PUISI ITU adalah cerminan rasa dari penulisnya. Seperti perasaan sedih karena ditimpa bencana, rasa bahagia ketika indra kita menerima sesuatu yang indah, merdu, nikmat, halus, dan harum, juga bisa marah ketika yang kita sukai dan miliki dirusak orang lain. Begitu pun dengan puisi-puisi yang ditulis siswa SMP Negeri 2 Sawan. Isinya menggambarkan beragam rasa yang diungkap secara jujur sebagai respons terhadap lingkungan sekitar.
Puisi-puisi yang ditulis mengangkat tema yang beragam. Ada yang menulis tentang kritik sosial, suasana di sekolah, dan alam. Puisi yang bertemakan alam seperti puisi yang berjudul Matanai dan Pasisi. Hubungan antara puisi dan alam sangatlah erat. Penulis memetik keindahan alam yang kemudian atas tafsir rasanya dituangkan dalam bentuk susunan kata-kata yang puitis.
sinar matanai sané nyunarin guminé
nundunin jendéla kamar
mangunang suryakan kruyukan siapé
ngulapin paningalan tiangé
sinarné anget lan asri
kasarengin angin makesir-kesir
suiran kedisé matinggah nguci
ngranayang atiné liang lan bagia
sayan-sayan joh pajalané
sayan-sayan keneh tiangé meled dadi matan ai
apang sida nyunarin déwék padidi
apang sida nyunarin mémé lan bapa
(Dimuat di majalah Suara Saking Bali edisi LXXVI, Februari 2023)
Puisi Matanai karya Putu Novia Nugraheni di atas menceritakan tentang rasa takjubnya terhadap matahari sebagai penerang yang memberikan kehidupan kepada alam beserta isinya. Ia pun ingin seperti matahari, menjadi pribadi yang bersinar, minimal mampu menerangi diri sendiri dari segala bentuk kegelapan. Dan harapan yang lebih besar adalah bisa menjadi pribadi yang berguna bagi diri sendiri, orang tua, dan orang lain.
Isu-isu tentang kerusakan pantai dan laut telah sejak lama menjadi perhatian serius Pemerintah juga komunitas-komunitas pemerhati lingkungan. Begitu juga Komang Okta Damayanti. Puisi Pasisi yang ditulisnya mengungkapkan keindahan Pantai Giri Emas yang berlokasi di Desa Giri Emas, Kecamatan Sawan, Buleleng, sekaligus masalah yang dihadapinya, yaitu tidak lain tidak bukan adalah masalah sampah. Ia pun kembali mengingatkan kepada pembaca untuk tidak membuang sampah di sungai. Ajakan yang sepertinya sudah sering kita dengarkan tetapi sering kita lupakan dalam tindakan. Berikut kutipannya.
angin tis pasisi girimas
doosan ombak mapag ibias
segara asri
ngaé liang ati
sakéwala jani
akéh anaké ngaé daki
leluu ngaénang bencana
usak pasisiné
patutné iraga saling ngentenin
sareng-sareng nguratiang
nyaga palemahan uli pakarangan umah
sampunang ngutang luu ring telabah
Bencana banjir bandang yang sempat menimpa beberapa wilayah di Bali, seperti di Jembrana pada bulan Oktober tahun 2022 juga tidak luput dari perhatiannya. Manusia dengan sifat serakah dan saling mencari pembenaran diri menurutnya menjadi penyebab bencana. Sebagai ganjaran yang setimpal adalah kesengsaraan dan kematian. Okta menuliskannya dalam puisi yang berjudul Dija Ratu. Puisi ini pernah dimuat di majalah Suara Saking Bali edisi LXXIV Desember 2022. Berikut kutipan puisinya.
idup uli uat nadi
genah déwi saraswati
ngidupin anak uli ulu ka tebén
jani sayan surud membah
jengah rauh blabar
nganyudang tanah
nganyudang umah
ngecorang yéh barak
ten milih awak
sebet ical artané
ical kenyemané
nyén pelih?
jadma saling pisuh
inguh gering ngruruh
Oleh karena penulis masih duduk di bangku SMP, puisi-puisi yang ditulis tidak lepas dari aktivitas sehari-hari di sekolah. Seperti puisi Sekolah Tiange yang merupakan ungkapan rasa Desak Komang Melati Ningsih tentang keadaan sekolah yang asri, nyaman, dan menyenangkan sebagai tempatnya menimba ilmu dan karakter. Berbeda dengan puisi Tresna Putih Pelung yang ditulis Komang Okta Damayanti. Melalui puisi ia mengajak teman-temannya untuk lebih fokus melaksanakan kewajiban sebagai siswa yaitu belajar, bukan yang lain. Berikut kutipan puisi Sekolah Tiange.
