TERBITNYA Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota menuai banyak protes, khususnya Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan.
Protes tersebut muncul dikarenakan adanya klausul pada Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 yang berpotensi mengurangi keterwakilan perempuan untuk duduk sebagai wakil rakyat. Pembulatan ke bawah apabila dua bilangan desimal bernilai di bawah 50 (lima puluh) menjadi biang keladi masalah ini.
Apabila peraturan ini berlaku, maka keterwakilan perempuan di daerah pemilihan (dapil) yang jumlah calegnya 4, 7, 8, dan 11 akan kehilangan satu kursi.
Kalau melihat peraturan di atasnya, yakni Pasal 245 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyebutkan bahwa “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”, dapat disimpulkan kalau PKPU 10/2023 sudah bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Bener nggak?
Meski dalam rapat dengar pendapat (RDP) oleh Komisi II DPR, KPU, Bawaslu, DKPP, dan Kemendagri telah memutuskan tidak melakukan perubahan terhadap peraturan tersebut, tetapi sampai hari ini desakan-desakan untuk merubah peraturan tersebut masih terus digaungkan. Termasuk di dalamnya upaya untuk melakukan pengujian ke Mahkamah Agung (MA). Tentu upaya-upaya ini harus kita dukung, guys!
Perempuan, Bali, Politik
Berbeda dengan Jakarta, isu tentang PKPU 10/2023 sepertinya tidak terlalu mendapat perhatian di Bali.
Sampai tulisan ini dibuat, saya coba mencari kelompok atau individu yang melempar narasi perlawanan maupun komentar tentang peraturan ini. Namun sayangnya saya tidak menemukan satupun.
Apakah persoalan ini tidak penting? Ntahlah, tapi saya akan coba bahas keterlibatan perempuan dalam politik di Bali.
Saya mengambil contoh perempuan yang duduk di kursi DPRD Provinsi Bali. Seperti yang kita ketahui bersama, jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 55 kursi.
Pada periode 2019-2024, terdapat tujuh partai politik yang berhasil berkantor di sebelah barat Kantor Gubernur Bali, yaitu PDIP dengan 33 kursi, Golkar dengan 8 kursi, Gerindra dengan 6 kursi, Demokrat dengan 4 kursi, Nasdem memperoleh 2 kursi, sedangkan Hanura dan PSI masing-masing 1 kursi.
Tebak berapa jumlah perempuan yang berhasil duduk di kursi DPRD Provinsi Bali? Yaps, hanya 8 orang saja—sebanyak 6 orang dari PDIP, 1 orang dari Golkar, dan 1 orang dari PSI.
Apabila dipersentasekan, maka 8 orang tersebut hanya mencapai angka 14,54 persen (kalau saya salah, mohon dimaklumi ya. Hehe). Tentu secara keterwakilan belum bisa memenuhi harapan sebanyak 30 persen, seperti amanat undang-undang.
Okey, tapi setidaknya delapan “Ibu Dewan” tadi dihasilkan dari susunan daftar caleg yang memperhatikan keterwakilan 30 persen di setiap dapilnya.
Lalu apa yang akan terjadi apabila susunan daftar caleg nantinya tidak memperhatikan persentase keterwakilan minimal? Menurut saya, pasti jumlah perempuan yang duduk di kursi DPRD Provinsi Bali akan merosot.
PKPU 10/2023 memberi pengaruh terhadap persentase keterwakilan minimal pada dapil-dapil yang memiliki jumlah caleg 4, 7, 8, dan 11.
Apabila kembali menengok pada kondisi Bali yang memiliki sebanyak sembilan dapil (sesuai dengan jumlah kabupaten/kota), maka terdapat tiga dapil yang akan menerima dampak pada pencalonan perempuan.
Daerah yang menerima dampak tersebut adalah dapil Bali 1 (Denpasar) yang memiliki jumlah kursi 8, kemudian dapil Bali 4 (Jembrana) dengan jumlah kursi 4, dan Bali 7 (Karangasem) dengan jumlah kursi 7. Masing-masing akan kehilangan satu kursi yang ditujukan untuk keterwakilan perempuan.
Diaturnya persentase minimal keterwakilan sebesar 30 persen tersebut adalah stimulus bagi perempuan untuk ikut terlibat dalam pemutusan kebijakan-kebijakan publik, utamanya di Bali.
Banyak permasalahan di Bali yang membutuhkan peran perempuan di dalamnya. Pembiaran terhadap PKPU 10/2023 adalah wujud nyata kemunduran demokrasi. Masyarakat dipertontonkan bagaimana orang-orang yang duduk di lembaga berwenang melakukan pembiaran meski mengetahui bahwa hal tersebut bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Parahnya lagi, peraturan ini seakan melegitimasi bahwa dalam sistem demokrasi, kehadiran perempuan semakin dipinggirkan.
Tentu saya mendukung upaya perubahan sampai pada pengujian materiil di Mahkamah Agung. Saya pun juga menunggu dan mendukung perempuan-perempuan di Bali untuk membicarakan, mendiskusikan, dan menyatakan sikap terhadap PKPU 10/2023.
Apakah Anda adalah bagian dari orang yang menolak atau mendukung?[T]