seniman dan intelektual yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali periode 2019-2021 itu, memang tak banyak membahas isi buku yang memuat tulisan-tulisan yang berasal dari Seminar Membaca Goenawan Mohamad yang diadakan untuk memperingati ulang tahun GM yang ke-80.
Kun Adnyana lebih banyak menyampaikan pandangan atau penilaian pribadinya atas sosok Goenawan Mohamad—tokoh yang dipanggilnya Mas itu. “Seorang tokoh harus menjadi bagian dari peradaban. GM sosok yang bisa membangun bahasanya sendiri. Pemikirannya selalu mengandung konteks yang dinamis,” katanya.
Berbeda dengan Prof. Kun, Arif Bagus Prasetyo, yang notabene dikenal sebagai kritikus sastra, penyair, penerjemah, cum kurator seni rupa, lebih banyak menyampaikan catatan kritis atas buku Membaca Goenawan Muhamad (2022). Menurut Arif, buku gemuk 464 halaman yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia itu agak meleset, atau kurang lengkap, dalam membaca GM sebagai penyair, wartawan, tokoh pembebasan, dan pemikir dengan dasar filsafat Barat.
“Dari 16 esai hanya ada satu tulisan saja yang membahas GM sebagai wartawan. Itu pun hanya berfokus pada sosok GM dan kiprahnya dalam mendirikan Tempo, tak ada bahasan tentang pikiran GM tentang dunia jurnalistik,” ujar penyair yang mendapat hadiah Kritik Sastra Tahun 2007 dan Kritik Seni Rupa Tahun 2005 dari Dewan Kesenian Jakarta itu.
Menurut Arif, tulisan dalam buku yang ditulis mereka yang tumbuh dengan membaca tulisan-tulisan GM serta terinspirasi secara langsung olehnya—terutama mereka yang lahir di tahun 1960-an atau awal 1970-an atau yang menghidupi dunia kesusasteraan dan kewartawanan dan sedikit sisanya adalah para sarjana filsafat generasi lebih kini yang diminta untuk mengkaji bagaimana GM menafsir pada pemikir kontemporer kontinental—lebih banyak membahas pikiran GM tentang filsafat dan sastra, seperti Ulil yang tertarik menulis pikiran GM tentang ketuhanan alih-alih menulis tentang pandangan GM tentang sejarah bangsa, misalnya. Bahkan, dengan kritis Arif mengatakan, “beberapa penulis malah sibuk mempromosikan dirinya sendiri, seperti Martin Suryajaya”.
Terkait pandangan tentang sejarah bangsa, hidup Goenawan Mohamad, bisa dibilang, memang menggambarkan sejarah Indonesia itu sendiri. GM lahir di Batang pada tahun 1941. Ketika umurnya belum setahun, balatentara Jepang masuk ke wilayah Indonesia. Ayahnya, seorang pejuang kemerdekaan republik, wafat dibunuh militer Belanda yang datang kembali setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II.
Dalam deskripsi singkat tentang GM, Gramedia menulis, GM tumbuh dewasa di masa Perang Dingin, saat Presiden Sukarno menerapkan Demokrasi Terpimpin. Ketika itu PKI (Partai Komunis Indonesia) menguat. Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), badan kesenian di bawah PKI, mendesakkan pendekatan Realisme Sosialis dalam kesenian. Bersama beberapa seniman dan pemikir yang tak setuju atas pemaksaan politik atas seni—seperti Arief Budiman, Wiratmo Soekito, Taufik Ismail—GM ikut merumuskan dan menandatangani Manifes Kebudayaan (1963). Akibatnya, mereka diintimidasi dan sebagian kehilangan pekerjaan. Goenawan muda memutuskan mencari beasiswa ke Eropa.
Ketika GM kembali ke Indonesia, situasi telah berbalik. Di bawah Presiden Jenderal Soeharto, PKI dihancurkan dan anggotanya diania—tanpa memberi kesempatan untuk membela diri. Goenawan mendirikan majalah Tempo, dan menjadi pemimpin redaksinya. Sekalipun dulu diintimidasi, ia menampung dalam grup majalah Tempo beberapa sastrawan mantan anggota Lekra yang telah dibebaskan dari tahanan politik, suatu hal yang sebetulnya dilarang oleh rezim militer ketika itu.
Goenawan tidak menunjukkan dendam apapun pada PKI atau Lekra, dan tidak menentang pemberian hadiah Magsaysay pada Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang merupakan tokoh Lekra. GM termasuk salah satu tokoh seni yang diminta gubernur Jakarta Ali Sadikin untuk mendirikan Taman Ismail Marzuki (1968).
Tak hanya menyampaikan pandangan kritis atas buku Membaca Goenawan Muhamad (2022), Arif juga menganggap bahwa tulisan-tulisan GM sangat transformatif. Menurutnya, tak banyak penulis Indonesia yang memiliki kemampuan semacam ini. “Selain GM, yang tulisan-tulisannya terdapat banyak sayap, Nirwan Dewanto juga demikian,” katanya.
Dan saat menjawab pertanyaan ada tidaknya pemikiran GM tentang filsafat Nusantara dari salah satu peserta diskusi, Arif mengatakan, “setahu saya, GM hanya membahas filsafat Barat”. Dia mengaku kurang tahu dan tidak menemukan pemikiran GM yang membahas filsafat Nusantara dalam konteks filsafat yang ketat. “Namun, dalam konteks filsafat yang longgar, GM pernah membahas misalnya Gatoloco,” tambahnya.
Sebelum mengakhiri diskusi, Alif Iman sebagai moderator memberikan pertanyaan terakhir kepada Arif tentang relevansi Goenawan Mohamad. Dengan sedikit tertawa Arif menjawab, “relevansi GM terletak pada stailis tulisannya. GM seolah tidak mau mengerangkeng tulisannya dengan definisi-definisi. Beliau mengajak setiap orang untuk terus berpikir”.
Diskusi tentang sosok penulis “Catatan Pinggir”—esai pendek khas GM di majalah Tempo, yang sangat berpengaruh pada generasi intelektual sesudah dirinya—, pendiri Yayasan Lontar (1987), Teater Utan Kayu—lalu disebut Komunitas Utan Kayu—sekitar tahun 1996, Komunitas Salihara (2008) itu, juga dihadiri Oka Rusmini, sastrawan cum wartawan, dan I Made Sujaya, wartawan, sastrawan, dosen, dan pengelola balisaja.com.[T]