MARKETPLACE GURU yang digagas oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menuai pro dan kontra. Ide ini digagas karena seleksi PPPK penyelenggaraannya tidak bisa menjawab kebijakan perekrutan satu juta guru.
Dalam kurun waktu setahun (2021-2022) guru yang terserap 544.292 guru. Sampai tahun 2023 kebutuhan guru mencapai 601.286. Perekrutan selama dua tahun boleh dikatakan belum optimal.
Minimnya pembukaan formasi guru oleh pemda diakibatkan oleh ketidakmampuan pemda menggaji guru PPPK. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2012 tahun 2022 bahwa gaji PPPK bisa diambil melalui dana DAU. Perlu dilakukan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah sehingga guru PPPK yang sudah lolos passing grade bisa segera bertugas di sekolah.
Tahun ini Pemda baru mengajukan formasi sebanyak 278.102 guru. Pada sisi lain, jumlah guru yang mengikuti seleksi PPPK dan sudah dinyatakan lolos passing grade sebanyak 193.954 guru.
Dari 193.954 guru, 131.025 guru sudah mendapatkan penempatan, sedangkan 62.546 orang sisanya yang sudah lulus passing grade (PG) 2021 dan masuk kategori guru P1 masih belum mendapatkan penempatan (diramu dari berbagai sumber). (P1 adalah pelamar P3K guru, yang merupakan tenaga honorer eks kategori II (THK-II) yang telah lulus nilai ambang batas atau passing grade pada seleksi tahun 2021.)
Banyaknya guru yang lulus PG dan kategori P1 belum mendapatkan penempatan, maka diwacanakan ide marketplace. Marketplace akan memudahkan kepala sekolah untuk memenuhi kebutuhan guru di sekolahnya tanpa menunggu perekrutan nasional.
Pola pendanaan guru tersebut direncanakan menggunakan dana alokasi umum (DAU) yang langsung dibayarkan ke sekolah. Alokasi DAU dipergunakan hanya untuk membayar gaji guru.
Intinya, ide marketplace perlu diapresiasi. Marketplace menjawab kebuntuan penuntasan program perekrutan satu juta guru. Akan tetapi, istilah yang dipakai—“marketplace”—menuai banyak kritikan. Guru dianggap sebagai barang yang mudah dipesan melalui marketplace. Ini merupakan bentuk pelecehan bagi guru.
Guru bukan barang dagangan
Adanya ide marketplace menenggelamkan kewibawaan guru pada titik yang paling rendah. Marketplace adalah sebuah platform atau tempat di mana berbagai jenis penjual dengan produk yang berbeda bisa berkumpul untuk menjual produknya ke pelanggan. Mengacu pada pengertian tersebut, guru sepertinya dapat diperjualbelikan.
Sebelum meluncurkan program, pemerintah seharusnya berkonsultasi dulu dengan ahli bahasa agar istilah yang diluncurkan itu tidak menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat.
Secara semantis, penggunaan marketplace menandakan bahwa guru disamakan dengan barang dagangan yang bisa dipesan secara online.
Komponen semantik guru dan barang dagangan adalah sama-sama benda. Yang membedakan adalah, guru benda hidup dan barang merupakan benda mati. Guru memiliki kemampuan dalam berpikir, sedangkan benda mati tidak memilikinya. Penggunaan istilah marketplace kurang tepat.
Ini merupakan bentuk kekeliruan dalam menggunakan istilah. Kemendikbudristek telah memiliki Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Seharunya, Dapodik bukan saja sebagai basis data sekolah, siswa, dan guru, tetapi hendaknya bisa dikembangkan sebagai rekam jejak guru dalam menjalankan tugasnya. Rekam jejak inilah yang dipakai data dalam melakukan perekrutan guru.
Pemerintah hendaknya berhati-hati dalam menggunakan istilah yang berkaitan dengan program pemerintah. Salah menggunakan istilah akan membuat kegaduhan di masyarakat. Dan tentu kegaduhan akibat penggunaan marketplace melukai hati ribuan guru. Guru bukan barang dagangan, Pak Menteri![T]