ring dina semeng sané galang
anginé teduh lan tis
ngaénang titiang setata sumangat
sekolah bersih lan asri
punyan-punyan gadang madon samah
lan bunga mawarna-warni
ngaé bungah palemahan sekolah
ruang kelas ané bersih
ngaé tiang demen malajah
kasarengin guru-guru
ané sawai-wai nuntun titiang
di sekolah ené
tongos tiang ngalih kabisan
tongos tiang nabdabang masa depan
Berikut kutipan puisi Tresna Putih Pelung:
semara putih pelung
ngaé tangkah sakit
sing kuat ninggalin ia jak nak lén
uli pidan matané beseh?
ia teka nyemak kedék tiangé
badah
suud ngitungang demenan
uber ipiané
sing pedalem mémé jak bapa?
banggaang, liangang
yén sing panakné nyén buin?
(Dimuat di majalah Suara Saking Bali edisi LXXVI, Februari 2023)
Masalah klasik negara Indonesia adalah korupsi. Di negeri ini korupsi seakan tidak pernah mati. Respons siswa terhadap kasus korupsi dan penanganannya yang kadang tidak serius, tumpang tindih, tidak tuntas sampai keakar-akarnya tercermin pada puisi di bawah ini.
pipis nglebihin déwa
pipis ngai buduh mata
nunjel rasa olas
né mara térosis
jadma belog
yén kar suudang
abut akah
dong tiing akatih
mai iraga matiang merana
suryak polisi ngangkenin ibané déwa
ngamatiang saksi
nyén pelih bikul apa lipi
Puisi di atas berjudul Lipi Madasi juga karya Komang Okta Damayanti. Puisi ini adalah kritik terhadap oknum penegak hukum, pejabat pemerintah, yang seharusnya menjadi ujung tombak penegakan keadilan, kebenaran, dan kejujuran justru terlibat kasus korupsi. Puisi ini adalah gambaran kaliyuga (zaman kekacauan) seperti yang disampaikan I Wayan Dibia peraih Rancage tahun 2023 melalui buku puisi Bali modern Kali Sengara. Banyak manusia yang berbicara seperti dewa tetapi tidak tanduknya seperti raksasa. Pura-pura baik tetapi licik.
Zaman globalisasi dengan perkembangan teknologi dan degradasi budaya sebagai pencirinya juga menjadi tema puisi siswa. Puisi Anak Cenik karya Luh Dewi Suparini mengungkapkan tentang kemajuan teknologi, seperti gawai yang bisa berdampak negatif kepada pengguna ketika tidak mampu menggunakannya secara bijak. Dewi menggambarkan bahwa gawai yang diibaratkan sebagai anak kecil telah menguasai manusia, bukan sebaliknya. Akibatnya banyak yang lupa diri hingga timbullah tindakan-tindakan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
nyamané liu pesan
demeniné jak makejang
naut jadma makejang
limané tegula
otekné kabongbong
cara kedis makrangkéng
ba macelep kéweh pesu
makejang paling
apa ané pelih
ten rungu
ten ada ané éling
(Puisi Anak Cenik dimuat di majalah Suara Saking Bali edisi LXXVI, Februari 2023)
Satu puisi lagi yang ditulis oleh Komang Okta Damayanti berjudul Basa Bali. Puisi yang mengungkapkan keberadaan generasi muda Bali yang tidak lagi menyukai bahasa ibunya, bahasa Bali. Seperti yang diketahui bahwa bahasa Bali adalah bagian dari kebudayaan Bali yang adi luhung. Jika rasa bangga terhadap bahasa Bali semakin memudar bukan tidak mungkin apa yang pernah dikhawatirkan oleh Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus bahwa bahasa Bali akan mati bisa saja terjadi. Generasi muda diharapkan tetap mempelajari dan menggunakan bahasa Bali sehingga menjadi penutur aktif bahasa Bali. Berikut kutipan puisinya.
akéh nak bali engsap cecirén déwékné
mabasa tawah-tawah
makenyem pedih i mémé
matatu nanging ten magetih
truna-truni mayus malajah basa bali
énggal kal mati
ical basa bali
ical budaya bali
kaloktah kantos dura negara
patut bangga
patut lestariang
yéning ten iraga sira malih?
