INI KOLABORASI yang spektakuler. Gabriel Laufer dan I Made Wardana seniman asal Belgia dan Bali bersama-sama menggarap sebuah dramatari berjudul “Panjisemirang”. Garapan yang berdurasi 1 jam lebih itu bakal dipentaskan dalam ajang Bali World Culture Celebration (BWCC) serangkaian dengan Pesta Kesenian Bali (PKB) XLV.
Dramatari yang didukung anak-anak muda ini bakal dipentaskan di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya (Art Center) Bali pada Rabu, 12 Juli 2023, mulai pukul 17.00 Wita. Idenya, untuk melestarikan kesenian kuno yang hampir punah.
Boleh dibilang, pergelaran Mahakarya Duo Made ini tergolong istimewa Karena tak hanya menyajikan koreograti yang artistik, tetapi, dan ini yang terpenting, mengedukasi.
Gabriel Laufer, yang sangat peduli terhadap kelestarian kesenian Bali itu tampil sebagai pengarap, secara khusus menyajikan kesenian-kesenian tergolong tradisi. Kesenian kuno yang ada di Banjar Pegok, Desa Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, mulai Dramatari Arja, Gambuh, Genggong, Baleganjur, dan Janger disajikan ke dalam sebuah garapan baru.
Semua jenis kesenian itu merupakan kesenian yang memang ada di Banjar Pegok, namun sempat ditinggalkan pendukungnya. Kali ini, Mr. Gabriel bersama Bli Ciaaattt—sapaan akrab Wardana—menjadikan ajang PKB sebagai upaya membangkitkan kembali kesenian-kesenian klasik yang pernah ada di Banjar Pegok.
“Saya ingin melestarikan kesenian Bali. Penting ada orang luar negeri yang melihat kesenian tradisi, kemudian mengatakan Bali sangat kaya dengan budaya, sehingga harus dilestarikan,” kata Mr. Gabriel disela-sela ujicoba pementasan Dramatari Panjisemirang di Banjar Pegok, Denpasar, Kamis (6/7/2023) malam.
Ide untuk membuat garapan bersama ini muncul setelah 20 tahun silam, yang pernah membuat garapan bersama, bahkan tampil sebagai juara. Setekah pandemi Covid-19, Bli Ciaaattt menciptakan Gamelan Mulut (Gamut) yang sangat viral di YouTube. Dari sana muncul ide untuk mengangkat lakon Panjisemirang.
Kisah Panji memang bagus, karena kebanyakan dramatari di Bali menggunakan cerita panji sehingga masuk. “Saya kemudian membaca beberapa buku menggali cerita Panjki tersebut. Lalu, lahirlah gabungan seni dengan berbagai bentu, seperti Arja, Janger, Gambuh. Genggong,” papar Gabriel.
Janger merupakan kesenian asli Pegok yang dalam tayangan video sudah ada sejak 1936, sehingga kembali dipentaskan bersama. Hal ini penting untuk regenarasi Janger khas Pegok.
Gambuh juga memakai cerita Panji, sehingga bisa menyatu. Maka melakukan persiapan secara matang agar bisa melibatkan anak-anak geranasi muda. Tak hanya itu, alat-alat musik gambuh seperti suling lalu disiapkan untuk memperlancar proses latihyan sekaligus penggenerasian. “Kata Prof Bandem, Gambuh di Sesetan paling tua, tetapi hilang,” ucapnya.
Dalam pentas tersebut, Mr. Gabriel juga terlibat sebagai pemain. Pria pengajar Bahasa Prancis di salah satu sekolah di Jakarta itu memang sudah biasa menari Bali, serta piawai memainkan alat musik gamelan Bali, termasuk genggong.
“Saya lebih suka memainkan musik klasik. Kita bisa berkolaborasi membuat seni kontemporer atau kreasi baru, tetapi di dalam tradisi jangan pernah putus. Kesenian tradisi itu memiliki keunggulan, karena di sana bisa mencari inspirasi. Tradisi itu vibrasi, identitas kita,” sebutnya serius.
Sementara Bli Ciaaattt mengatakan, karya dramatari Panjisemirang ini sesuatu yang unik. Karena ada edikukasi yang tinggi. Para penabuh yang usianya rata-rata 17 tahun itu belajar musik genggong. Dalam kurun waktu yang singkat, mereka berhasil membunyikan genggong secara baik.
Mereka juga belajar gambuh tergolong gamelan Bali yang sangat sulit. “Awalnya mereka sulit membawakan suling Gambuh. Ada image, kalau tak bisa memainkan suling gambuh, maka belum bisa disebut sebagai tukang suling,” ujar pria jebolan ISI Denpasar itu.
Sekarang, setelah mereka piawai membawakan suling gambuh, mereka sudah menjadi tukang suling. Mereka melakukan itu dengan bersahaja, mereka mau mempelajari dengan situasi android, handpone yang merajalela mempengaruhi otak mereka.
Gamut juga dipelajari, sehingga ada hal baru yang tak hanya begitu-begitu saja. “Secara pasaran kita dipubliksikan, kalau ada musik barat kita justru bangga. Tetapi, Mr. Gabriel justru sebaliknya. Tradisi itu membawa energi, kenapa kita berkiblat kepada musik barat. Justru mereka berbalik. Ini yang harus diikuti melestarikan tradisi untuk menurunkan kepada adik adik kita,” paparnya.
Boleh-boleh saja mendapat pengaruh dari luar, tetapi mesti mengambil yang asyiknya saja. Justru mereka di Eropa menggunakan musik tradisi Bali. “Nah, agar tidak berbalik, mereka yang mempelajari musik kita, tetapi kita meninggalkannya. Contoh belagenjur diagungkan oleh orang barat yang permainan dan etkniknya yang begitu rumit. Mestinya, kita yang memiliki lokal genius mestinya yang jauh lebih nikmat dari pada mereka di sana,” pungkas pengajar kesenian Bali di Belgia ini.[T][Jas/*]
- BACA artikel lain tentang PESTA KESENIAN BALI