APA YANG dibayangkan orang ketika mendengar kata intelijen? Mungkin yang terbayang adalah sosok intel polisi berpakaian preman dengan pistol menonjol di pinggang dan suara berisik handy talkie. Mungkin juga gambaran orang menyamar sebagai tukang bakso yang tiba-tiba melakukan penangkapan terhadap penjahat. Atau tokoh seperti yang ditampilkan dalam film-film James Bond.
Intelijen acapkali dikaitkan dengan profesi yang menyeramkan. Hal itu dikaitkan dengan doktrin yang sering dikenal dalam dunia intelejen, yaitu “Berhasil Tidak Dipuji, Gagal Dicaci Maki, Hilang Tidak Dicari, Mati Tidak Diakui”.
Doktrin tersebut membuat orang tidak begitu tertarik menggeluti profesi intelijen. Padahal, sebagai suatu proses komunikasi, intelijen bukan hanya merujuk pada aparat negara, tetapi juga ada pada bidang bisnis, politik, organisasi masyarakat, teknologi, dan sebagainya.
Sesungguhnya aktivitas intelijen dapat terjadi di semua bidang, selama prinsip-prinsip intelijen terpenuhi. Salah satu prinsip intelijen adalah Velox et Exactus, yaitu kecepatan dan ketepatan dalam hal melihat, mendengar, menulis, dan menyampaikan informasi.
Prinsip tersebut juga dilakukan dalam dunia jurnalistik yang mengutamakan kecepatan dan ketepatan dalam mengolah informasi. Oleh sebab itu kegiatan intelijen sangat berdekatan dengan kegiatan komunikasi. Bahkan, intelijen layak untuk dikaji dalam perspektif komunikasi.
Intelijen dan Komunikasi
Banyak definisi tentang intelijen. Salah satunya adalah apa yang disampaikan Jeffrey T.Richelson. Menurutnya, intelijen adalah produk yang dihasilkan dari kegiatan pengumpulan, proses, integrasi, analisis dan evaluasi, serta interpretasi dari bahan keterangan.
Kegiatan seperti yang dimaksud Richelson tersebut identik dengan kerja para wartawan. Dengan demikian, intelijen sesungguhnya juga merupakan kegiatan berkomunikasi.
Merujuk pada Undang–Undang No.17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara, intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan perumusan kebijakan, strategi nasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional.
Sebagai pengetahuan, intelijen memiliki pendekatan yang akan bersinggungan dengan pengetahuan lain. Salah satu pengetahuan yang dekat dengan intelijen adalah komunikasi.
Ada persamaan dan perbedaan antara komunikasi dan intelijen. Komponen yang terlibat dalam komunikasi dan intelijen memiliki kesamaan, yaitu sumber, pesan, media atau saluran, khalayak, dan efek yang diharapkan.
Karakteristik komunikasi dan intelijen juga sama, yaitu dinamis, berkelanjutan, dan kontekstual. Komunikasi selalu berubah setiap saat, begitu pula intelijen. Komunikasi tak pernah berada dalam ruang hampa, karenanya senantiasa kontekstual. Intelijen pun selalu memiliki konteks dalam kegiatannya.
Perbedaan komunikasi dan intelijen terletak pada organisasi, sumber dan pesan, serta posisi khalayaknya. Organisasi dan aktivitas komunikasi bersifat terbuka, sedangkan pada intelijen bersifat rahasia atau disamarkan. Sumber dalam proses komunikasi mudah untuk dikenali, sedangkan dalam dunia intelijen sumber cenderung tertutup; hanya terbuka pada sesama komunitas intelijen.
Perbedaan lain, pesan dalam komunikasi bersifat transparan, dapat dinikmati oleh setiap orang. Sedangkan dalam intelijen, pesan bersifat rahasia. Pesan intelijen akan dianggap bocor atau “masuk angin”, jika banyak orang di luar komunitas dapat mengaksesnya.
Komunikan dalam proses komunikasi biasanya berada dalam kesadaran, sedangkan dalam intelijen komunikan atau biasa disebut target operasi intelijen berada dalam ketidaksadaran.
Paradigma Baru
Hampir semua organisasi dan profesi intelijen di berbagai dunia bersifat rahasia dan tertutup atau undercover. Kerahasiaan intelijen juga berkaitan dengan tugas utamanya untuk melakukan penyelidikan, penggalangan, dan pengamanan (Lidgalpam).
Namun demikinan, ada paradigma dan fenomena kekinian dimana intelijen mulai bersifat terbuka. Paradigma baru organisasi dan profesi intelijen yang terbuka dapat disimak lewat kasus Indonesia.
Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai salah satu lembaga intelijen di Indonesia mulai terbuka kepada publik. Keterbukaan lembaga telik sandi milik pemerintah itu dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, dibentuknya Deputi Bidang Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pada BIN menunjukkan kesiapan lembaga tersebut untuk lebih terbuka.
Mengacu pada Pasal 27 Peraturan Presiden Nomer 73 Tahun 2017 tentang Badan Intelijen Negara, Deputi bidang Kominfo atau disebut Deputi VII BIN memiliki tugas dan fungsi perumusan kebijakan, kegiatan, dan operasi intelijen di bidang komunikasi massa, komunikasi sosial, dan informasi.
Fungsi ini hampir sama dengan yang diungkapkan James Der Derian, bahwa kegiatan intelijen salah satunya mengubah komposisi dan sikap suatu kelompok.
Kegiatan intelijen memerlukan pemahaman tentang opini publik, komunikasi persuasif, komunikasi massa, komunikasi kelompok, komunikasi internasional, komunikasi politik, komunikasi lintas budaya, dan jurnalistik.
Hal ini membuka peluang bagi perguruan tinggi yang memiliki program studi ilmu komunikasi untuk menjadikan intelijen sebagai bidang kajian. Paling tidak, komunikasi intelijen bisa ditawarkan sebagai mata kuliah. Sebab, komunikasi intelijen dapat diartikan sebagai proses komunikasi dalam kegiatan intelijen.
Kedua, keterbukaan lembaga intelijen di Indonesia dapat dilihat dari informasi proses rekruitmen intelijen melalui website milik BIN. Ada transparansi dalam proses rekruitmen agen maupun analis intelijen. Meskipun pada tahapan selanjutnya kemungkinan akan bersifat tertutup, namun di awal sudah dimulai dengan keterbukaan.
Ketiga, Badan Intelijen Negara di Indonesia kini memiliki akun resmi instagram, twitter, facebook, dan youtube. Artinya BIN semakin terbuka dalam mencari, mengolah, dan mendistribusikan informasi kepada masyarakat. Profesi intelijen saat ini dengan demikian membutuhkan keterampilan berkomunikasi di media sosial.
Ketika kasus Covid-19 di Tanah Air masih tinggi, BIN juga membuka gerai vaksinasi untuk masyarakat umum. Apa yang dilakukan BIN ini merupakan bentuk Corporate Social responsibility (CSR) sebagai upaya mendekatkan diri dengan masyarakat. Upaya ini akan berhasil jika lembaga intelijen berhasil menjalin komunikasi sosial dengan khalayaknya.
Kegiatan intelijen tampaknya memang tidak lagi harus selalu sembunyi-sembunyi. Ketiga indikator paradigma intelijen dalam contoh kasus BIN tersebut menunjukkan, bahwa intelijen tidak menakutkan dan tidak menakut-nakuti. Oleh karenanya stigma menyeramkan tentang profesi intelijen perlu dikaji ulang. Saatnya kini dibuat tagline “Menjadi Intelijen, Siapa Takut?”[T]