SEKITAR BULAN MEI tanggal 15, saya dihubungi (chat) salah seorang mahasiswa yang sedang KKN di SMKN 1 Singaraja. Kurang lebih chat itu berisi tentang permohonan untuk membantu salah satu proker mereka tentang kampanye anti bullying.
Mereka ingin mementaskan teater sederhana yang pastinya bertema bullying. Saya mengiyakan saja karena dalam pikiran saya, pentas ini tidak akan ribet. Kumpul perdana dilaksanakan esok hari, siplah.
Keesokannya, saya sudah disuguhi naskah berjudul “Siapa yang Salah” yang berjumlah 9 halaman. Secara umum saya menyimpulkan naskah ini cukup cair dan mudah mengerti. Mengisahkan tentang Mentari anak SMA di sebuah sekolah yang dibully karena miskin, jelek dan pendek.
Selain itu dia mengalami kurang kasih sayang orang tua karena ayahnya sudah meninggal dan ibunya sibuk bekerja. Di suatu waktu dia dirundung habis-habisan oleh teman sekelasnya yang bernama Bianca, Cecil, Dion dan Devan sampai tangannya terluka karena terkena catokan yang panas.
Pada waktu itu Mentari sudah tidak kuat dan terkena serangan mental sehingga mentalnya menjadi tidak stabil. Ketika mengalami ketidakstabilan mental itulah ibunya mulai memperhatikan dan membawanya ke dokter. Dokter menyimpulkan bahwa Mentari sering mengalami kekerasan fisik dan mental.
Menyadari hal itu, ibunya tidak terima anaknya telah dirundung di sekolah. Ibunya melaporkan teman-teman yang merundung Mentari. Mereka diancam keluar sekolah oleh Kepala Sekolah. Namun akhirnya laporan dicabut karena orang tua dari anak-anak yang merundung Mentari siap mengganti rugi secara materi biaya pengobatan.
Citra, teman baik Mentari menceritakan hal tersebut ke Mentari. Mentari yang tidak stabil secara emosional mengamuk karena merasa hal itu tidak adil. Citra berlari memanggil Dokter. Mentari bunuh diri dengan cara menenggak obat sampai Overdosis. Saat dokter dan yang lainnya tiba, itu semua sudah terlambat.
.
Bagaimana naskah tersebut? Mungkin terdengar biasa saja jika disandingkan dengan naskah-naskah karya penulis terkenal yang biasa dipentaskan anak-anak SMA secara umum. Memang anak-anak SMA sudah dianggap mampu mementaskan naskah-naskah berat seperti “Bila Malam Bertambah Malam” karya Putu Wijaya, “Pada Suatu Hari” atau “Kisah Cinta dan Lain-lain” karya Ariffin C Noer. Hal itu ada benarnya karena pada masa SMA, mereka dianggap sudah mulai matang dan sudah mulai bisa menginterpretasikan hal-hal lebih berat layaknya orang dewasa pada umumnya. Sayapun setuju akan hal itu, karena saya sendiri mengalami dan sekaligus melihat hal tersebut.
Namun belakangan ini, sepengalaman saya mengajar ekstra teater, kedewasaan tidak berbanding lurus dengan pemahaman pada teater. Maksudnya begini, tentu kita (saya dan pembaca tatkala secara umum) sudah sering melihat pementasan teater. Mulai dari pentas kelas dalam acara sekolah sampai pentas besar seperti pementasan yang ada di festival sehingga kita bisa membedakan ooh ini pentas yang naskahnya kurang menarik tapi aktingnya bagus, ini naskah dan aktornya bagus.
Mereka peserta ekstra teater yang masih kelas 1 SMA/K hanya tahu bahwa teater yaa pentas. Entah itu pentas kelas dan pentas festival, yaa sama-sama pentas. Persiapannya pasti sama dan komponen pendukungnya pasti sama. Tidak salah memang, tapi jika pentas festival persiapannya seperti pentas drama kelas, waduh kacau itu.
Berangkat dari pemahaman itu, jika anda adalah seorang pembina, pentas seperti apa yang akan langsungkan? Apakah pentas kelas festival untuk menunjukkan bahwa ‘ini lho beneran pentas, ngga kayak pentas drama kelas yang ecek-ecek’ atau melangsungkan pentas drama sederhana saja?
Hal itu bebas saja sebenarnya, tapi apa yang ingin saya tekankan adalah tentang pemahaman siswa ekstra pada teater. Saya awalnya berniat langsung pentas berat agar anak-anak ekstra tau bagaimana rasanya pentas. Saat itu saya memilih naskah monolog agar lebih mudah mencari aktor. Kriteria utama tentu saja vokal dan intonasi yang saya anggap baik.