Puisi-puisi di atas mengandung amanat yang dapat berfungsi sebagai alat untuk memulihkan kesadaran. Sebagaimana dikatakan oleh kritikus sastra Arif Bagus Prasetyo dalam bukunya Saksi Kata. Menurutnya sastra dapat membangun jiwa dan menyembuhkan pikiran sehingga manusia tidak kalap dan membabi buta. Setelah membaca karya sastra, pembaca diharapkan jiwa dan pikirannya tercerahkan sehingga mampu merawat diri, menjaga bumi.
Selain untuk pembaca, siswa menulis puisi tentu untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini puisi dengan amanat yang terkandung di dalamnya berguna sebagai alat untuk mendidik dirinya. Di sinilah letak keterkaitan sastra dan pendidikan. Dalam buku Sastra dan Pendidikan, Sapardi Djoko Damono mengatakan sastra adalah benda budaya yang berisi nilai-nilai, tindak tanduk yang baik dan buruk. Dalam hal ini siswa diharapkan meneladani hal-hal baik sebagai acuan dalam berpikir, berbuat, dan bertingkah laku.
Berbicara tentang sastra dan pendidikan, beberapa puisi karya siswa yang saya kutip di atas merupakan bukti implementasi Merdeka Belajar dan Revitalisasi Bahasa Daerah di SMP Negeri 2 Sawan. Walaupun ini bukan sebagai pencapaian yang besar tetapi setidaknya siswa telah mampu mendapatkan ruang untuk mengekspresikan diri sesuai minat dan bakatnya sebagaimana esensi Merdeka Belajar itu sendiri. Sebagai upaya meningkatkan kemampuannya dalam memahami kosa kata bahasa Bali, siswa memanfaatkan kamus bahasa Bali berbasis android produk Balai Bahasa Provinsi Bali. Ini sebagai upaya kecil mewujudkan digitalisasi pendidikan yang juga bertalian erat dengan Merdeka Belajar.
Sementara itu, Revitalisasi Bahasa Daerah adalah kebijakan Pemerintah sebagai upaya pelestarian bahasa daerah. Sekolah sebagai tempat belajar bahasa daerah diharapkan mampu menumbuhkembangkan karakter siswa untuk mencintai bahasa ibunya, bangga menggunakan bahasa Bali baik lisan maupun tulisan. Menulis puisi berbahasa Bali salah satunya. Walaupun puisi-puisi mereka sederhana tetapi usahanya patut diapresiasi. Pada era serba digital seperti sekarang sangat patut disyukuri masih ada siswa yang mau dan serius belajar menulis puisi berbahasa Bali. Apalagi ada siswa yang menulis lebih dari satu puisi.
Berdasarkan data Kemdikbudristek tahun 2022, dari 718 bahasa daerah di Indonesia banyak yang kondisinya kritis dan terancam punah. Seperti bahasa-bahasa di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Kepunahan bahasa disebabkan penutur jatinya tidak lagi menggunakan bahasa daerah dan mewariskannya kepada generasi selanjutnya. Bahasa Bali masih dikategorikan aman karena masih digunakan sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan sehari-hari orang Bali. Namun, siapa yang bisa memastikan bahasa Bali ajek sepanjang zaman?
Itulah sebabnya Revitalisasi Bahasa Daerah utamanya bahasa Bali tetap dilakukan melalui pendidikan. Sekolah adalah tempat siswa belajar bahasa, aksara, dan sastra Bali. Di sekolahlah mereka belajar membaca dan mendiskusikan wacana sastra dan nonsastra, menulis aksara Bali di lontar atau di komputer, menulis puisi dan cerita (satua).
Joko Pinurbo mengatakan sastra merupakan dunia, lahan, tempat bahasa dirawat dan dimekarkan sehingga memiliki nilai lebih. Puisi-puisi karya siswa di atas adalah salah satu bukti usaha generasi muda untuk merawat dan memekarkan bahasa Bali di tengah gempuran budaya serba instan. Karyanya sebagai cerminan rasa memang sederhana tetapi penuh arti. Semoga dengan ini bahasa Bali semakin ajek dan lestari. [T]
Catatan: Puisi-puisi siswa di atas adalah hasil dari pengimbasan yang saya lakukan kepada siswa kelas VIII B SMP Negeri 2 Sawan setelah mengikuti pelatihan Revitalisasi Bahasa Daerah yang diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi Bali tanggal 26—30 Juni 2022 di Denpasar.