DALAM RANGKA meramaikan bulan Bung Karno, salah satu komunitas literasi di Bali Aga Pedawa, Pondok Literasi Sabih (PLS), mengajak anak-anak—yang tergabung dalam komunitas Literasi Sabih—untuk “menengok” kembali spirit masa lalu dengan cara menggali dan merevitaslisasi permainan dan lagu-lagu tradisional anak Pedawa.
Acara tersebut berlangsung pada Rabu-Jumat, 14-16 Juni 2023, di Lingkungan Sabih, Banjar Dinas Asah, Desa Pedawa, Kecamatan Banjar, Kabupetan Buleleng-Bali.
Benar. Beberapa permainan tradisional yang umum dimainkan anak-anak Pedawa dulu—mungkin juga permainan anak di belahan bumi lain—, sekarang hampir mengalami kepunahan.
Dan salah satu yang menjadi penyebabnya bisa jadi adalah kedatangan budaya baru dalam bentuk kecanggihan teknologi—untuk anak biasanya dalam bentuk game online. Hal ini mengakibatkan anak sekarang tidak lagi memainkan permainan tradisional yang dulu juga dimainkan oleh generasi kakek-neneknya—permainan itu hampir terlupakan.
Padahal, jika saja mau kritis, permainan anak modern—yang berbentuk game online atau gadget secara umum—cenderung membuat anak-anak bermain secara individual: menyendiri dalam ruangan, ansos, cederung bersifat pasif dalam gerak. Hal ini tentu tak baik dalam perkembangan dan daya tahan tubuh anak.
Hal di atas tentu sangat bertolak belakang dengan permainan tradisional yang dimainkan secara bertim, di luar ruangan dan membuat anak-anak aktif bergerak. Atas dasar itulah, Pondok Literasi Sabih mencoba untuk mengenalkan kembali berbagai jenis permainan anak yang pernah dimainkan di Pedawa.
“Ini dalam rangka menguatkan “Kepedawaan” (hal-hal tentang Pedawa) kami. Dan ini cara kami untuk mempertahankan nilai-nilai budaya dan keunikan Pedawa sebagai sebuah desa Tua di Bali (Bali Aga). Kegiatan belajar dilaksanakan pada hari Sabtu atau Minggu atau menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada,” terang Wayan Sadnyana, Pendiri Pondok Literasi Sabih, Jumat (16/6/23) malam.
Merevitalisasi tujuh permainan tradisional
Sebanyak tujuh permainan tradisional di desa Pedawa yang kembali direvitalisasi. Permainan tersebut sejatinya telah lama hilang. Namun masih kental diingatan tetua desa setempat. Hanya saja, seperti yang sudah di sampaikan di awal, tidak ada anak-anak yang memainkan permainan itu lantaran gempuran modernisasi.
Tujuh permainan itu adalah: Megebug Tingkih, Micet, Metembing Tingkih, Mesimbar, Metembing Karet, Metembing Pipis Bolong dan permainan lompat berbasis kombinasi dengan lagu tradisional.
Permainan-permainan tersebut cukup unik. Misalnya seperti Mesimmbar dan Micet. Dua permaian itu adalah permainan yang sama-sama menggunakan buah kemiri sebagai perangkat utama. Cara bermainnya adalah disentil. Kurang lebih mirip seperti bermain gundu. Sebenarnya itu adalah permainan bola biliar zaman dulu. “Bedanya, kalau pakai tingkih (kemiri) ini pakai tangan. Kalau biliar yang sekarang ‘kan pakai stik. Mainnya disentil,” kata Sadnyana.
Dan usaha untuk membangkitkan permainan tradisional itu memang melalui proses panjang. Dari investigasi kecil-kecilan hingga mendatangi tetua di desa Pedawa.
Menurut Sadnyana, sebagai komunitas yang menerapkan pembelajaran informal, Pondok Literasi Sabih berusaha mendekatkan anak-anak dengan kebudayaan. Terutama kebudayaan yang ada di desa Pedawa. Konsep pembelajaran itu dilakukan dengan santai tapi konten pembelajarannya tetap serius.
“Bermain sambil belajar. Lahirlah kembali permainan-permainan ini. Karena anak-anak kami tertarik dan senang melakukan itu. Kami juga menjelaskan secara sederhana mengeai nilai budaya sehingga mereka dapat dengan mudah memahami,” tambahnya.
Proses pembelajaran di Pondok Literasi Sabih juga dilakukan dengan berkolaborasi dengan beberapa komunitas lainnya. Pada tahun 2019, PLS pernah ikut dalam kegiatan pembuatan film anak yang dilakukan oleh TVRI Denpasar. Saat itu TVRI membuat film dokumenter tentang permainan anak tradisional yakni permainan Gasing (gangsing).
Tak hanya itu, PLS juga pernah berkolaborasi dengan Balai Bahasa Provinsi Bali. Kolaborasi yang dilakukan tahun 2022 itu yakni revitalisasi sastra lisan dari Desa Pedawa. Sastra lisan tersebut berupa cerita rakyat pengantar tidur atau dongeng I Jaum. Saat dipentaskan tahun lalu, pemerannya tidak hanya anak-anak. Warga desa yang dipinang untuk memerankan tokoh juga tampil maksimal.
“Kegiatan ini untuk membangkitkan kembali sastra lisan I Jaum yang sudah hamper punah. Kegiatan dipentaskan dalam drama I Jaum,” tutupnya.[T]