SAAT MEMBACA berita mengenai peran pemuda dalam menjaga lingkungan di Kompas, saya segera teringat pada salah satu kumpulan esai karya M. Faizi yang terbit dengan judul Merusak Bumi Dari Meja Makan (2021).
Tulisan esai itu begitu sejuk dan serat akan ilmu pengetahuan soal masalah sampah dan bagaimana manusia menghadapinya. Satu-satunya tulisan yang mungkin berbau kultur budaya desa atau dongeng adalah dalam paragraf ini:
“Ketika saya kecil, saya tinggal bersama nenek. Beliau akan murka jika piring yang saya gunakan untuk makan tidak dalam keadaan bersih seperti dipel ketika saya meninggalkannya untuk cuci tangan.
“Bersihkan! Jangan sisakan sebutir pun butiran dipiringmu akan menangis kalau dibiarkan begitu! demikian pesan nenek.
Beliau tidak menjelaskan motif apa pun di balik perintah itu, termasuk adanya motivasi sunah nabi, dan sebagainya. Perintahnya malah mirip dongeng, bahwa setiap butiran nasi turut berzikir, dan sebagainya. Perintahnya malah mirip dongeng, bahwa butiran-butiran itu akan menangis jika tidak ikut dimakan manusia dan hanya berakhir di tempat sampah”.
K. M. Faizi menulis itu untuk menggambarkan pada kita seperti apa dunia desa membikin alam ini tak tercemar kotoran manusia. Tak pernah terbayangkan, kita (yang hidup dari desa) mungkin lazim mendengar petuah-petuah itu dari orang tua. Kita tidak mau bertanya soal motif apapun di balik perintah itu. Tapi justru dengan petuah itu, kita sama sekali tidak punya kesempatan agar membuang-buang makanan.
Hal sama terjadi ketika ada ajaran soal berbakti pada orang tua. Di sekolah dasar, kita mengenal cerita ikonik tentang Malin Kundang yang dikutuk jadi sebuah batu. Menurut berita yang beredar, Kutukan itu berasal dari ibunya, sebab maling kundang tak mau mengakui sang ibu di depan istirnya yang bangsawan.
Dengan itu pikiran kita bisa tahu bahwa pembahasaan anak yang durhaka adalah hal tabu dan perlu disampaikan pada generasi selanjutnya. Tanpa ada dongeng Malin Kundang misalnya, cerita seorang anak yang dikutuk itu mungkin takkan pernah terjadi dan sialnya kita sulit memberikan pemahampan pada anak-anak apalagi kepada orang dewasa.
Pemahaman melalui dongeng ini saya kira menjadi alternatif agar proses penyampaian pitutur dari seorang sesepuh masih terjalin sekalipun dunia sudah serba cepat. Kita tahu, tantangan ke depan agar merawat alam dan lingkungan tidak hanya berupa gerakan peduli lingkungan, video pendek atau cinematik alam belaka. tapi juga dilakukan studi literasi lewat dongeng tadi.
Kita mengerti dongeng adalah sebuah cerita yang kebenarannya tak bisa dipertanggung jawabkan. Dongeng dengan segala versinya, pasti mengandung unsur kebohongan dan kesengajaan sekaligus manfaat tersendiri.
Buktinya, semenjak manusia mengenal digital dan berita, orang mulai menerjemahkan kembali apa saja yang terdapat di dalam dongeng, baik tempat, waktu, nama, dan latar belakangan yang lain.
Hanya saja kita belum mencari manfaat apa yang didapat dalam dongeng tersebut. kita juga tidak tahu bahwa dongeng tak hanya sebuah cerita, tapi dia akan terus populer sampai dunia ini berakhir, baik dalam versi sekolah, keluarga, maupun suku.
Bisa dibayangkan, seandainya kita mempunyai sebuah dongeng tentang soal sesuap nasi bisa merusak alam, mungkin itulah sekian ribu cara agar kita memahami kondisi semesta saat ini.
Dari dongeng sesuap nasi kita bisa ceritakan pada anak-anak saat mereka ingin beranjak tidur. Tentu anak-anak ini nanti, akan diceritakan ulang pada teman-temannya sehingga dongeng itu berhasil terekspos secara cepat.
Membuat dongeng alam tentu tak harus berdasarkan sifat asli cerita. Latar belakang dan tokoh legenda bisa kita buat-buat, asalkan dampaknya bisa mengenai pembaca.
Berita, misalnya tidak akan pernah dibaca oleh semua kalangan jika tak bisa menunjukkan human interest yang tepat. Sebaliknya berita dapat laku sebab pemberitaan berjalan sesuai keinginan publik.
Faktor keinginan ini yang kemudian layak dikonsumsi oleh publik. Publik begitu sudah memuncak rasa ingin tahunya, maka boleh dikata mereka pasti mengejar sampai keingintahuan itu tercapai. Logikanya sebuah toko tak akan pernah laku di mata pembeli ketika menu yang disajikan tidak bisa memenuhi hasrat.
Dari sini, Erich Fromm dalam buku To Have or To Be (2019) yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, menuliskan risalah panjang bagaimana seseorang bisa mengada sekaligus punya rasa memiliki.
Dalam modus mengada, kata Erich, tidak dapat dipisahkan terhadap soal keyakinan. Bahkan keyakinan adalah unsur yang patut diperhitungkan sedari awal.
“Jelas, tanpa keyakinan, kita menjadi hampa, putus asa, takut hingga ke dasar keberadaan.”
Diskursus soal Dongeng Sesuap Nasi tadi juga bentuk dari yang awalnya mengada. Bentuk mengada ini nantinya menjadi simbol holistik terhadap pembacaan masyarakat kita.
Tentu bukan perkara mudah, berbicara dongeng sebelum tidur seperti ini. Tapi di saat orang mulai percaya terhadap serial Maling Kundang, Bawang Merah dan Putih atau Si Kancil Mencuri Timun, kita mendapat kesempatan untuk membikin yang lebih baik.
Sejak serial dongeng perlahan-lahan mulai habis, kita seolah-olah ingin mengembalikan kembali citra nusantara melalui budayanya. Salah satu budaya yang dari dulu sudah terbentuk dan terbukti hanyalah dongeng tadi. Tapi dongeng akhirnya gagal bersaing dengan majunya teknologi, yang ingin mengubah dunia dengan satu kedipan mata.
Keniscayaan tetaplah jadi produk kita. Sehebat apa pun canggihnya tekonolgi, legenda masih gagah dan relevan untuk dibicarakan. Tapi, kata Goenawan Muhammad, sang pahlawan sebaiknya mati. Sebab revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.
Sekalipun tak sempurna, dongeng adalah legenda yang memikat. Ia tetap jadi pitutur yang tabu dan syahdu.[T]