HARI ITU Singaraja benar-benar terasa panas, temperaturnya sekitar 32 derajat Celsius. Untuk itu saya memutuskan duduk diam di dalam kamar—hari itu saya memang sedang libur bekerja.
Singaraja di awal bulan ini adalah kota yang dilanda ketidakpastian musim. Ada waktu-waktu tertentu ketika matahari bersinar dengan terang—dan panas, panas sekali. Tetapi hanya sepersekian menit dan tanpa diduga-duga, tiba-tiba angin mengirim kumpulan awan hitam dan membuat matahari lari terbirit-birit.
Udara panas seperti beberapa hari yang lalu mengingatkan saya akan suasana kampung halaman. Saat panas, di kampung saya, jalanan seperti dipanggang dan angin kering berembus membawa debu dan aroma kotoran ternak. Orang-orang berlalu-lalang dengan gerutu-gerutu. Para perempuan berkumpul di tiap-tiap beranda rumah sambil mengupas kulit kacang tanah—bakal bibit, kata mereka. Setiap menit pembicaraan, mereka mengungkapkan teori yang sama bahwa matahari sesungguhnya tidak sepanas ini beberapa tahun sebelumnya.
Bumi kita memang semakin memanas, diakui atau tidak. Goddard Institute for Space Studies (GISS), lembaga penelitian semesta milik NASA, mencatat suhu bumi naik 0,8 derajat Celcius sejak 1880—seratus tahun setelah dimulainya Revolusi Industri, ketika era pertanian berubah menjadi pengolah barang di pabrik. Sebab, dua pertiga kenaikan tertinggi dimulai sejak 1975 sebesar 0,15-0,2 derajat Celsius per dekade. Perubahan iklim tengah terjadi, akibat aktivitas manusia dan segala penghuninya. Ia bukan mitos, seperti diyakini mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Saya kutip dari Majalah Fores Digest edisi Januari-Maret 2019, iklim yang berubah tak sekadar soal suhu yang naik. Perubahan iklim bisa terlihat dengan jelas dari kian banyaknya jenis badai yang melanda belahan-belahan dunia dalam 50 tahun terakhir. Badai, banjir, salju yang ekstrem, dan musim kering berkepanjangan yang merenggut korban jiwa selalu tak sama di tiap-tiap era.
Orang tua saya di kampung, tak lagi memakai primbon untuk menghitung musim dan menyesuaikan tanaman dan waktu panen di sawah dan ladang. Primbon, yang berasal dari perhitungan-perhitungan kuno berdasarkan pengalaman sehari-hari, tak lagi sesuai atau bisa memprediksi perubahan cuaca.
Setiap tahun ada perubahan-perubahan waktu tanam karena palawija tak sesuai lagi dengan iklim yang berganti. Musim hujan tak lagi terjadi pada kurun September-April, tapi di bulan-bulan kering antara Mei-Agustus.
Penyair Sapardi Djoko Damono mesti membuat satu puisi lagi untuk menyesuaikan perubahan iklim ini. Ketika ia menulis puisi Hujan Bulan Juni—yang fenomenal itu—pada 1994, musim masih sesuai dengan penanggalan primbon. Dalam sajak itu, Sapardi menggambarkan bahwa hujan bulan Juni sebagai ketabahan karena air jatuh dari langit itu salah masa: rintiknya menghapus jejak kemarau yang panjang.
Tapi kini, hujan bulan Juni bukan lagi metafora untuk ketabahan karena pada pertengahan tahun itu di beberapa daerah justru sedang banjir. Di Jakarta, pada Juni 2018, tinggi banjir mencapai satu meter.
Jarak antara puisi Sapardi dengan hari ini tak sampai 30 tahun. Dalam kurun itu cuaca berubah, iklim berganti dan penanggalan primbon tak berlaku lagi. Perubahan-perubahan cuaca yang pendek itu menunjukkan bahwa ada yang sedang berubah di alam semesta. Celakanya, perubahan itu ke arah yang lebih buruk. Deforestasi, naiknya jumlah penduduk, makin atraktifnya “mesin dana” produk-produk industri membuat karbon dioksida sebagai gas yang terbuang dari proses produksi itu, terperangkap di atmosfer kita sehingga memancar kembali ke bumi dan menaikkan suhu.
***
Waktu itu saya ambil telpon genggam dan mulai membuka media online, tetapi seingat saya tidak ada berita penting, selain hal-hal yang, oleh para wartawan, dianggap perlu saya ketahui, supaya saya merasa terlibat dan ikut menyuarakan pendapat. Seperti orang-orang pada umumnya.
