Barangkali benar adanya, dinding bandara lebih banyak menyaksikan pelukan paling tulus ketimbang altar pernikahan.
TEPAT TANGGAL 20 Juni 2023, untuk pertama kalinnya saya menapakan kaki di bandara, tepatnya Bandara Ngurah Rai, Bali, untuk mengantarkan seseorang menjemput mimpi di negeri Paman Sam.
Pagi itu kami berangkat menuju Bandara Ngurah Rai dari Singaraja yang jaraknya kurang lebih 95 km. Kami melewati lika-liku jalan Gitgit yang telah banyak terjamah pembangunan.
Perasaan gelisah, takut, haru, sedih bercampur menjadi satu mengiringi perjalanan kami. Bahkan, riuhnya kendaraan dan bunyi klakson yang tak pernah henti seakan tak mampu mengalihkan perasaan tersebut.
Sesekali percakapan-percakapan kecil hadir untuk sekadar mengusir ilusi-ilusi buruk yang menghinggapi pikiran, hingga sedikit ketenangan menelusup dari sela-sela tawa kecil kami.
Namun, hal tersebut tak berlangsung lama, ketika plang bandara tampak dijangkauan mata, perasaan sesak seakan menghimpit lagi. Bulir keringat yang timbul dari sela-sela jari seakan membekukan telapak tangan. Kepala berdengung riuh dengan kata “perpisahan”.
***
Mobil berhenti di zona drop off terminal keberangkatan, terlihat banyak orang mendorong koper menuju lobby bandara, entah bersama keluarga, kerabat atau mungkin kekasih dengan berbagai ekspresi di wajah mereka.
Langkah-langkah kecil saya pijakan menelusuri dinginnya lantai bandara penerbangan internasional itu, sembari menghitung detik demi detik waktu yang saya miliki untuk sekadar menggenggam tangannya dan mencium wangi tubuhnya yang khas.
Di lobby bandara terpasang banyak petunjuk dengan berbagai bahasa yang cukup membingungkan, ditulis dengan bahasa maupun huruf asing—barangkali diperuntukan untuk mereka-mereka yang membutuhkan informasi keberangkatan.
Orang berlalu lalang sembari menyeret koper di tangan dan tas-tas besar di punggungnya, bercengkrama dengan berbagai bahasa—wajar saja, mengingat ini bandar udara internasional.
Dengan saksama saya perhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di lobby bandara; ada yang bergerombol ramai-ramai bersama keluarga—barangkali mereka juga mengantarkan orang terkasih—; ada yang hanya berdua; ada pula yang sendirian mengasingkan diri dari keramaian. Mata mereka sembab, barangkali perasaan mereka sama dengan saya, atau mungkin euphoria bandara keberangkatan memang seperti itu?
Pandangan saya terkunci pada sepasang kekasih (dari fisiknya terlihat seperti orang Barat) yang sedang merayakan perpisahan dengan adegan pelukan hangat dan kecupan manis di kening.
Bibir mereka tersenyum namun sayang, cairan bening menyembul dari balik mata mereka. Salah satu dari mereka memasuki ruang administrasi penerbangan sembari menggeret koper, sedang yang lain berdiri mematung.
Seketika saya teringat salah satu adegan iconic dalam film “Ada Apa Dengan Cinta” pada saat Cinta mengejar Rangga yang sebentar lagi akan boarding menuju New York. Pada adegan dramatis itu, dengan tergesa, Cinta menyatakan perasaannya yang sebenarnya kepada Rangga.
Cinta dan Rangga melakukan adegan perpisahan persis seperti yang dilakukan oleh sepasang kekasih di depan saya; pelukan hangat, ciuman ditambah secarik puisi. Perpisahan yang dikemas dengan romantisme. Dan ya, saat ini saya di sini, dengan kondisi yang sama namun sayang adegannya yang sedikit berbeda.
***
Ketika melihat dia memasuki ruang administrasi dengan koper yang digeret di samping kanannya dan tas hitam tersampir di punggungnya, langkah kakinya tidak terlalu cepat pun tidak terlalu lambat. Lamat-lamat punggungnya menjauh, hilang dari pandangan mata.
Tanpa sadar, cairan hangat menggumpul di pelupuk mata, dengan tergesa saya edarkan pandangan, memandangi dinding-dinding kokoh—yang telah menyaksikan ribuan pelukan tulus manusia (sekali lagi, barangkali pelukan-pelukan pada altar pernikahan tidak setulus pelukan yang terjadi di bandara)—dan langit-langit bandara dengan desain mewahnya yang telah mendengar beribu doa paling tulus ketimbang rumah-rumah ibadah manapun.
Beberapa kali saya mendengar kata “perpisahan paling khusyuk terjadi di bandara”, dulu, dan beberapa kali pula saya menampik ungkapan tersebut. Namun kini saya percaya.
saya tidak pernah membenci bandara, hanya saja tidak menyukai suasana perpisahan yang terjadi di sana. Namun, bukankah hidup juga berjalan secara demikian? Perpisahan dan pertemuan datang bergantian.
Kenapa hanya merayakan pertemuan? Bukankah sebelum pertemuan kita harus berjumpa dengan perpisahan terlebih dahulu? Dan, bukankah perpisahan juga layak di rayakan?
Pada akhirnya, saya hanya bisa bergumam, berkelanalah sejauh mungkin dan pulanglah ketika waktunya telah tiba. Berjanjilah untuk segera pulang bersama setumpuk cerita dan sekantong penuh rindu.[T]