SEKUNI ADALAH PROVOKATOR meletusnya Bharatayuda, perang saudara maha dahsyat Korawa versus Pandawa. Dituturkan dalam epos Mahabharata, jalan damai yang ditawarkan Pandawa sama sekali tidak digubris Duryadana, sulung Korawa, semuanya atas bisikan licik dari Sekuni.
Tanah Kuruksetra kemudian menjadi saksi pertumpahan darah, ladang pembantaian sesama saudara sebangsa, akibat hasutan keji politikus busuk Sekuni. Namun otak kotor dan mulut berbisa pejabat tinggi Hastinapura ini akhirnya dapat diberangus Bima. Dikisahkan dalam sebuah perang tanding yang sengit, mulut Sekuni dirobek dan kepalanya dikepruk hancur oleh Bima.
Seni pertunjukan Bali mengenal tokoh ini dengan sebutan Sekuni. Jagat pewayangan Jawa dengan fasih menamai Sengkuni. Sedangkan masyarakat Hindustan (India), mengeja nama tokoh antagonis Mahabharata ini dengan Shakuni.
Sekuni adalah paman sekaligus pengasuh dan penasihat para Korawa. Adik Sekuni, Dewi Gandari yang menjadi permaisuri Raja Drestarasta, memuluskan karier Sekuni menempati posisi di lingkaran utama penguasa kerajaan. Sejak belia, putra-putra dari pasangan Drestarasta dan Gandari, dididik oleh Sakuni mencurangi dan memusuhi Pandawa, anak-anak Pandu. Disulut bara kedengkian Korawa yang menghalalkan segala keculasan, Sakuni sukses mendepak dan mencampakkan Pandawa dalam jurang nista lahir dan batin, berkepanjangan.
Masyarakat Bali yang gandrung menyaksikan pagelaran sendratari di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB), sangat familiar dengan sepak terjang Sekuni. Sendratari Mahabharata yang dipentaskan di panggung Ardha Candra, Taman Budaya Bali, sering menampilkan tokoh Sekuni dalam sajiannya.
Era tahun 1980-2000, dapat disebut masa jaya sendratari PKB dengan salah daya tarik tokohnya, Sekuni. Tidak sedikit penonton begitu antusias menunggu-nunggu kemunculan Sekuni. Bahkan, tak jarang penonton yang awam akan cerita, mengharap tampilnya Sakuni dalam sendratari yang lakonnya bersumber dari cerita Ramayana.
Seni pentas yang sempat menjadi primadona PKB itu tanpa sengaja melumuri karakter Sekuni jadi humoris dan kocak. Sekuni digambarkan tidak hitam pekat tetapi agak abu-abu, cenderung bagaikan pendagel. Masyarakat penonton yang dalam seni pedalangan memahami Sekuni sebagai tokoh sombong, sirik dan dengki, di panggung pesta seni justru jadi remeh, tukang canda, suka guyon.
Masih ingat? Sekuni yang diperankan dengan khas oleh penari I Made Mundra dalam pengendalian Dalang I Dewa Ngakan Sayang, selalu mampu mengundang gelak ribuan penonton. Adegan yang sering membuat penonton terbahak adalah perang tanding Sekuni menghadapi Bima.
Namun, setidaknya pada lima tahun belakangan, PKB telah kehilangan Sekuni. Pementasan sendratari kolosal yang senantiasa mengundang antusiasisme penonton itu, cenderung mengangkat cerita alternatif di luar epos Mahabharata sebagai sumber lakon. Tetapi, bayang-bayang Sekuni, kini, kiranya lebih banyak berkelebat di luar panggung, dalam centang perenang alam nyata, khususnya di tengah intrik aneka tikungan-selingkuhan jagat sosial politik.
Sebelum ketokohan Sekuni dieksploitasi miring menghibur di arena PKB, secara tradisional, masyarakat penonton tergiring benci dan antipati dengan tokoh-tokoh antagonis, pada dramatikal seni pertunjukan Bali. Kiranya tidak ada penonton wayang yang meneladani polah Sekuni.
Demikianlah, sekitar tahun 1970-an, tidak sedikit penonton terbawa emosi membenci tokoh antagonis, termasuk hingga kepada pelaku seni yang membawakan peran itu di luar panggung. Sebaliknya, para penonton sangat berempati hingga sampai berurai air mata menyaksikan lara yang dialami tokoh protagonis, misalnya, apakah dalam dramatari Arja atau pun Drama Gong di tahun 1980-an. Ini semua sebagai cermin, nilai moral dalam kandungan sebuah cerita atau dalam seni pertunjukan disetujui kearifan dan saripati pesannya.