Namun apa yang terjadi? Siswa tersebut kebingungan memahami naskah. Sering bolos latihan dan terkesan malas latihan.
Saya heran, perasaan saya dulu ngga gitu deh. Naskah sudah didiskusikan dengan baik, lalu kenapa siswa sulit membedakan mana orang emosi karena sedih dan emosi karena memang marah? Saya juga bingung padahal sudah saya contohkan caranya. Akhirnya saya putuskan untuk menunda pementasan tersebut dan mencari pentas lain.
Kembali ke pementasan topik bullying. Saat latihan anak-anak saya (anggota teater) sangat enjoy dan menikmati naskah tersebut. Saya simpulkan mereka menyukai naskah tersebut. Ikut merasa sedih pada Mentari dan marah pada Bianca, Cecil, Dion dan Devanka. Kok mereka suka sih? Harusnya mereka sudah cukup dewasa untuk menginterpretasikan naskah-naskah karya penulis terkenal seperti anak SMA pada umumnya.
Saya termenung beberapa saat sebelum saya menyadari ada hal yang kerap saya atau mungkin kalian lupakan tentang pentas. Menikmati proses pentas. Apa maksudnya? Begini, saya masih ingat ketika dulu mementaskan naskah “Barabah”, saya sangat tertekan dan kesulitan memainkan tokoh Banio kala itu. Ada banyak tuntutan ini dan itu.
Beberapa kali saya takut latihan dan takut salah menginterpretasikan. Memang pada akhirnya saya menikmati pentas itu ketika sudah selesai, tapi tetap saja prosesnya sangat berat bagi saya yang kala itu masih awal SMA. Tentu hal ini bisa diperdebatkan dan kemungkinan saya salah. Namun dalam pementasan kala itu saya merasa saya terlalu banyak pikiran sendiri.
.
Kita (pembina) sudah punya begitu banyak pengalaman pentas, pengalaman menjadi kru, sutradara, pemusik dan lain-lain sehingga kita bisa memilah bahwa naskah ini bagus, dalam dan pokoknya menarik.
Naskah-naskah itu pulalah yang kita sering pentaskan untuk menjadi kegiatan teater. Tentu tidak salah, namun, apa yang kita kejar sebagai pembina? Saya sendiri sebelumnya mengejar kesuksesan pentas, dalam artian pentas lancar dan tidak ada cemoohan dan kritikan keras dari pihak manapun.
Mengapa yang saya kejar malah hasil akhir? Inikan ekstra bukan teater profesional. Saya harus mengajari bahwa proses teater itu menyenangkan terlebih dahulu sebelum bahwa hasil pentas itu menyenangkan. Bagaimana caranya? Yaaa itu, pentas di sekolah saja terlebih dahulu. Karena kalau jelek ngga bakal dicemooh atau dikritik habis-habisan. HAHAHAHA.
Hal kedua yang saya lupakan adalah mereka (peserta ekstra). Mereka memang sudah SMA/K tapi pemahaman mereka pada teater mungkin tak ada bedanya siswa SMP atau bahkan SD yang belajar teater dari buku sekolah.
Mengetahui hal tersebut, tentu kita tidak akan mengajari mereka naskah-naskah berat. Saya akan memilih naskah ringan saja untuk dipentaskan. Naskah “Siapa yang Salah” itu misalnya. Saya jadi ingat kata mahaguru saya yang berkata “Sebelum menggambar abstrak, coba kamu menggambar tali sepatu saja dulu”. Sederhana tapi sering saya lupakan.
Pada akhirnya proses mereka menyenangkan dan pentas mereka bisa dibilang berhasil meskipun naskah sedih mengundang misinterpretasi dari penonton. Penonton yang semuanya adalah teman kelas mereka malah tertawa setiap melihat para aktor keluar masuk panggung. Tentu itu karena teman mereka sudah senang melihat teman sekelasnya pentas. Wahhhh, gampang sekali menghibur penonton kalangan ini. Hal yang sudah lama saya lupakan.
Pesan terakhir saya, pentas ringan seperti pentas kelas atau mengisi acara sekolah itu perlu. Hal itu untuk membuat pentas festival atau pentas tunggal yang kalian lakukan terasa lebih dahsyat proses dan hasil akhirnya. Ini seperti membeli Earphone seharga 50 ribu yang membuat kita mensyukuri betapa menyenangkannya Earphone 7 Juta. [T]