Saya pun beralih ke jajaran buku-buku koleksi saya, barangkali ada buku yang menarik untuk kembali dibaca. Tapi sayang, tidak ada yang menarik untuk saat ini, melihat buku-buku sejarah dan filsafat malah membuat saya merasa pusing sebelum membukannya.
Saya ingin pergi berjalan-jalan tetapi di luar suhu sangat panas. Saya sudah menghabiskan sebatang rokok—ya, saya ingat itu. Saya sudah mengirim foto permintaan seorang kawan. Saya sudah memeriksa tubuh saya dan untunglah tidak ada kelainan apa pun (saya takut sekali kalau sampai dipasangi slang lewat tenggorokan, tetapi ternyata kondisi tubuh saya masih baik-baik saja, tanpa cacat satu pun). Besoknya ada beberapa hal yang mesti saya lakukan, dan ada juga urusan-urusan yang sudah saya bereskan kemarin, tetapi hari itu…
Hari itu benar-benar tidak ada urusan apa pun yang memerlukan perhatian saya.
Saya merasa gelisah. Tidakkah seharusnya saya melakukan sesuatu? Yah, seadanyai saya ingin mencari-cari kesibukan, itu tidak terlalu sulit. Pasti ada saja yang bisa dikerjakan, beberapa tulisan orang yang dikirim ke Tatkala.co yang harus segera saya edit, sampah-sampah yang mesti dibuang, perabotan dapur yang harus dicuci, buku-buku yang mesti diletakkan di tempatnya, atau arsip-arsip komputer yang perlu dirapikan. “Tetapi bagaimana kalau saya hadapi saja kekosongan yang tanpa kegiatan ini?” pikir saya waktu itu.
Saya berjalan keluar kontrakan dan duduk di sebuah ranjang dengan kasur yang sudah busuk. Dan dalam hati saya mulai mendaftar hal-hal yang berkecamuk di dalam pikiran saya:
(1) Saya tidak berguna. Pada saat ini semua mahasiswa akhir sedang sibuk menyelesaikan skripsi—dan semua orang lain sedang sibuk bekerja keras.
(2) Saya tidak punya teman. Lihat saja ini—banyak orang di luar sana, tapi saya hanya seorang diri; bahkan telpon pun tak berdering.
(3) Saya perlu membeli makan.
Ya, saya baru ingat seharian itu saya belum memakan apa-apa. Kenapa saya tidak langsung mengambil kunci motor dan berangkat ke warung terdekat? Namun waktu itu saya hentikan pemikiran itu. “Kenapa begitu sulit untuk tetap seperti ini saja, tidak melakukan kegiatan apa-apa?” Seperti ada suara dalam kepala saya.
Serangkaian pemikiran kacau melintasi benak saya: teman-teman mahasiswa yang cemas mau jadi apa setelah mereka lulus nanti; percakapan-percakapan tanpa ujung pangkal; bergadang sampai larut malam padahal tidak ada yang penting untuk menjadi pembahasan; para artis yang begitu semangat ingin menjadi wakil rakyat walau beberapa lebih memilih selingkuh dan bercerai; para atasan yang terus menekan bawahan agar terlihat kuasa; para bawahan yang rela menjilat kaki atasan agar mendapat pujian; para ibu yang cemas dengan kenakalan anak remajanya; para pelajar yang menyiksa diri mencoba memahami sekolahnya; dan seambrek soal-soal yang sebenarnya tak perlu saya pikirkan.
Saya bergulat lama dan keras dengan diri sendiri supaya tidak bangkit ke warung untuk membeli sesuap nasi. Waktu itu saya mengalami perasaan cemas dan gelisah yang amat sangat, tetapi saya menguatkan tekad untuk tetap di sini—di ranjang dengan kasur busuk itu—dan tidak melakukan apa-apa, sedikitnya selama beberapa jam.
Perlahan-lahan kegelisahan itu berganti menjadi perenungan, dan hari itu, di awal bulan Juli 2023, saya mulai mendengarkan sukma saya. Sepertinya sudah lama sukma saya ingin mengajak bercakap-cakap, tetapi saya terlalu sibuk.
Di luar panas terik masih mendaulat Kota Singaraja, hawanya panas karena berangin—“dan nanti sore barangkali saya perlu membeli makan,” ucap saya waktu itu.
Ya, hari itu saya memang tidak punya kegiatan apa-apa, tetapi di lain pihak saya juga melakukan satu hal yang amat sangat penting: saya mendengarkan apa yang perlu saya dengar dari diri saya sendiri. Itu.[T]