Tokoh Bima dan Sekuni dalam sendratari di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB )era tahun 1980-an | Foto: Dok Kadek Suartaya
Rumus konsepsi klasik, kebajikan mengalahkan kebatilan masih berlanjut dijadikan resep lakon seni masa kini yang diulang-ulang dengan berbagai variasi, baik dalam sinetron ataupun dalam kemasan film. Termasuk yang berkaitan dengan tokoh Sekuni dalam garapan film dan sinetron buatan India maupun karya sines tanah air.
Namun jika dicermati secara sekilas, tak terasa adanya letupan emosi penonton yang berlebihan memusuhi Sekuni seperti dulu terjadi pada tokoh-tokoh antagonis seni pertunjukan tradisional kita. Jika bukan hanya dinikmati sebagai sajian pengisi waktu belaka, kiranya telah terjadi pergeseran cara pandang masyarakat di tengah relativitas moral yang simpang siur di dunia nyata, terpampang pada prilaku tokoh-tokoh nyata di sekitar kita.
Jika ditempatkan sebagai tokoh nyata, ada argumentasi atau motivasi “manusiawi”, kenapa Sekuni begitu tega membuat Pandawa hina dan melarat, dikarenakan sakit hatinya kepada Pandu, ayah para Pandawa. Sekuni dan adiknya, Gandari, pernah menjadi tawanan perang Pandu. Sekuni remaja sangat berharap Gandari mau diperistri Pandu yang tampan. Lacur, Pandu yang telah beristri tak hirau dengan kecantikan Gandari. Sekuni tersinggung dan kian dendam, ketika Gandari diserahkan oleh Pandu kepada Drestarasta yang buta.
Gandari sendiri juga merasa dilecehkan dan tidak lagi mau melihat wajah Pandu, lalu menutup matanya dengan kain hitam. Demikian pula Sekuni, dendam dan bencinya pada Pandu menumpuk berkecamuk. Ketika berhasil menjadi pejabat Hastinapura, ia mengpatgulipatkan segala ramuan siasat busuk untuk menghancurkan para Pandawa, anak-anak Pandu.
Di dunia nyata, ulah politikus ala Sekuni bukanlah sesuatu yang tabu. Bahkan tidak sedikit dengan penuh kesadaran yang melakoninya dan berhasil meraup segala hasrat politiknya. Politikus yang menepikan moral ini lazim disebut dengan Machiavellian. Ajaran dari pemikir Italia abad ke-16, Niccolo Machiavelli inilah yang dianut secara sadar dan sengaja oleh sejumlah politikus dunia dalam merengkuh kekuasaan dengan prinsip “tujuan membenarkan cara”. Tanpa berpretensi memburukkan citra politik, Machiavelli memberikan arah dan gambaran realistis terkait dengan cara-cara pemimpin agar berhasil.
Ajaran dari Machiavelli yang menggunakan kontes politik dengan segala cara ini, menjadi perdebatan seru bila dibenturkan dengan moral. Menurut Machiavelli, pemimpin-pemimpin yang baik harus belajar untuk tidak menjadi baik, berkemauan untuk menyingkirkan moral dari politik, termasuk soal kebaikan, keadilan dan kejujuran. Rupanya, pemikiran Machiavelli ini sebelumnya telah dituturkan dalam epos masyur Mahabharata, seperti yang diejawantahkan Sekuni bersama keponakannya, Duryadana cs.
Kini, dalam pengap gerahnya jagat politik dunia nyata di tanah air Indonesia, gelagat para Sekuni mengemuka begitu pongah, bebal, keblinger, amoral, congkak, sarat intrik, yang, semuanya berujung adalah untuk merengkuh kekuasaan. Ironisnya, mereka sumeringah bangga bila berhasil mengobarkan kegaduhan, kerusuhan, polarisasi dan perpecahan bangsa.
Bharatayuda melukiskan, Sekuni menerima karmanya yang sekarat meregang nyawa secara mengenaskan. Setelah ditumbangkan Sahadewa, dilanjutkan oleh Bima, memporakporandakan tubuh Sekuni yang masih menyisakan nafas. Anggota badannya dilepas-lepas, dicabik-cabik dan dikuliti dengan geram oleh Bima.
Isi kepala Sekuni dihamburkan dan setelah mulutnya dibelah hingga ke bagian telinga, lidahnya ditarik keluar. Para dalang wayang kulit di Jawa dan Bali juga ada yang menggambarkan percikan daging dari tulang belulang mayat Sakuni berserakan amis, membusuk dengan bau memuakkan di tanah Kusuksetra yang lembab oleh genangan darah manusia.
Anehnya, anjing yang berkeliaran mencari bangkai tak ada yang berselera dengan daging dan tulang Sekuni. Demikian pula burung gagak yang berterbangan memburu santapan, tak ada yang bernapsu dengan bangkai Sekuni. [T]